Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.
Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.
Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama
ig : desh_puspita27
---
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33 - Tiba-Tiba Diam
"Mas kok ikut?"
Zalina bingung kala Sean tiba-tiba ikut duduk di belakangnya. Padahal, beberapa saat lalu Zalina sudah mencium punggung tangan Sean karena hendak pulang usai memastikan sang suami dan juga para karyawan Sean makan siang.
"Sudah selesai, aku kerja setengah hari ... pinggangku sakit."
Memiliki istri yang lurus-lurus saja adalah sebuah anugerah yang Sean syukuri setiap saatnya. Zalina tidak bodoh sebenarnya, Sean sadar betul istrinya sangat pintar. Namun, salah-satu kelemahan Zalina adalah terlalu percaya, termasuk bualan Sean yang terkadang mengada-ngada.
"Sakit? Kenapa baru bilang, Mas? Kenapa bisa sakit? Kerjanya berat ya?"
"Lumayan, mau gantian? Mas yang bawa motornya," tawar Sean tapi tangannya sudah memeluk sang istri dari belakang.
"Tidak usah, aku bisa kok ... ini pertama kali aku bonceng Mas di jalan raya jadi jangan banyak gerak."
Seketika niat untuk bermanja di belakang sang istri muncul begitu saja. Sean melupakan hal ini, istrinya baru bisa mengemudi belum lama. Terjun ke jalan raya juga baru siang ini, firasat buruk tiba-tiba menghampiri Sean seiring dengan Zalina yang mulai melajukan motornya.
"Bismillah dulu, Na!!"
"Sudah, Mas tenang saja."
Bagaimana bisa tenang, saat ini Sean tengah berada di persimpangan dilema. Ada dua kemungkinan tentang bahaya yang akan datang, jika bukan ditabrak maka istrinya yang akan menabrak.
"Sayang lebih baik Mas saja, bahaya."
"Diam, Mas ... jangan banyak gerak dibilangin."
Perjalanan yang biasanya Sean tempuh tidak sampai lima menit itu terasa benar-benar lama. Sudah berapa kali Zalina hampir cari perkara dengan pengendara yang lain. Jika tahu istrinya begini, sama sekali Sean tidak akan memberikan izin untuknya keluar sendirian.
Hingga memasuki pagar rumahnya, tubuh Sean lemas dengan bibir yang kini tampak pucat. Bagaimana Zalina yang buta akan rambu lalu lintas benar-benar membuat Sean berpikir dua kali untuk mengizinkannya pergi sendiri setelah ini.
"Gimana? Aku bisa, 'kan, Mas?" tanya Zalina dengan memperlihatkan senyum kebanggaan terhadap pencapaian tertingginya.
"Hm bisa, bisa kecelakaan ... sini kontaknya," sahut Sean yang kini menengadahkan telapak tangan.
Wajah cemberut Zalina tidak akan membuatnya iba. Sean tetap meminta hingga sang istri terpaksa menuruti kemauannya. "Mas kok begitu? Katanya motor ini buat aku masa diambil lagi."
"Kalau sudah bisa, melihat kemampuanmu tadi Mas jadi berpikir ribuan kali."
"Mas ... memangnya kemampuanku kenapa? Buktinya kita sampai dengan selamat sekarang," tutur Zalina melemah dan merasa tidak diperlakukan adil oleh Sean saat ini.
"Tetap tidak, kemampuanmu masih nol besar ... sen kiri belok kanan, diminta rem malah ngegas. Kacau!! Kalau sampai celaka bagaimana? Kalau memang belum bisa jangan coba-coba!!" tegas Sean meninggi tanpa sadar jika itu menyakiti hati sang istri.
Untuk pertama kalinya Zalina berdecak kesal seraya mendahului sang suami. Dia marah? Mungkin saja, jika tidak marah mana mungkin sampai menghentakkan kaki seperti itu.
"Dia marah? Terserah ... lebih baik marah dibandingkan aku harus gila," ungkap Sean kemudian ikut masuk dengan santainya.
Selama ini Zalina tidak pernah menunjukkan kemarahan atau semacamnya. Mungkin karena selalu dituruti, Sean juga tidak pernah membatasi keinginannya. Namun, untuk yang kali ini Sean tidak bisa tinggal diam.
Tidak seperti biasa, keduanya sama-sama membisu siang ini. Hanya ada suara Mina, asisten rumah tangga yang menyapa Sean ketika pria itu masuk. Sementara Zalina kini meniti anak tangga dengan wajah cemberutnya.
Kemarahan Zalina tidak berhenti di sana, tiba di kamar wajahnya masih sama. Sean tersenyum tipis seraya menatapnya melalui ekor mata. Terlihat jelas Zalina mencoba mengabaikannya, mencari kegiatan asal sampai buku yang Zalina baca saja kini terbalik.
Tidak apa, Sean biarkan sang istri menikmati kekesalannya. Menghadapi kemarahan wanita bukan hal sulit bagi Sean, berharap saja semoga yang kali ini juga bisa Sean luluhkan dengan mudah.
Jika biasanya harus diperintah lebih dulu, siang ini Sean lebih mandiri dan membersihkan diri tanpa perlu diperintah lebih dulu. Selama di kamar mandi, pikiran Sean melayang terlalu jauh hingga pria dan seketika menyesali tindakannya.
"Apa mungkin aku berlebihan?"
Sean menggigit bibirnya, guyuran air di atas kepala membuat pria itu mampu berpikir dengan kepala dingin. Setelah dia pikir-pikir lagi, dia memang salah dalam menyampaikan kata-katanya dan terkesan meremehkan Zalina.
Cukup lama Sean menghabiskan waktu hanya untuk membersihkan diri. Pikirannya sama sekali tidak tenang sebelum wanita lemah lembut itu kembali tersenyum dan memanggilnya dengan suara khas yang selalu berhasil membuat Sean luluh.
Keluar dari kamar mandi dengan secebis perasaan bersalah yang menggelora dalam benaknya. Zalina masih berada di posisi sebelum Sean tinggalkan ke kamar mandi, tidak lagi memegang buku, melainkan potongan kuku.
Sean menelan salivanya pahit kala tidak melihat pakaian yang biasa Zalina siapkan di saat dirinya sedang mandi. Istrinya tidak main-main, sekali marah dan caranya begini.
"Sayang masih marah?" tanya Sean yang kini duduk di tepian tempat tidur bersama masih dengan handuk melilit di pinggangnya, sama sekali pria itu tidak berpikir mencari baju lebih dulu.
Tidak ada jawaban, Zalina masih membisu dan fokus memotong kukunya. Dia benar-benar marah, semua ucapan Sean membuatnya terluka. Tidak pernah dibentak, dan tadi Sean sedikit meninggi dan jelas itu menyakitkan hati.
"Zalin_" Tidak hanya diam, tapi juga menepis tangan Sean yang menyentuh pipinya.
"Andai kutahu marahnya begini, mungkin tidak akan seperti tadi."
.
.
- To Be Continue -