NovelToon NovelToon
Takdir Di Ujung Cinta

Takdir Di Ujung Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Irh Djuanda

Judul: Takdir di Ujung Cinta

Soraya adalah seorang gadis sederhana yang tinggal di sebuah desa kecil bersama ayah dan ibunya. Setelah ayahnya meninggal dunia akibat penyakit, keluarga mereka jatuh miskin. Utang-utang menumpuk, dan ibunya yang lemah tidak mampu bekerja keras. Soraya, yang baru berusia 22 tahun, harus menjadi tulang punggung keluarga.

Masalah mulai muncul ketika seorang pria kaya bernama Arman datang ke rumah mereka. Arman adalah seorang pengusaha muda yang tampan tetapi terkenal dingin dan arogan. Ia menawarkan untuk melunasi semua utang keluarga Soraya dengan satu syarat: Soraya harus menikah dengannya. Tanpa pilihan lain, demi menyelamatkan ibunya dari hutang yang semakin menjerat, Soraya menerima lamaran itu meskipun hatinya hancur.

Hari pernikahan berlangsung dengan dingin. Soraya merasa seperti burung dalam sangkar emas, terperangkap dalam kehidupan yang bukan pilihannya. Sementara itu, Arman memandang pernikahan ini sebagai kontrak bisnis, tanpa rasa cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kontrak Nikah

Keesokan paginya, Soraya duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang sudah dingin di tangannya. Ia menatap kosong ke luar jendela, memperhatikan pohon-pohon yang bergoyang diterpa angin. Suara langkah kaki Sheila mendekat membawanya kembali ke kenyataan.

"Soraya, kau yakin tidak ada apa-apa? Kau terlihat tidak seperti biasanya,

" Sheila bertanya lembut sambil duduk di seberangnya.

Soraya menarik napas panjang. Ia tahu tidak ada gunanya terus menyembunyikan ini dari ibunya. Sheila adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki, dan ia selalu menjadi tempat Soraya mencari kekuatan.

"Aku dapat tawaran pekerjaan, Bu," katanya pelan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.

Sheila tersenyum tipis.

"Itu kabar baik, bukan? Tapi kenapa kau terlihat bingung?"

Soraya menunduk, memainkan ujung lengan bajunya.

"Karena tawaran ini datang dengan harga yang sangat besar. Kalau aku menerimanya, aku mungkin harus meninggalkan semua ini... meninggalkan Ibu."

Sheila terdiam. Soraya tidak pernah bisa membacanya saat ia seperti ini. Akhirnya, Sheila menjawab,

"Soraya, kau tidak perlu memutuskan sekarang. Tapi apa pun keputusanmu nanti, ingatlah bahwa hidupmu adalah milikmu. Jangan mengambil keputusan hanya karena merasa bertanggung jawab padaku. Aku sudah cukup kuat untuk menghadapi apa pun, selama kau bahagia."

Soraya menatap ibunya, matanya berkaca-kaca. Ia ingin percaya kata-kata itu, tapi hatinya masih dipenuhi keraguan. Bagaimana bisa ia memikirkan kebahagiaannya sendiri saat ibunya sudah begitu banyak berkorban untuknya?

Hari kedua berlalu dengan Soraya yang semakin tenggelam dalam pikirannya. Ia mencoba mencari saran dari teman-temannya, tetapi mereka semua mengatakan hal yang sama:

"Ikuti hatimu."

Namun, hatinya sendiri terasa seperti medan perang. Soraya tahu keputusan ini lebih dari sekadar tentang dirinya atau ibunya—ini tentang masa depan mereka berdua.

Saat malam ketiga tiba, ia akhirnya duduk di depan komputer dengan map tawaran pekerjaan itu di tangannya. Ia membuka dokumen tersebut, membaca kembali setiap detailnya, mencoba menemukan alasan yang jelas untuk menerima atau menolak.

Di sisi lain ruangan, Sheila memperhatikan putrinya dengan cemas. Meski ia tidak ingin menekan Soraya, ia tahu bahwa ini bukan keputusan yang mudah.

"Jika kau butuh bicara, aku ada di sini," kata Sheila akhirnya.

Soraya berbalik dan menatap ibunya. Kali ini, ia merasa siap untuk berkata jujur.

"Bu, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Tawaran ini... ini bisa mengubah hidup kita. Tapi aku takut kehilangan waktu bersama Ibu."

Sheila berdiri dan menghampiri putrinya, memeluknya erat.

"Soraya, kau tidak akan pernah kehilangan aku, apa pun yang terjadi. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri."

