Nayla, seorang gadis sederhana dengan mimpi besar, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah menerima lamaran dari Arga, seorang pria tampan dan sukses namun dikelilingi rumor miring—katanya, ia impoten. Di tengah desakan keluarganya untuk menerima lamaran itu demi masa depan yang lebih baik, Nayla terjebak dalam pernikahan yang dipenuhi misteri dan tanda tanya.
Awalnya, Nayla merasa takut dan canggung. Bagaimana mungkin ia menjalani hidup dengan pria yang dikabarkan tak mampu menjadi suami seutuhnya? Namun, Arga ternyata berbeda dari bayangannya. Di balik sikap dinginnya, ia menyimpan luka masa lalu yang perlahan terbuka di hadapan Nayla.
Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Nayla menyadari bahwa rumor hanyalah sebagian kecil dari kebenaran. Tetapi, ketika masa lalu Arga kembali menghantui mereka dalam wujud seseorang yang membawa rahasia besar, Nayla dihadapkan pada pilihan sulit, bertahan di pernikahan ini atau meninggalkan sang suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Amplop itu tergeletak di lantai, tak tersentuh. Tatapan pria bertopeng itu tidak bergeming, tajam seperti pisau yang menusuk langsung ke arah Nayla. Nafasnya memburu, sementara Arga berdiri mematung di antara mereka.
“Apa maksudmu?” Arga berusaha menjaga suaranya tetap tegas, tapi ketegangan di wajahnya tak bisa disembunyikan.
Pria itu hanya mengangkat bahu, seperti sedang memamerkan hasil pekerjaan seninya. “Kebenaran,” katanya singkat.
“Kebenaran apa?” Nayla memberanikan diri berbicara, meski lututnya terasa lemas.
“Tentu saja kebenaran tentang suamimu.” Pria itu menyeringai di balik topengnya, lalu mengangkat pistol yang digenggamnya. “Tapi bukan aku yang akan mengatakannya. Tugas itu milik Clara.”
Mendengar nama itu, Arga langsung maju satu langkah, berusaha mendominasi situasi. “Kalau Clara yang mengirimmu, kau bisa kembali dan katakan padanya bahwa aku tidak takut. Kau tidak akan mendapatkan apa pun dari kami.”
Pria bertopeng itu tertawa, suara rendahnya bergema di lorong kecil itu. “Oh, tapi kau sudah memberikan semuanya, Arga. Kau hanya belum menyadarinya.”
Nayla memandang Arga, menunggu reaksi yang lebih dari sekadar amarah. Namun, sebelum suaminya bisa menjawab, pria itu mengangkat pistolnya lebih tinggi, membuat mereka mundur selangkah.
“Kau tahu, Clara punya teori menarik,” pria itu berkata perlahan, suaranya terdengar hampir menikmati setiap kata. “Bahwa pernikahan ini hanyalah cara untuk menutupi kelemahanmu. Orang-orang suka cerita, bukan? Dan Clara... dia sangat pandai menyebarkannya.”
“Apa yang dia katakan?” tanya Nayla dengan suara pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada pria itu.
“Ah, kau belum mendengarnya?” Pria itu terkekeh. “Dia bilang Arga menikahimu hanya untuk menjaga reputasi. Agar orang-orang tidak tahu bahwa dia—”
“Cukup!” Arga memotong tajam, suaranya penuh kemarahan. “Kau tidak tahu apa pun tentang kami.”
“Oh, tapi aku tahu,” pria itu balas menekan. “Dan sekarang, Nayla juga tahu. Bagaimana perasaanmu, istri tercinta? Menikah dengan pria yang hanya butuh kamu sebagai properti?”
Nayla menatap Arga, mencari jawaban di wajahnya, tapi suaminya hanya diam.
“Kau percaya padanya?” Arga akhirnya membuka suara, menatap Nayla dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Atau padaku?”
