Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
REBUTAN INGIN NGOBROL
Marsha mendongak begitu melihat seseorang mendorong paper bag yang bertuliskan sebuah merk cookies keju di mejanya, ia mendapati Davi, teman seangkatannya namun beda kelas. Davi tersenyum simpul, lalu duduk didepan Marsha dengan pelan agar tidak mengeluarkan suara bising.
"Thanks," bisik Marsha, lalu menggeser cookies mahal itu berada disamping kanannya, yang bersisian dengan ponselnya.
Melihat itu Davi merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya pula dan kemudian ia sibuk dengan ponsel ditangannya sekarang, sedangkan Marsha kembali membaca bukunya. Tidak lama, ponsel Marsha berkedip menunjukkan notifikasi chat yang masuk. Marsha melihatnya dan membacanya cepat.
Davi: [Gue ganggu nggak?]
Marsha menoleh kearah Davi lalu membalasnya,
Marsha: [No, ada yang mau di omongin?]
Davi kembali tersenyum melihat Marsha yang menunggu jawabannya.
Davi: [Iya, kalau lo bersedia kita ngobrol di kantin, boleh?]
Marsha mengangguk, lalu ia pun membereskan beberapa bukunya yang di bantu Davi. Kegiatan rutinitas pagi Marsha melakukan semedi alias membaca buku di perpustakaan ini sudah diketahui para guru, teman-temannya, termasuk Davi. Siapa pun yang ada perlu dengan Marsha di pagi hari tempat pertama yang di cari adalah perpustakaan, seperti Davi sekarang yang datang mencarinya ke perpustakaan.
"Lo mau pesan apa? Selagi belum ramai." tawar Davi, begitu mereka sudah berada di kantin, dengan jumlah murid yang sangat sedikit.
"Nggak usah, gue udah sarapan tadi." tolak Marsha sopan, "Lo mau ngomong apa, Dav?" tanya Marsha langsung.
Davi tersenyum canggung, sebenarnya ia ingin basa-basi dulu sebelum membicarakannya pada Marsha.
"Sha," panggil Davi lembut dengan suara khasnya yang serak dan seksi yang menjadi salah satu alasan para murid perempuan mengidolakan Davi.
Sejauh ini tidak ada yang terlihat tidak menyukai Davi, mungkin para murid laki-laki yang itu juga mungkin merasa jadi saingannya. Davi adalah murid laki-laki yang tampan, ketua OSIS di sekolah, kaya dan cerdas. Nyaris sempurna, atau sebagian mengatakan dia memang pria yang sempurna versi pikiran masing-masing para murid perempuan yang mendambakannya. Murid perempuan mana yang mau menolak karisma seorang Davi?
"Marsha!"
Ya, Marsha satu-satunya yang tidak ingin menjadikan Davi seseorang yang spesial di hatinya. Tidak ada yang bisa mengalahkan cinta Reno dihatinya. Dua tahun disekolah yang sama dan dua kali Marsha juga sudah menolaknya, ini tahun ke tiga, namun sepertinya ia pantang menyerah. Marsha curiga Davi ingin mengatakan cintanya lagi.
Marsha menoleh kearah suara yang memanggilnya─Bima yang juga seangkatan dengannya tapi juga beda kelas itu sedang berjalan menghampiri dimana Marsha dan Davi duduk. Jelas kehadirannya membuat Davi memasang muka masam, ingin rasanya ia mengusir Bima yang terkenal tengil dan urakan itu jauh-jauh.
"Gue cari lo tadi di perpustakaan." Bima menarik kursi dengan asal dan memposisikan nya dekat dengan Marsha, menggeser paksa Davi yang ia anggap tidak ada.
Pribadi Bima berlawanan dari Davi, terkenal bad boy, tidak memberikan banyak kebanggaan pada sekolah selain elusan dada atas tingkahnya. Satu-satunya yang sama adalah mereka sama-sama menjadi idola murid perempuan, kalau Davi versi cool, sedangkan Bima versi slengeannya. Bukan versi hotnya ya, tapi kalau ketampanan mereka sama-sama hotnya, bahkan Sarah sampai cerewet kenapa Marsha tidak mau menerima salah satunya untuk statusnya di sekolah atau sekedar cinta-cinta monyet.
"Ini buat lo." Bima memberikan banyak cokelat dengan merk-merk terkenal dan tentunya mahal─ seperti biasa, hampir tiap bulan pasti Bima selalu menitipkan atau memberinya secara langsung pada Marsha.