Dengan air mata yang mengalir perlahan, Soraya akhirnya mengangguk. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Keesokan paginya, ia berdiri di depan kantor dengan kepala tegak. Soraya memasuki ruangan itu dengan langkah pasti. Ketika Ray menatapnya, ia berkata dengan tegas,

"Saya sudah membuat keputusan."

Ray mengangkat alis, memasang ekspresi penasaran. Ia melipat tangannya di depan dada, menunggu Soraya melanjutkan.

"Saya akan menerima tawaran ini," ucap Soraya akhirnya.

"Tapi saya punya beberapa syarat."

Ray tersenyum kecil, seperti sudah menduga.

"Tentu saja. Mari kita dengar syarat Anda."

Soraya menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.

"Saya ingin kontrak ini memastikan saya bisa mendapatkan waktu untuk keluarga, terutama untuk merawat ibu saya jika ia membutuhkannya. Dan saya ingin jaminan bahwa posisi ini tidak akan menghalangi saya untuk tetap menjaga hubungan pribadi saya dengan orang-orang terdekat."

Ray terdiam sejenak, mempelajari wajah Soraya. Lalu ia mengangguk.

"Kami bisa menyusun sesuatu untuk itu. Saya menghargai kejujuran Anda, Soraya. Tapi Anda harus tahu, tanggung jawab pekerjaan ini tidak ringan. Anda siap untuk itu?"

Soraya mengangguk, meski hatinya berdegup kencang.

"Saya siap. Jika ini untuk masa depan yang lebih baik, saya akan melakukannya."

Ray tersenyum puas.

"Baik. Selamat datang di tim, Soraya. Kita akan mulai persiapan Anda segera."

Soraya meninggalkan kantor itu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa lega karena akhirnya ia mengambil keputusan, tetapi juga ada kecemasan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Saat ia melangkah keluar, angin dingin menyapanya lagi, tetapi kali ini ia merasakan kekuatan baru dalam dirinya.

Ketika sampai di rumah, Sheila sudah menunggunya di ruang tamu.

"Bagaimana, Nak?" tanya ibunya dengan lembut.

Soraya duduk di sebelah Sheila dan menggenggam tangan ibunya.

"Aku menerima tawaran itu, Bu. Tapi aku memastikan bahwa aku tetap bisa ada untuk Ibu, apa pun yang terjadi."

Sheila tersenyum tipis, matanya berbinar penuh rasa bangga.

"Kau sudah mengambil keputusan yang besar, Soraya. Aku tahu kau akan melakukan yang terbaik. Dan kau harus tahu, aku selalu ada di sini untuk mendukungmu."

Hari-hari berikutnya, Soraya mulai menyesuaikan diri dengan rutinitas barunya. Pekerjaan itu memang menuntut banyak tenaga dan waktu, tetapi ia belajar untuk menemukan keseimbangan. Setiap kali ia merasa lelah atau ragu, ia mengingat tujuan awalnya: memberikan kehidupan yang lebih baik untuk dirinya dan ibunya.

Sheila, di sisi lain, merasa bangga melihat putrinya tumbuh menjadi wanita yang kuat dan mandiri. Meski ada saat-saat sepi ketika Soraya tidak bisa selalu ada di rumah, Sheila tahu bahwa cinta dan pengorbanan mereka satu sama lain akan selalu menguatkan hubungan mereka.

Di tengah kesibukannya, Soraya sering menemukan waktu untuk pulang lebih awal, sekadar duduk bersama Sheila di ruang tamu, berbincang atau menikmati teh hangat. Ia belajar bahwa meskipun hidup membawa perubahan, keluarga tetaplah prioritas yang tak tergantikan. Tiga hari itu mengubah segalanya, tetapi juga membawa mereka lebih dekat dari sebelumnya.

Kini Soraya baru saja menyelesaikan pekerjaan, saat hendak beberes Soraya dikejutkan dengan surat Ray yang sedikit tegas dari biasanya.

"Nona Soraya" panggil Ray.

Soraya langsung menoleh kepadanya, dengan raut wajah datar Soraya pun menundukkan wajahnya sepintas.

"Ada apa pak? " tanya Soraya.

"Sebelum kau pulang, tuan Arman ingin bicara dengan mu! " ucap Ray.

Soraya mengangguk pelan tanpa menatap wajah Ray. Ia merasa ada sesuatu yang janggal dari nada bicara pria itu. Tanpa banyak bicara, ia membereskan meja kerjanya dan melangkah keluar ruangan menuju kantor Tuan Arman.

