Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Awal dari Cahaya Baru
Langit mulai cerah ketika Elarya dan Kael meninggalkan Puncak Solis. Cahaya hangat matahari pagi menyentuh wajah mereka, seolah menyambut awal yang baru. Bayi mereka, kini tertidur dengan damai dalam dekapan Elarya, memancarkan aura lembut yang mengingatkan mereka bahwa dunia mungkin masih memiliki harapan.
Namun, perjalanan turun dari puncak tidak mudah. Meski makhluk-makhluk gelap telah memudar, jejak kehancuran yang mereka tinggalkan masih terasa nyata. Desa-desa yang terbakar, ladang-ladang yang layu, dan orang-orang yang kehilangan rumah mereka menjadi pengingat bahwa perang belum sepenuhnya berakhir.
Kael memandangi Elarya yang tampak lebih lemah dari biasanya. "Kau yakin kau bisa berjalan sejauh ini? Kita bisa istirahat sejenak."
Elarya tersenyum tipis, meskipun kelelahan terlihat di wajahnya. "Aku tidak punya pilihan, Kael. Dunia ini membutuhkan kita. Mereka membutuhkan kita lebih dari sebelumnya."
Kael mengangguk, menyadari bahwa semangat Elarya tidak bisa digoyahkan. "Kalau begitu, aku akan memastikan kau tidak berjalan sendiri."
Ia meraih tangan Elarya, menggenggamnya erat. Perjalanan mereka turun dari puncak menjadi simbol kebersamaan mereka, meski bayangan kegelapan masih mengintai.
Setibanya di kaki gunung, mereka disambut oleh sekelompok penduduk desa yang bertahan dari serangan makhluk-makhluk gelap. Wajah-wajah mereka memancarkan harapan saat melihat Elarya dan Kael.
"Apakah kalian berhasil?" tanya seorang pria tua dengan suara gemetar.
Elarya mengangguk sambil menunjukkan bayi di pelukannya. "Makhluk-makhluk itu telah pergi untuk sementara, tetapi kita harus tetap bersiap. Ancaman ini belum benar-benar selesai."
Kerumunan itu bersorak pelan, meskipun rasa lelah dan trauma masih jelas terlihat di wajah mereka. Seorang wanita muda mendekati Elarya, membawa secangkir air dan roti kering. "Silakan, Nona. Kau pasti membutuhkan ini."
Elarya tersenyum dan menerima pemberian itu. "Terima kasih. Kami akan membutuhkan kekuatan kalian juga. Dunia ini hanya bisa bertahan jika kita semua bekerja sama."
Kael membantu mengatur para penduduk desa untuk membangun kembali tempat tinggal mereka. Sementara itu, Elarya duduk di bawah pohon besar, memandang bayi mereka yang tertidur. Ia bertanya-tanya seperti apa masa depan yang akan mereka hadapi.
"Kau adalah harapan mereka," bisik Elarya pada bayinya. "Kita harus memastikan dunia ini menjadi tempat yang layak untukmu."
Namun, malam itu, tanda-tanda pertama dari ancaman baru mulai terlihat. Langit yang seharusnya gelap berubah menjadi merah, dan udara terasa lebih berat dari biasanya. Para penduduk desa mulai gelisah, bisik-bisik ketakutan menyebar di antara mereka.
Kael segera berdiri di tengah kerumunan, mencoba menenangkan mereka. "Tetap tenang! Kita tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kita harus tetap bersama dan menjaga satu sama lain."
Elarya merasa segel di dadanya mulai berdenyut, seolah-olah bereaksi terhadap sesuatu yang datang. Ia berdiri, meskipun tubuhnya masih terasa lemah, dan berjalan ke arah Kael.
"Ada sesuatu yang salah," ujarnya dengan nada serius. "Ini bukan sekadar fenomena alam. Ini adalah tanda bahwa sesuatu—atau seseorang—sedang mendekat."
Kael menghunus pedangnya, pandangannya tajam menatap horizon. "Jika itu benar, kita harus siap."
Sebelum mereka bisa menyusun rencana, sebuah ledakan besar terdengar di kejauhan. Tanah di bawah mereka bergetar, dan dari balik hutan, muncul sosok besar dengan tubuh yang memancarkan aura gelap.
Makhluk itu berbeda dari yang sebelumnya. Tubuhnya terlihat solid, dan matanya bersinar merah terang, penuh kebencian. Ia melangkah perlahan, tetapi setiap langkahnya membuat tanah di sekitarnya retak.
"Dia... lebih kuat dari yang lain," bisik Elarya, mencoba menahan rasa takut yang merayap di hatinya.
Kael memegang pedangnya lebih erat. "Apa pun itu, aku akan melindungimu dan anak kita."