"Thanks, Bim." Marsha mengambil cokelat-cokelat itu, "Udah berapa kali gue bilang, lo nggak perlu repot-repot kayak gini." Marsha berucap dengan suara yang pasrah, ia lelah untuk kesekian kalinya entah bagaimana ia menghitungnya untuk meminta Bima berhenti memberi apapun itu padanya.
Semua pemberian diawal selalu Marsha tolak keras, bahkan tidak ia terima tapi paksaan mereka dengan kalimat-kalimat iba yang menyentuh akhirnya selalu membuat Marsha menerimanya. Marsha terlalu baik alias tidak tegaan.
"Please Sha, terima ya, gue nggak tuntut apapun dari lo. Jujur ini ikhlas Sha, gue sampai antri berjam-jam buat dapatkan ini untuk lo."
Salah satu pernyataan yang membuat Marsha menerimanya karena ia tahu memang butuh mengantre untuk mendapatkan barang itu. Marsha hanya ingin sekedar menghargai usahanya, dan perasaannya agar tidak tersinggung, itu saja tidak lebih sebenarnya.
Davi tersenyum smirk penuh kemenangan melihat apa yang diberikan Bima, satu hal yang sampai sekarang Bima tidak tahu─Marsha alergi cokelat, terbukti dari pemberiannya.
"Napa lo senyum-senyum nggak jelas?!' tantang Bima yang sadar akan senyuman Davi, Davi hanya mengedikkan bahunya.
"Sha, bisa ngobrol nggak? Tapi jangan ada dia, gue alergi klimis kayak h*mo gini." matanya melirik Davi.
Marsha kaget, Davi apalagi tentu tidak terima mendengar ucapan Bima. "Maksud lo apaan bilang-bilang gue h*mo!" Davi mulai menegang, wajahnya merah menahan emosi.
Marsha mulai panik, "Dav, please sabar." pinta Marsha lembut, "Bima kalau ngomong disini aja bisa?" tanya Marsha pada Bima, sama lembutnya.
"Nggak bisa Sha, gue mau ngomong berdua aja sama lo." Bima ngotot.
Marsha mulai bingung, tidak mungkin ia meninggalkan Davi karena memang dia duluan yang ada perlu dengannya.
"Gue udah dari tadi disini mau ngomong sama Marsha, lo kenapa datang-datang rusuh sih, bisa nanti atau besok kan." ucap Davi.
"Nggak bisa, lo aja yang besok." Bima masih keras kepala.
Marsha mulai panik menghadapi situasi, ia hanya bisa berdoa bel sekolah segera berbunyi atau ada Sarah dan teman lainnya datang menyelamatkannya. Marsha melirik jam tangannya, masih lima belas menit lagi ia bingung harus beralasan apa untuk pergi meninggalkan mereka.
"Sha, jadi gimana?" tanya Bima lagi, nadanya mulai memaksa.
"Hmmm..." Marsha melirik Davi tidak enak, tidak mungkin diminta mengalah apalagi mengusirnya kan, Marsha juga tidak tega.
"Udahlah Bim, lo bisa nggak sih nggak usah maksa begitu. Kasihan Marsha." ucapan Davi menyulut emosi Bima yang impulsif.
"Siapa yang maksa, hah!?" Bima sudah berdiri dengan tangan mencengkeram kemeja Davi.
"Bim, Bima please! Nggak gini caranya." Marsha berdiri dengan cepat memegang lengan Bima untuk melepaskan cengkeramannya.
"Kalian mau jadikan kantin sebagai ring tinju?!'
Marsha dan kedua idola sekolah itu menoleh cepat begitu mendengar suara bariton yang tidak asing di telinganya itu. Matanya tajam menatap kearah tangan Marsha yang masih memegang tangan Bima, dengan cepat Marsha melepaskannya. Begitu juga dengan Bima yang melepaskan cengkeramannya pada Davi.
"Mau bubar atau keruang TU sekarang!?"
"Maaf Pak, permisi." Davi yang lebih dulu memilih pergi, ia tidak ingin nama dan statusnya sebagai ketua OSIS tercoreng hanya karena masalah ini.
"Permisi," Bima pun yang terkenal preman turut mengundurkan diri, kini ia tidak bisa memaksa.
Kini hanya tinggal Marsha yang bergeming, napasnya naik turun dengan pelan, ia belum berani menatap guru yang menegur mereka.
"Kamu ikut keruangan saya." perintah Alan masih dengan tatapan tajamnya. Marsha hanya diam menunduk dan mengekor di belakang Alan.
~