“Ini bukan tentang kepercayaan,” jawab Nayla dengan jujur. “Ini tentang apa yang belum kau katakan padaku.”
Sebelum percakapan itu bisa berlanjut, pria bertopeng itu mengangkat pistolnya lebih tinggi, lalu menembakkannya ke arah langit-langit. Suara letusan itu memekakkan telinga, membuat Nayla berteriak kecil.
“Sudah cukup berbasa-basi,” kata pria itu. “Aku akan pergi, tapi kalian tidak akan tenang. Pesanku sudah sampai. Kalian punya waktu hingga besok untuk membuat keputusan.”
Pria itu mundur perlahan, lalu menghilang ke kegelapan.
Di ruang tamu, Nayla dan Arga duduk berhadapan. Amplop tadi tergeletak di antara mereka.
“Kau tidak akan menjelaskan apa pun padaku?” tanya Nayla.
Arga mengusap wajahnya, jelas kelelahan. “Clara sedang bermain-main denganmu. Dengan kita. Itu saja yang perlu kau tahu.”
“Arga, dia menuduhmu...” Nayla tidak melanjutkan kalimatnya. Ia bahkan tidak yakin bagaimana menyelesaikannya tanpa terdengar kasar.
“Tuduhan itu tidak benar,” potong Arga, menggeleng pelan. “Dan aku tidak akan membiarkan kau percaya kebohongannya.”
“Tapi kenapa dia begitu yakin?” Nayla mendesak, suaranya mulai meninggi.
“Aku tidak tahu, Nayla. Mungkin karena dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku sudah tidak peduli padanya.”
Nayla terdiam sejenak, mencoba mencerna semuanya. Namun, pikirannya tetap berputar, menciptakan skenario-skenario yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Aku hanya ingin tahu satu hal,” katanya akhirnya. “Kenapa kau menikahiku?”
Arga menatapnya, matanya menunjukkan sesuatu yang lebih dalam daripada kemarahan atau frustrasi. “Karena aku mencintaimu,” jawabnya tanpa ragu.
“Tapi kenapa rasanya kau selalu menyembunyikan sesuatu?”
Arga tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, lalu bangkit dari tempat duduknya. “Kau ingin tahu? Baiklah. Aku akan memberitahumu semuanya.”
Nayla menahan napas, menunggu pengakuannya. Namun, sebelum Arga bisa mengatakan apa pun, suara ketukan pintu memecah keheningan.
Keduanya saling memandang, kemudian Nayla berdiri perlahan, merasa ada sesuatu yang tidak benar. Ketika ia membuka pintu, tidak ada siapa pun di sana—hanya amplop lain, kali ini dengan tanda merah di sudutnya.
Dengan tangan gemetar, Nayla mengambil amplop itu dan membukanya. Di dalamnya, hanya ada satu kata yang tertulis dengan tinta merah besar.
“BOHONG.”
Nayla berdiri mematung di depan pintu, amplop itu terasa seperti batu di tangannya. "Bohong?" gumamnya. Ia mendongak ke Arga, yang kini berdiri di belakangnya dengan wajah setengah bingung dan setengah jengkel.
"Serius? Amplop lain lagi?" Arga menyandarkan bahunya di kusen pintu sambil mengusap wajahnya. "Clara punya berapa banyak amplop, sih? Apa dia beli grosir di toko alat tulis?"
“Bukan itu masalahnya!” Nayla menjentikkan amplop itu ke arah Arga, membuat pria itu mengelak refleks. “Masalahnya adalah kenapa ada kata ‘bohong’ di sini? Bohong soal apa?”
Arga menatapnya dengan ekspresi polos, seakan-akan baru ditangkap basah mencuri kue. “Aku juga pengen tahu, Nayla. Apa mungkin Clara salah amplop? Atau mungkin dia pakai strategi teka-teki silang untuk membingungkan kita.”
“Arga!” Nayla memekik, frustrasi.