Elarya menatapnya dengan penuh keyakinan. "Tidak, Kael. Kali ini, kita harus melakukannya bersama. Aku tidak akan membiarkanmu bertarung sendirian."
Kael tersenyum kecil. "Kau selalu keras kepala, ya?"
Elarya mengangguk. "Itulah sebabnya kita masih di sini, bukan?"
Pertarungan melawan makhluk itu dimulai dengan ledakan energi dari segel Elarya. Cahaya terang memenuhi medan pertempuran, membuat makhluk itu mundur beberapa langkah. Namun, makhluk itu segera membalas dengan serangan gelombang energi gelap yang menghantam tanah di sekitar mereka, menghancurkan pohon-pohon dan membakar rumput.
Kael melompat ke depan, menyerang makhluk itu dengan serangkaian pukulan pedangnya. Namun, makhluk itu terlalu cepat, dan Kael hampir terkena cakar tajamnya.
Elarya, sementara itu, memusatkan energi segelnya untuk menciptakan perisai cahaya di sekitar mereka. Perisai itu berhasil menahan serangan makhluk tersebut, tetapi Elarya tahu bahwa kekuatannya tidak akan bertahan lama.
"Kael, kita harus menemukan kelemahannya!" teriak Elarya.
Kael mengangguk, matanya mencari-cari celah di tubuh makhluk itu. "Aku melihat sesuatu! Intinya ada di dadanya, seperti sebelumnya. Tapi aku butuh waktu untuk mendekat."
"Aku akan memberimu waktu," jawab Elarya.
Dengan kekuatan terakhirnya, Elarya menciptakan sebuah tombak cahaya dan melemparkannya ke arah makhluk itu. Tombak itu mengenai bahu makhluk tersebut, membuatnya menggeram kesakitan dan mundur beberapa langkah.
Kael memanfaatkan momen itu untuk menyerang. Ia melompat tinggi, mengarahkan pedangnya tepat ke inti di dada makhluk tersebut. Dengan teriakan penuh tekad, ia menusukkan pedangnya dengan kekuatan penuh.
Makhluk itu mengeluarkan raungan mengerikan sebelum akhirnya tubuhnya hancur menjadi serpihan gelap yang menghilang di udara.
Saat keheningan kembali, Elarya jatuh berlutut, tubuhnya hampir tidak bisa menopang dirinya sendiri. Kael segera menghampirinya, memeluknya erat.
"Kita berhasil," bisik Kael, meskipun tubuhnya penuh luka.
Elarya mengangguk pelan, matanya memandang bayi mereka yang masih tertidur. "Tapi ini belum berakhir. Ancaman ini akan terus datang, Kael. Kita harus lebih kuat."
Kael mengusap rambutnya, mencoba menenangkan istrinya. "Kita akan menghadapi semuanya bersama. Kau, aku, dan anak kita."
Elarya tersenyum tipis, meskipun rasa khawatir masih menghantui hatinya. Mereka telah memenangkan satu pertempuran, tetapi perang besar masih menunggu di depan.
Elarya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri meski beban yang menekan dadanya terasa semakin berat. Bayi mereka yang terlelap di pelukan membuatnya merasa sejenak bisa melupakan kecemasan yang datang bergulung-gulung. Tapi rasa itu tak bertahan lama. Kekuatan segel di tubuhnya semakin tak terkendali, seperti ada sesuatu yang sedang menunggu untuk bangkit, sesuatu yang lebih besar dari sekadar kekuatan yang dimiliki.
Kael menatap Elarya dengan penuh perhatian, menyadari betapa jauh pikirannya melayang. Dia tahu istrinya sedang berjuang lebih keras dari yang terlihat. Tangan Elarya menggenggam lembut tangan Kael, yang segera memberi respons, mengeratkan genggamannya. Mereka berdua tahu, meskipun dunia di sekitar mereka terus bergetar, di sini, saat ini, mereka masih memiliki satu sama lain.
"Kau tahu, Elarya," kata Kael perlahan, matanya penuh kehangatan, "ketika kita memulai semua ini, aku tak pernah membayangkan perjalanan kita akan sesulit ini. Tapi apa pun yang terjadi... aku akan selalu di sini, bersamamu."
Elarya menatap suaminya dengan tatapan penuh cinta, meskipun ada kecemasan yang jelas terpancar dari matanya. "Aku tahu, Kael. Dan aku juga akan selalu di sini. Tapi, kita harus lebih siap. Segalanya semakin buruk. Apa yang telah kita alami, itu bukan akhir dari semuanya."