Langkah kakinya terasa berat, seolah ada firasat buruk yang menantinya. Tuan Arman adalah sosok yang jarang memanggil bawahannya secara langsung kecuali untuk hal penting.

Setibanya di depan pintu kayu besar itu, Soraya mengetuknya pelan.

"Masuk,"

Terdengar suara tegas dari dalam.

Soraya membuka pintu perlahan dan menemukan Tuan Arman duduk di belakang meja kerjanya yang besar, dengan berkas-berkas tertata rapi di atasnya. Ekspresinya serius, namun tidak mengesankan amarah.

"Silakan duduk, Nona Soraya," katanya,

Arman mempersilakan Soraya untuk duduk di kursi di hadapannya.

Soraya menurut, tangannya meremas erat ujung rok kerjanya di bawah meja.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Soraya hati-hati.

Tuan Arman menghela napas sejenak sebelum akhirnya berkata,

"Saya telah membaca laporanmu, dan hasil kerja kerasmu selama ini sangat memuaskan. Tapi ada hal lain yang ingin saya bicarakan."

Soraya mengernyitkan dahi, bingung dengan arah pembicaraan ini.

"Hal lain, Tuan?"

Tuan Arman menatapnya dengan tajam.Tak berapa lama Ray mengambil sebuah map dan menyodorkan nya di hadapan Soraya. Soraya menjadi gugup.

"Anda bisa membacanya, nona Soraya." ucap Ray.

Perlahan Soraya mengambil map itu, kedua matanya terbelalak seketika melihat isi dari map tersebut.

"Kontrak Nikah?"

Soraya menatap tajam pada Arman, hal itu membuat Soraya panik dan gugup.

"Apa maksudnya ini, Tuan?Nikah kontrak? Bagaimana mungkin? Apa yang ada di dalam pikiran anda?".

Soraya tanpa memikirkan ucapannya, ia terus saja mengeluarkan segala unek-unek yang mengganjal sedari tadi. Sementara Ray maju untuk menjelaskannya. Ray memang sekertaris Arman yang selalu mengurus urusan kantor dan urusan pribadinya.

Ray menghela napas panjang sebelum membuka mulutnya. Ia tahu ini bukan situasi yang mudah, dan Soraya terlihat sangat terpukul.

"Nona Soraya,"

Ray memulai dengan suara tenang,

"Tolong dengarkan dulu penjelasannya sebelum membuat kesimpulan. Ini bukan seperti yang kamu pikirkan."

Soraya melipat tangan di depan dada, wajahnya memerah karena emosi.

"Apa yang perlu dijelaskan? Kontrak ini jelas menyebutkan pernikahan sementara, dengan syarat dan ketentuan yang mengerikan. Ini penghinaan bagi saya, Tuan Arman!"

Arman, yang sejak tadi hanya diam sambil mengamati Soraya, akhirnya membuka suara. Nada suaranya rendah tapi tegas.

"Soraya, aku paham ini mengejutkan bagimu, tapi aku punya alasan."

"Alasan? Alasan apa yang bisa membenarkan ini?" Soraya membalas tajam.

Arman menatapnya, mencoba menahan rasa bersalah yang menggerogoti.

"Aku membutuhkanmu untuk berpura-pura menjadi istriku selama beberapa bulan ke depan. Ini demi keluarga."

Soraya tertegun mendengar alasan itu.

"Keluarga? Keluarga siapa yang membutuhkan sandiwara seperti ini?"

Ray kembali berbicara, mencoba menengahi ketegangan.

"Nona Soraya, ini berkaitan dengan perusahaan keluarga Tuan Arman. Ada tekanan dari dewan direksi dan keluarganya agar dia segera menikah. Jika tidak, posisinya di perusahaan bisa terancam."

Soraya menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Jadi, saya hanya alat untuk menyelamatkan posisi Anda? Tidak ada pilihan lain selain ini?"

Arman menatapnya lurus.

"Aku tahu ini terdengar buruk, tapi ini adalah solusi terbaik yang bisa kupikirkan. Kamu akan dibayar, lebih dari cukup untuk membantumu memulai hidup baru setelah kontrak selesai."

Mata Soraya berkaca-kaca. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak, tapi bayangan masalah keuangannya dan keluarganya muncul di benaknya. Ia ingin menolak, tapi keadaannya tidak memberinya banyak pilihan.

"Aku butuh waktu untuk berpikir," katanya akhirnya, suaranya bergetar.

Tanpa menunggu jawaban, Soraya keluar dari ruangan itu, meninggalkan Arman dan Ray yang saling bertukar pandang dengan ekspresi penuh kecemasan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!