Nikah dadakan karna di jodohkan ❌ Nikah dadakan gara gara prank ✅ Nikah dadakan karna di jodohkan mungkin bagi sebagian orang memang sudah biasa, tapi pernah gak sih kalian mendadak nikah gara gara prank yang kalian perbuat ? Emang prank macam apa sampe harus nikah segala ? Gw farel dan ini kisah gw, gara gara prank yang gw bikin gw harus bertanggung jawab dan nikahin si korban saat itu juga, penasaran gimana ceritanya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shusan SYD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 27
Keesokan harinya di kampus, aku tahu salsa tengah memperhatikanku sedari tadi, dia pun berjalan mendekatiku setelah alesha berlalu.
Dengan langkahnya yang cepat, seolah-olah tak ingin aku sempat menghindar. Kali ini, aku tahu aku juga tak bisa lagi bersembunyi. Dia pasti sudah memergoki aku berangkat bersama Alesha tadi.
“Lu sekarang lagi deket sama Alesha, ya ?” tanyanya tanpa basa-basi dengan tatapan tajam.
Aku berbalik dan balas menatapnya santai.
“Kenapa ? Bukan urusanmu, kan ?” tanyaku dengan nada dingin.
Salsa mendengus kesal.
“Oh, jadi sekarang lu kayak gini ?” ujarnya, suaranya mengandung nada kecewa sekaligus marah.
“Kamu yang minta aku buat deket sama cewek lain, kan ? Kamu juga deket sama Fasya, aku oke-oke aja sekarang,” jawabku seraya menyunggingkan senyum miring di bibir. Aku tahu itu kejam, tapi ada kepuasan tersendiri saat melihat raut kecewa yang perlahan muncul di wajah salsa. Siapa suruh mengabaikan ku selama ini ?
Aku memutar tubuh, bersiap melangkah pergi. Namun, Salsa tiba-tiba menahan lenganku.
“Kenapa ? Gak ada yang perlu diomongin lagi, kan ?” tanyaku, menoleh sekilas.
“Mamih nanyain lu terus,” ucap salsa, suaranya melemah. Kali ini nada memohon mulai terdengar.
“Gw udah kehabisan alesan. Gw takut Mamih nanyain langsung ke Tante amel.”
Nama ibuku sengaja dia sebutkan, mungkin berharap itu akan melunakkan hatiku.
Sayangnya, tidak.
“Itu urusan kamu. Aku gak peduli,” jawabku tegas, tanpa sedikit pun memperlihatkan simpati. Aku melepaskan lengannya dengan pelan namun pasti, lalu berjalan pergi tanpa menoleh lagi.
Aku tahu ini kejam. Tapi apa yang Salsa lakukan padaku jauh lebih kejam lagi.
Aku berlalu ke dalam kelas dan mencoba mengingat alesha untuk melupakan salsa. Anehnya hal itu berhasil.
Sepulang kuliah, aku memutuskan mengajak Alesha mampir ke sebuah tempat sebelum pulang. Rutinitas yang sama setiap hari mungkin membuatnya jenuh, pikirku.
Perempuan itu mendekatiku di parkiran, membawa beberapa buku di tangannya.
“Sha, gimana kalau kita nggak langsung pulang ? Kamu pasti bosen kan, tiap hari cuma lihat aku ?” ucapku sambil tersenyum kecil, mencoba menggodanya.
Alesha berhenti sejenak, menoleh padaku, dan mengangkat alisnya. Senyuman kecil tersungging di bibirnya.
“Bosen sama kamu ? Serius ?” tanyanya, nadanya seperti sedang menggoda balik.
Aku pura-pura mengangkat bahu, meski sebenarnya aku menunggu reaksinya. Dia berjalan mendekat, hingga hanya berjarak beberapa langkah dariku.
“Dengar, ya. Aku nggak pernah bosen sama kamu. Justru aku senang banget bisa ngabisin waktu bareng kamu setiap hari. Kamu pikir wajahmu itu membosankan ? Kalau aku nggak lihat kamu sehari aja, rasanya aneh,” katanya dengan nada tulus, membuatku merasa canggung.
Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ucapannya begitu jujur, hingga wajahku terasa memanas.
“Ah, kamu ngomong apa sih, Sha. Jangan bikin aku ge-er,” ujarku, mencoba menyembunyikan rasa gugup.
Alesha tertawa kecil.
“Ya udah, jadi kita mau ke mana sekarang ? Aku ikut aja.”
Mendengar itu, aku tersenyum lega. Alesha memang seperti itu, selalu membuatku merasa beruntung tanpa perlu berusaha keras.
“Kita ke taman kota aja, gimana ? Udah lama nggak ke sana,” kataku santai.
“Boleh, kayaknya seru,” jawabnya tanpa ragu.
Kami pun berangkat dengan motor menuju taman kota yang tak terlalu jauh dari kampus. Sepanjang perjalanan, angin sore berhembus lembut, membawa aroma tanah basah sisa hujan tadi siang. Alesha tampak menikmati perjalanan ini, menatap pemandangan sekitar dengan mata berbinar.