Kael mengangguk. "Aku tahu. Itu sebabnya kita harus menemukan siapa atau apa yang benar-benar mengendalikan semua ini. Apa yang kita hadapi bukanlah musuh biasa. Ini lebih dari itu. Aku takut jika kita tak bergerak cepat, segala yang kita perjuangkan akan hancur."
Elarya memejamkan matanya sejenak, merasakan kekuatan segel yang kini semakin sulit untuk dia kendalikan. Perasaan gelap dan kekosongan terasa menggerogoti jiwanya, mencoba menguasai dirinya. Dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi ada perasaan kuat yang menahan setiap langkahnya.
"Elarya," Kael mengangkat wajahnya, penuh perhatian. "Kita harus percaya pada diri kita sendiri. Kau lebih kuat dari yang kau kira."
Elarya membuka matanya, mengangguk pelan. "Aku tahu. Tapi kadang-kadang aku merasa aku tak bisa lagi mengendalikan segalanya. Kekuatanku semakin liar. Dan jika aku tak bisa mengendalikannya, ini akan menghancurkan kita semua."
Kael menariknya ke pelukannya, memberikan kenyamanan yang tak terucapkan dengan hanya hadir di sana. "Kita akan menemukan cara. Kita akan melewati ini bersama, seperti kita selalu lakukan."
Keheningan kembali menyelimuti mereka, namun kali ini terasa lebih damai, meskipun ancaman dari luar masih ada. Elarya memejamkan matanya, berharap bisa menemukan kedamaian dalam pelukan Kael. Dalam hatinya, dia berdoa agar kekuatan segel dalam dirinya tak melukai mereka lagi.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu tenda terkuak dan seorang pria tua dengan pakaian penuh debu muncul di ambang pintu. Wajahnya serius, namun ada kekhawatiran yang jelas terlihat di matanya.
"Elarya, Kael," suara pria itu bergema rendah, "Kita mendapat berita buruk. Sesuatu yang lebih besar sedang bergerak menuju desa ini. Aku takut kita tidak punya banyak waktu."
Kael dan Elarya saling pandang, rasa cemas yang sudah terpendam di dalam hati mereka semakin memuncak. Elarya berdiri perlahan, tangan kanan memegang perutnya yang mulai membesar, kehadiran anak mereka semakin nyata, namun dunia di luar semakin memburuk.
"Apa yang sedang terjadi?" tanya Elarya, suaranya lebih tegas daripada yang dia rasakan dalam hatinya.
Pria itu menggelengkan kepala, napasnya terasa berat. "Aku tidak tahu pasti. Namun, ada kekuatan gelap yang mulai bergerak. Sepertinya, ini adalah hasil dari apa yang telah kita lakukan dengan segel itu. Aku takut, kalian sudah menarik perhatian kekuatan yang jauh lebih besar dari sekadar makhluk-makhluk yang kita hadapi sebelumnya."
Kael menatap Elarya, dan matanya penuh tekad. "Apa pun yang terjadi, kita harus bertahan. Kita harus melawan. Untuk kita, untuk anak kita, dan untuk dunia yang masih memiliki harapan."
Elarya menggenggam tangan Kael, menatapnya dengan keyakinan baru yang lahir di dalam hatinya. "Kita akan melakukannya. Kita tidak akan menyerah. Apapun ancaman yang datang, kita akan hadapi bersama."
Dengan tekad yang semakin kuat, mereka bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan datang, meskipun dunia mereka semakin gelap.
Elarya dan Kael menatap pria tua itu dengan serius. Wajah mereka tak menunjukkan rasa takut, tetapi lebih kepada kesiapan menghadapi apa yang akan datang. Segalanya berubah begitu cepat—dari kebahagiaan menyambut kelahiran anak mereka, hingga ancaman yang kini muncul di hadapan mereka, lebih gelap dan lebih menakutkan dari yang pernah mereka bayangkan.
Pria tua itu menatap mereka dengan ragu, jelas melihat perubahan di wajah mereka. "Aku tidak ingin menakut-nakuti kalian, tapi kalian harus tahu, kekuatan yang kalian hadapi kali ini bukanlah hal yang bisa dianggap enteng."
"Siapa musuhnya?" tanya Kael, dengan suara yang lebih rendah namun tegas. Di dalam dadanya, perasaan gelisah mulai menggebu, tetapi ia menahan diri agar tidak menunjukkan kelemahan di hadapan Elarya.
"Entitas ini—ia tidak terlihat seperti makhluk biasa," pria itu melanjutkan dengan hati-hati. "Ia adalah kekuatan kuno, tersembunyi selama berabad-abad, dan sekarang terbangun. Itu adalah perwujudan dari kegelapan, yang sangat kuat, bahkan lebih dari segel yang ada di tubuhmu, Elarya."
