sinopsis Amelia, seorang dokter muda yang penuh semangat, terjebak dalam konspirasi gelap di dunia medis. Amelia berjuang untuk mengungkap kebenaran, melindungi pasien-pasiennya, dan mengalahkan kekuatan korup di balik industri medis. Amelia bertekad untuk membawa keadilan, meskipun risiko yang dihadapinya semakin besar. Namun, ia harus memilih antara melawan sistem atau melanjutkan hidupnya sebagai simbol keberanian dalam dunia yang gelap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurul natasya syafika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 5: Krisis Jantung di Icu
Amelia memasuki ruang ICU dengan langkah cepat, matanya tertuju pada sosok seorang pria paruh baya yang terbaring di ranjang.
Di sebelahnya berdiri Dr. Johan, seorang spesialis kardiologi terkemuka yang memimpin proyek ambisius: pengembangan implan jantung mekanik generasi terbaru.
Ruangan itu penuh dengan suara mesin monitor dan diskusi teknis antara tim medis dan teknisi yang terlibat dalam proyek tersebut.
Dr. Johan menyambut Amelia dengan antusias, gesturnya penuh semangat. Ia menunjuk layar yang menampilkan data real-time dari perangkat baru itu. "Amelia, kau harus melihat ini. Ini adalah revolusi dalam pengobatan gagal jantung. Jantung mekanik ini mampu mendukung fungsi pompa jantung tanpa risiko trombosis seperti generasi sebelumnya," jelasnya dengan mata berbinar.
Amelia memperhatikan grafik di layar, lalu mengalihkan pandangannya kepada pasien bernama Mr. Harun, pria berusia 50 tahun dengan riwayat gagal jantung kronis itu baru saja menerima implan beberapa hari lalu. Wajahnya terlihat segar, jauh dari tanda-tanda kelemahan yang biasanya menyertai penyakitnya.
Amelia tersenyum kecil saat ia mendekati pasien. "Mr. Harun, bagaimana perasaan Anda sekarang?" tanyanya lembut.
Pria itu tersenyum, rona semangat terlihat jelas di wajahnya. "Saya merasa lebih baik daripada sebelumnya, Dokter. Rasanya seperti mendapatkan hidup baru," katanya dengan nada penuh harapan.
Amelia mengangguk, ikut merasa optimis. Namun, meskipun senyumnya bertahan, benaknya tetap dihantui oleh keraguan. Teknologi baru sering kali membawa kejutan, dan instingnya mengatakan untuk tetap waspada.
......................
Hanya berselang beberapa hari, Amelia menerima panggilan darurat ke ICU. Salah satu pasien lain yang menggunakan implan jantung mekanik, Ny. Lila, mengalami serangan jantung mendadak. Saat Amelia tiba, perawat ICU sedang berjuang melakukan CPR.
"Dokter Amelia, pasien kehilangan denyut nadi! Kami sudah melakukan CPR selama tiga menit," kata seorang perawat dengan nada cemas.
Amelia segera mengambil alih komando, gerakannya tegas dan cepat. "Adrenaline 1 mg, segera! Siapkan defibrillator!" serunya sambil mengevaluasi situasi.
Tim medis bekerja dengan maksimal, tetapi meskipun segala usaha telah dilakukan, Ny. Lila tidak dapat diselamatkan. Amelia berdiri di samping tubuh yang tak bernyawa itu, napasnya berat.
Ia menatap layar monitor perangkat implan yang mencatat data sebelum serangan jantung terjadi. Matanya terpaku pada angka-angka anomali di mekanisme pompa.
"Ini tidak masuk akal," bisiknya pada dirinya sendiri. "Perangkat ini seharusnya memiliki sistem cadangan untuk mencegah hal seperti ini."
Namun, sebelum ia bisa menggali lebih dalam, hari-hari berikutnya membawa kabar buruk lain. Tn. Arif, pasien lain yang menggunakan perangkat itu, meninggal mendadak dengan pola serupa.
Amelia mulai menyadari bahwa ada pola bahaya dalam teknologi yang dianggap sebagai "revolusi" ini.
......................
Merasa ada sesuatu yang salah, Amelia bekerja sama dengan Laras, seorang teknisi perangkat medis yang memiliki akses ke data pemrograman implan. Mereka menganalisis data dari perangkat yang gagal, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Laras memandangi layar komputernya dengan alis berkerut. "Ada yang aneh di sini," katanya sambil menunjuk serangkaian kode dalam chip perangkat. "Pemrograman perangkat ini tidak sesuai dengan spesifikasi aslinya. Sepertinya ada cacat produksi."
Amelia menatap Laras dengan keterkejutan yang jelas. "Cacat produksi? Ini bisa membahayakan semua pasien yang sudah menggunakan perangkat ini. Kenapa kita tidak diberi tahu?"