Sesampainya di taman, suasananya begitu tenang. Beberapa orang duduk di bangku taman, anak-anak kecil berlarian di area rumput, sementara burung-burung gereja berkicau riang di dahan pohon. Aku dan Alesha memilih duduk di bangku kayu dekat kolam kecil yang dipenuhi bunga teratai.
“Sha, makasih ya. Udah ngebolehin aku tinggal di kosan kamu selama ini. Maaf juga kalau aku sering ngerepotin,” kataku tiba-tiba.
Dia menoleh, terlihat sedikit heran.
“Kenapa tiba-tiba ngomong gitu ?” tanyanya.
“Ya, aku nggak enak aja sama kamu, Sha,” ucapku pelan.
Alesha menatapku serius. Dia menegakkan duduknya, memastikan aku mendengar apa yang akan dia katakan.
“Kan dari awal aku udah bilang, kamu nggak usah ngerasa repotin aku. Aku malah senang bisa bantu kamu,” katanya dengan nada meyakinkan.
Aku tersenyum kecil.
“Kalau kamu udah nggak mau aku di sana, bilang aja ya,” candaku.
“Kamu nggak usah mikir yang aneh-aneh, Rel,” jawabnya tegas sambil menepuk bahuku ringan. Dia lalu menatap langit sore yang mulai berubah warna menjadi jingga.
Saat kami menikmati suasana, seorang pedagang es krim lewat.
“Sha, bentar ya,” kataku, beranjak dari tempat duduk.
“Mau ke mana, Rel?” tanyanya.
Aku kembali dengan dua es krim di tangan.
“Nih, buat kamu.”
“Makasih,” ucapnya dengan senyum lebar.
Kami menikmati es krim itu dalam diam, hanya ditemani suara gemericik air dari kolam kecil di depan kami. Alesha tampak begitu menikmati es krimnya, sampai tak sadar ada sedikit noda vanila di sudut bibirnya.
“Sha, sini deh,” kataku sambil mendekat.
Dia memandangku bingung. “Kenapa?”
“Bibir kamu belepotan,” jawabku singkat.
Aku mengambil tisu dari sakuku dan pelan-pelan mengelap sudut bibirnya. Gerakanku membuatnya terdiam. Wajahnya tampak mulai memerah.
“Udah,” kataku sambil tersenyum, lalu kembali duduk.
Alesha menunduk, menggigit es krimnya sambil bergumam,
“Kamu ini, bikin malu aja. Aku kan bisa ngelap sendiri.”
Tak lama, Alesha mengambil ponselnya dan memotret kami berdua. Ia langsung mengirimkan foto-foto itu ke kontak WhatsApp-ku.
“Apa ini ?” tanyaku sambil tertawa kecil.
“Foto kita. Jangan dihapus ya,” pintanya.
Aku mengangguk. Meski aku menyimpannya di folder tersembunyi, takut jika nanti Salsa. Melihatnya aku berjanji dalam hati tak akan menghapusnya.
Es krim kami habis, tapi sore itu terasa lebih manis dari biasanya. Bukan karena rasa es krimnya, tapi karena Alesha. Dia membuatku lupa segalanya.
Saat matahari mulai condong ke barat, kami memutuskan untuk pulang. Di perjalanan, Alesha merogoh saku jaketku tanpa izin, mengambil ponselku, dan merekam video kami berdua di atas motor.
“Kamu ngapain sih ?” tanyaku sambil tersenyum saat kamera menyorot wajahku.
Dia hanya tertawa kecil dan menyimpan kembali ponselku di saku.
Tak terasa, kami tiba di parkiran kosan. Setelah memarkir motor. Kita masuk ke dalam ruangan dan aku langsung mengunci pintu.
"Video tadi jangan di hapus ya." ucap alesha.
"Emang video apa ?" tanyaku pura pura.
"Video motoran."
"Apa kita juga mau bikin video lain ?" godaku.
"Video apa ?" tanya alesha setengah tertawa.
"Eh itu loh."
"Apaan ?" tanya alesha sedikit terkejut.
"Itu es krimnya masih ada di bibir kamu." ucapku.
"Mana ?" tanya alesha seraya meraba raba bibirnya.
"Sini deh." ucapku, aku menarik wajah alesha dan langsung menciuminya. Alesha terkejut namun dia tak berontak. Hingga kita sama sama terjatuh di atas kursi sofa, aku menindihnya dengan penuh gairah.
Dan akhirnya kita pun mengulangi perbuatan berdosa itu.
Setelah selesai. Kita langsung merapihkan kembali bekas permainan tadi.
"Maaf ya sha, aku jadi sering ngelakuin ini sama kamu." ucapku menyesal, namun aku pasti mengulanginya lagi.
"Gak usah khawatir, aku juga suka kok." jawab alesha seraya tersenyum.
Setelah itu kita pun bergantian masuk kamar mandi dan membersihkan diri.