Elarya menutup mata sejenak, berusaha mencerna kata-kata pria itu. Di dalam dirinya, segel cahaya itu berkilau lebih terang dari sebelumnya, namun ada sensasi aneh yang ia rasakan—sebuah ketegangan, sesuatu yang terasa lebih berat, seolah kekuatan itu sedang berusaha melepaskan diri dan menguasai tubuhnya. Itu bukanlah sesuatu yang bisa dia kendalikan dengan mudah.
"Jadi, ini semua karena segel di tubuhku?" Elarya bertanya dengan suara penuh ketegasan, meskipun di dalam hatinya masih ada rasa cemas yang sulit untuk dihindari.
Pria tua itu mengangguk, wajahnya penuh kekhawatiran. "Kekuatanmu itu, Elarya, sangat kuat, tetapi juga berbahaya. Tidak hanya bagi dirimu, tapi juga bagi dunia ini. Aku takut jika kamu tak bisa mengendalikan kekuatan itu, maka kegelapan yang kau tarik bisa menghancurkan segalanya."
Kael menoleh pada Elarya, dan dalam tatapan mereka terdapat sebuah pemahaman yang dalam. Mereka tahu bahwa apa yang akan datang bukan hanya ujian bagi mereka, tetapi juga bagi seluruh dunia yang kini terancam oleh kekuatan gelap itu.
"Tidak ada pilihan lain selain bertarung," ujar Kael dengan suara penuh tekad, menggenggam tangan Elarya dengan erat. "Kita akan mencari cara untuk mengendalikan kekuatan ini. Kita tidak akan biarkan segalanya hancur begitu saja."
Elarya mengangguk perlahan. Ia tahu ini adalah jalan yang penuh risiko, tetapi ia tak bisa mundur. Ada anak di dalam dirinya, yang harus dilindungi. Ada Kael, yang selalu berada di sisinya. Dan ada dunia yang, meskipun penuh kekacauan, masih layak diperjuangkan.
"Kael," suara Elarya pelan, "aku merasa sesuatu yang semakin kuat di dalam diriku. Aku tidak bisa memastikannya, tapi... ada perasaan aneh. Sepertinya, ada sesuatu yang berusaha mengambil alih tubuhku."
Kael menatapnya, matanya penuh kekhawatiran, namun juga kekuatan. "Apapun itu, Elarya, kita hadapi bersama. Tidak ada yang bisa kita takuti, selama kita bersama."
Saat itu, keduanya mendengar sebuah suara gemuruh yang menggetarkan tanah. Dunia di sekitar mereka berguncang dengan keras. Satu-satunya hal yang mereka tahu adalah bahwa ancaman yang datang semakin mendekat.
"Saatnya sudah tiba," ujar pria tua itu, dengan suara penuh penyesalan. "Kekuatan kegelapan itu tidak akan menunggu."
Dengan langkah cepat, Kael menggenggam pedangnya, sementara Elarya menenangkan diri, memfokuskan energi segel di tubuhnya. Namun, meskipun ia berusaha untuk mengendalikan kekuatan itu, ia bisa merasakan getaran tak terduga yang mulai merasuki tubuhnya.
"Kita pergi ke tempat yang lebih aman," ujar pria tua itu, menarik mereka untuk bergerak lebih cepat. "Kekuatan itu—itu semakin dekat. Kita tidak punya banyak waktu."
Dengan langkah terburu-buru, mereka menuju ke sebuah tempat yang lebih terlindung. Namun, pada saat yang sama, ancaman itu semakin dekat. Di kejauhan, mereka bisa melihat bayangan gelap yang bergerak cepat, dan itu semakin membesar.
"Kael, Elarya," suara pria itu tiba-tiba terdengar cemas, "saat ini, segel yang ada pada Elarya harus aktif sepenuhnya. Jika tidak, kita tidak akan mampu menghadapinya."
"Bagaimana caranya?" tanya Kael, tak ingin menyia-nyiakan waktu.
"Elarya, kau harus sepenuhnya mengendalikan segel itu," kata pria itu, "Kau harus menggabungkannya dengan kekuatan dalam dirimu, dengan kehendakmu, bukan hanya kekuatan luar. Hanya dengan itu, kau bisa menahan kegelapan ini."
Elarya memejamkan matanya, mencoba memusatkan dirinya pada segel yang kini terasa lebih berat daripada sebelumnya. Ia bisa merasakan adanya dorongan dari dalam, keinginan untuk melepaskan kekuatan yang ada di dalam tubuhnya. Namun, ia tahu betul bahwa jika ia tidak bisa mengendalikannya dengan baik, maka semuanya akan berakhir tragis.
Di luar, kegelapan semakin menyelimuti langit, dan suara gemuruh semakin keras. Waktu mereka hampir habis.