Alisa, harusnya kita tidak bertemu lagi. Sudah seharusnya kau senang dengan hidupmu sekarang. Sudah seharusnya pula aku menikmati apa saja yang telah kuperjuangkan sendiri. Namun, takdir berkata lain. Aku juga tidak mengerti apa mau Tuhan kembali mempertemukan aku denganmu. Tiba-tiba saja, seolah semua sudah menjadi jalan dari Tuhan. Kau datang ke kota tempat aku melarikan diri dua tahun lalu. Katamu,
ini hanya urusan pekerjaan. Setelah kau tamat, kau tidak betah bekerja di kotamu. Menurutmu, orang-orang di kotamu masih belum bisa terbuka dengan perubahan. Dan seperti dahulu, kau benci akan prinsip itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gregorius Tono Handoyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelaki kesepian dan gadis pinggir muara part 2
Kalian hanya belum saling memahami. Aku berusaha mencari kata yang tepat untuk memberimu pengertian.
"Entahlah. Aku bahkan tidak ingin pulang lagi ke rumah orangtuaku." Suaramu masih terdengar sedih.
"Kau tidak seharusnya begitu. Kalau orangtuamu belum mengerti, kau tetap bisa buktikan pada mereka, bahwa kau ingin pilihan yang lain. Atau mungkin kau bisa bicarakan baik-baik."
"Kau tidak mengenal ayahku. Dia mungkin lebih keras kepala dari pada mantan kekasihmu yang bodoh itu. Kali ini suaramu meninggi.
Aku tahu kau kesal karena aku membela orangtuamu. Namun, aku tidak suka kau mengatakan mantan kekasihku bodoh.
"Dia tidak bodoh. Dia hanya belum bisa berpikir lebih cerdas saja. Belaku.
"Itulah kebodohan kekasihmu. Dia melepaskanmu, lelaki yang masih saja membelanya, bahkan saat kalian sudah putus. Tak seperti ayah ibuku, mereka tak mencariku saat aku kabur dari rumah."
Baiklah. Aku tidak mau berdebat denganmu. Aku memilih diam. Sudah lewat jam dua belas malam. Kita masih duduk di jembatan pinggir muara ini. Kita tidak peduli udara yang semakin dingin. Bahkan kau tidak ingin pulang, katamu. Meski kau sudah kelihatan pucat.
"Aku sudah tidak bisa demam lagi. Tenang saja. Aku sudah biasa di sini setiap malam. Sanggahmu saat aku menanyakan apakah kau tidak berniat pulang.
Sudahlah, aku tidak akan memaksamu pulang. Aku tidak mungkin lebih penting dari orangtuamu. Orang yang melahirkan dan membesarkanmu saja, tidak lagi kau dengar omongannya, apalagi aku yang bukan siapa-siapamu, yang baru bertemu di jembatan ini beberapa jam yang lalu.
Kita hanya dua orang yang kebetulan sama-sama ada masalah. Lalu, menikmati riak air muara untuk menenangkan diri.
"Kau kenapa tidak ingin pulang?" tanyamu.
"Aku di sini saja. Lagi pula, tidak baik meninggalkan perempuan sendirian di jembatan malam-malam begini. Kau bisa dijahilin oleh lelaki yang lalu lalang di sini" Ucapku sebagai alasan agar aku bisa lebih lama denganmu. "Oh iya, namamu siapa?" dari tadi kita belum berkenalan. "Aku Riski
"Aku Tere"
"Nama yang bagus"
Kau hanya tersenyum. Wajahmu terlihat lebih pucat, sepertinya kau mulai kedinginan. Namun, kau keras kepala. Aku tidak punya pilihan sama sekali. Selain tetap bertahan di sini sampai kau mau pulang. Entah kenapa, aku merasa bertanggung jawab atas keselamatanmu malam itu. Padahal, meninggalkan kekasihku di pinggir jalan tidak kusesali sama sekali.
Mungkin begitulah lelaki. Saat perempuan tidak terlalu macam-macam. Dia akan menjaganya dengan senang hati. Namun, saat kau terlalu banyak keinginan, apalagi hal yang di luar batas kemampuannya. Siap-siap saja lelakimu segera bosan. Dan, akhirnya meninggalkanmu seolah tak punya perasaan.
"Rumah orangtuamu di mana?" tanyaku.
"Buat apa kau tahu?" kau curiga kepadaku.
"Mungkin saja, nanti kita tak bertemu lagi. Aku bisa datang ke rumah orangtuamu. Untuk mencarimu."