“Aku bercanda!” Arga mengangkat tangan seolah menyerah, meski sudut bibirnya masih menyiratkan senyum tipis. “Tapi serius, Nayla. Jangan biarkan ini membuat kita terpecah.”
“Aku tidak terpecah,” jawab Nayla cepat. “Tapi aku merasa seperti sedang main detektif dalam hidupku sendiri, dan kau tidak membantu sama sekali!”
Arga mendekat, memegang bahu Nayla. “Aku akan bantu, aku janji. Tapi kita harus tetap tenang. Clara menginginkan kita kehilangan akal sehat. Itu caranya bermain.”
Nayla menggeleng pelan, tapi akhirnya menyerah. “Baiklah. Jadi, apa rencana kita? Duduk dan menunggu amplop berikutnya? Atau mungkin dia akan mulai kirim pesan lewat drone?”
“Kalau sampai drone, aku akan lempar sandal,” gumam Arga sambil berjalan ke ruang tamu.
---
Malam itu, Nayla tidak bisa tidur. Ia duduk di sofa dengan selimut melilit tubuhnya, menatap amplop terakhir yang kini tergeletak di meja. Pikiran-pikirannya bercampur aduk, dari marah ke penasaran, lalu ke arah yang lebih konyol, apa Clara pernah mempertimbangkan untuk membuka jasa kurir rahasia?
Saat ia mulai mengantuk, pintu depan tiba-tiba bergetar, seakan-akan seseorang mencoba membukanya. Nayla langsung duduk tegak, jantungnya berdegup kencang.
“Arga?” panggilnya, berharap suaminya masih terjaga. Namun tidak ada jawaban dari kamar tidur.
Dengan tangan gemetar, Nayla meraih sapu yang berada di sudut ruangan. Tidak terlalu heroik memang, tapi lebih baik daripada tidak ada perlindungan sama sekali.
Ketukan itu berubah menjadi ketukan keras, membuat Nayla semakin waspada. Ketika ia akhirnya memberanikan diri membuka pintu, ia terkejut melihat sosok yang berdiri di depannya.
“Clara?” suara Nayla nyaris tidak keluar.
Wanita itu berdiri di sana, senyum tipis di wajahnya yang dingin. Ia mengenakan gaun merah menyala, rambutnya tertata sempurna, dan di tangannya ada sebuah amplop besar berwarna hitam.
“Surprise,” ucap Clara dengan nada manis, tetapi matanya menunjukkan sesuatu yang membuat darah Nayla membeku.
Sebelum Nayla sempat berkata apa-apa, Clara menyerahkan amplop itu. “Buka sekarang. Aku ingin melihat reaksimu.”
Nayla memandang amplop itu, lalu menatap Clara. Ada sesuatu yang salah, sesuatu yang mengintai di balik senyum lebar wanita itu.
“Kalau aku tidak mau?” tantang Nayla, meski suaranya sedikit bergetar.
“Oh, kau akan mau.” Clara mencondongkan tubuhnya lebih dekat, berbisik dengan nada yang membuat bulu kuduk Nayla meremang. “Karena kalau tidak, aku akan memberitahu seluruh dunia bahwa Arga menikahimu karena dia impoten.”
Nayla terkesiap, tapi sebelum ia bisa bereaksi, Clara berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Nayla berdiri membeku dengan amplop hitam di tangan.
Di dalam rumah, suara langkah kaki mendekat. Arga berdiri di lorong, matanya memandang Nayla dengan penuh kekhawatiran. “Siapa itu?”
Nayla menyerahkan amplop hitam itu kepadanya, lalu berkata dengan suara hampir berbisik, “Clara. Dan ini dia tinggalkan untuk kita.”
Arga membuka amplop itu perlahan, sementara Nayla menahan napas di sampingnya. Ketika isi amplop itu terbuka, mata Arga melebar, wajahnya berubah tegang.
“Nayla,” suaranya hampir bergetar. “Kita harus pergi sekarang.”