Mereka menggali lebih dalam, memeriksa dokumen internal perusahaan pembuat perangkat tersebut.
Saat itulah Amelia menemukan sesuatu yang mengejutkan: email dari tim produksi yang mengungkapkan bahwa cacat ini sebenarnya telah diketahui sejak awal.
Namun, perusahaan memutuskan untuk tetap meluncurkan perangkat tanpa perbaikan demi mengejar tenggat waktu peluncuran produk.
Dengan suara penuh kemarahan, Amelia membaca salah satu email itu dengan lantang. "'Cacat kecil ini tidak akan terdeteksi dalam pengujian biasa. Kami bisa mengatasinya di versi selanjutnya.' Mereka tahu, Laras. Mereka sengaja menyembunyikannya."
......................
Amelia segera melaporkan temuannya kepada Dr. Johan dan komite medis rumah sakit. Namun, tindakannya tidak diterima dengan baik oleh semua pihak. Beberapa hari setelah laporan itu diajukan, Amelia mulai menerima pesan anonim yang berisi ancaman.
Pesan pertama muncul di ponselnya di tengah malam: “Berhenti menyelidiki, atau kau akan menyesal."
Amelia mencoba mengabaikan pesan itu, berpikir bahwa itu hanyalah taktik menakut-nakuti. Namun, pesan berikutnya lebih personal: “Keluargamu tidak akan aman jika kau terus mencampuri urusan ini."
Kegelisahan mulai menguasainya, tetapi Amelia menolak untuk mundur. Ia menemui Dr. Johan, berharap mendapatkan dukungannya untuk menarik perangkat berbahaya itu dari semua pasien.
"Johan, kita harus bertindak sekarang," katanya dengan nada mendesak. "Cacat ini terlalu berbahaya. Jika kita tidak menarik perangkat ini, lebih banyak nyawa akan melayang."
Namun, Dr. Johan terlihat ragu. Ia memijat pelipisnya sebelum akhirnya berbicara. "Amelia, kau tahu tekanan yang kita hadapi. Perangkat ini adalah satu-satunya harapan bagi banyak pasien. Jika kita menariknya sekarang, reputasi rumah sakit akan hancur, dan kita bisa kehilangan dana penelitian dari perusahaan farmasi."
Amelia menatapnya tajam, marah dengan sikap yang menurutnya tidak manusiawi. "Johan, kita berbicara tentang nyawa manusia, bukan angka di laporan keuangan! Berapa banyak lagi pasien yang harus mati sebelum kita bertindak?"
......................
Amelia kembali ke ICU setelah menerima panggilan darurat lain. Kali ini, pasien yang dalam kondisi kritis adalah Mr. Harun, pria yang sebelumnya begitu optimis dengan perangkat baru ini. Ketika ia tiba, situasinya sudah sangat buruk.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Amelia kepada seorang perawat yang tampak cemas.
"Perangkatnya berhenti berfungsi tiba-tiba. Kita sudah mencoba semua protokol, tapi dia tidak stabil," jawab perawat itu.
Amelia melirik monitor yang menunjukkan data perangkat. Ia menyadari bahwa kegagalan total perangkat itu hampir sama persis dengan yang terjadi pada pasien sebelumnya. Waktu terasa melambat ketika ia dan timnya mencoba segala cara untuk menyelamatkan Mr. Harun.
"Adrenaline, segera! Kita harus menjaga aliran darah ke otaknya!" serunya.
Namun, meskipun segala upaya telah dilakukan, layar monitor di sebelah ranjang menampilkan garis datar. Detak jantung Mr. Harun terhenti.
Amelia berdiri di samping ranjang, tubuhnya terasa berat. Matanya memandangi wajah Mr. Harun yang kini tak bernyawa, ingatan akan senyumnya yang penuh semangat beberapa hari lalu menghantuinya. Air mata menggenang di matanya, tetapi ia segera menahan diri.
......................
Di malam yang sunyi itu, Amelia duduk di depan laptopnya. Dengan jari-jari gemetar, ia mengetik laporan akhir untuk menyerahkan bukti lengkap kepada komite etika rumah sakit, meskipun ia tahu tindakannya dapat mengancam kariernya, bahkan hidupnya.
"Aku tak bisa diam," gumamnya. "Jika aku menyerah sekarang, siapa lagi yang akan memperjuangkan pasien-pasien ini?"
Setelah membaca kembali laporannya, Amelia menekan tombol "kirim". Ia tahu, keputusannya ini akan memulai pertempuran panjang melawan sistem yang lebih mementingkan keuntungan daripada keselamatan manusia. Di tengah ketakutan dan keraguan, Amelia merasa yakin bahwa ia telah melakukan hal yang benar.
...****************...
Amelia yang duduk di kursi kerjanya, tatapannya penuh tekad meskipun bayang-bayang ancaman terus menghantuinya.