"Kau tidak akan menemukan aku di rumah itu. Lagi pula, aku tidak ingin pulang lagi ke sana."
"Tidak ada salahnya kan, memberiku alamat rumah- mu?"
Akhirnya kau memberikan alamat rumahmu. Meski aku tahu, kau hanya memberikan karena aku terkesan sedikit memaksa.
Tubuhku mulai lelah. Mataku berat. Sedangkan kau masih saja terlihat seperti tadi. Pucat. Masih menatap riak muara. Aku tidak sanggup lagi menahan mataku untuk berkatup. Akhirnya aku pun tidur di tepi jembatan. Kau duduk berjarak semeter dariku.
Paginya aku terbangun oleh suara kendaraan yang lalu lalang. Ah, sial. Kau sudah tak ada di sampingku Kenapa kau pergi begitu saja? Tidak tahu terima kasih.
Aku pulang dengan perasaan kesal sekaligus penasaran. Kenapa perempuan yang kutemui suka seenaknya saja.
Aku ingin meminta penjelasanmu. Apa susahnya membangunkan aku dan mengatakan kau ingin pulang. Berkali-kali di malam yang berbeda. Aku datang kembali ke jembatan muara. Mencarimu. Sebulan sudah sejak pertemuan kita malam itu. Hampir setiap malam aku mencarimu ke sana. Namun, tidak pernah lagi kutemukan.
Akhirnya aku memutuskan untuk mendatangi rumah orangtuamu. Barangkali kau sudah sadar, dan memilih pulang. Atau orangtuamu sudah tak lagi egois, dan membawamu kembali ke rumah mereka.
Aku sampai di depan rumah yang kau sebutkan alamatnya. Beruntung aku punya ingatan yang cukup kuat. Tanpa perlu mencatat, aku sudah bisa menyimpan alamat rumah orangtuamu di memoriku.
Ada dua orang sudah cukup renta duduk di beranda rumah. Dan, satu orang perempuan muda sedang menyiapkan dua cangkir teh. Dua orang bocah sedang duduk di lantai. Sedang bermain riang.
"Permisi, Mbak. Benar ini rumah orangtua Tere?"
Perempuan muda itu menatapku dengan tatapan ganjil. Tanpa menjawab pertanyaanku langsung. Melirik tubuhku dari kepala sampai kaki. "Benar. Kamu siapa, ya?"
"Saya Riski, temannya Tere. Aku langsung menge- nalkan nama.
Perempuan muda itu memberi senyum. Lalu mempersilakan aku duduk.
"Kamu teman Tere yang mana, ya?" Tanyanya lagi, setelah menghidangkan secangkir teh. Lalu dia duduk menemaniku.
"Saya sebulan lalu bertemu dengannya. Sebenarnya, kami belum berteman dekat. Itu pertemuan pertama. Saya sudah mencarinya, tapi tak menemukannya lagi." Aku mencoba menjelaskan.
"Sebulan yang lalu?" tanya perempuan yang mengaku kakakmu itu. Dua orang yang dihidangkan teh tadi, yang duduk beberapa meter dari kami adalah orangtua kalian. Sedangkan anak kecil itu adalah anak kakakmu.
"Iya, Mbak. Sebulan yang lalu. Di jembatan muara. Malam itu saya sedang menikmati udara malam. Sambil menatap riak muara. Dan, kami di sana sampai pagi. Saya ketiduran, pas terbangun, Tere sudah tidak ada. Karena itu saya mencarinya ke sini. Aku menceritakan pertemuanku denganmu. "Dia juga menceritakan masalahnya dengan ayah ibunya. Maaf Mbak, saya tidak bermaksud." Aku takut kakakmu tersinggung.
"Tidak apa." Jawabnya tenang. Namun, ada yang berbeda dari wajahnya. "Kamu yakin, sebulan lalu kamu bertemu Tere?"
"Yakin, Mbak. Kalau tidak, mana mungkin saya tahu alamat rumah ini. Aku tersenyum. "Dari tadi kok saya tidak melihat Tere ya, Mbak? Apa dia masih belum membuka hatinya untuk pulang? Kasihan juga ibu dan ayah ya, Mbak. Aku turut sedih melihat kondisi kedua orangtuamu.
"Riski, Tere sudah meninggal dua tahun yang lalu. Dia bunuh diri di jembatan muara itu. Suara kakakmu terdengar sedih.
Aku mencoba meyakinkan diri, kalau aku sedang tidak berada di alam mimpi.