Ceritanya berkisar pada dua sahabat, Amara dan Diana, yang sudah lama bersahabat sejak masa sekolah. Mereka berbagi segala hal, mulai dari kebahagiaan hingga kesedihan. Namun, semuanya berubah ketika Amara menikah dengan seorang pria kaya dan tampan bernama Rafael. Diana yang semula sangat mendukung pernikahan sahabatnya, diam-diam mulai merasa cemburu terhadap kebahagiaan Amara. Ia merasa hidupnya mulai terlambat, tidak ada pria yang menarik, dan banyak keinginannya yang belum tercapai.
Tanpa diketahui Amara, Diana mulai mendekati Rafael secara diam-diam, mencari celah untuk memanfaatkan kedekatannya dengan suami sahabatnya. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka mulai retak. Amara, yang semula tidak pernah merasa khawatir dengan Diana, mulai merasakan ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya. Ternyata, di balik kebaikan dan dukungan Diana, ada keinginan untuk merebut Rafael dari Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Setelah mengobrol panjang lebar, Liana akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah santai namun sedikit mengesankan, dia menatap Amara dengan senyuman yang seolah menyimpan sesuatu. Liana tahu betul situasi yang sedang terjadi di rumah tersebut, terutama hubungan yang semakin tegang antara Amara dan Sinta.
"Aku pulang ya, Ma," kata Liana dengan suara cukup lantang, seolah ingin memastikan bahwa kata-katanya didengar oleh semua orang yang ada di ruangan itu. "Aku cukup malu untuk menginap di rumah saudara sendiri, apalagi dia sudah berumah tangga. Rasa beda itu... sama saja mengganggu ketenangan orang lain," lanjutnya dengan nada yang santai, namun jelas mengandung sindiran.
Dia sengaja mengucapkan kalimat itu cukup keras, berharap Sinta yang baru saja berjalan menuju dapur bisa mendengarnya. Liana tahu bahwa Sinta masih berada di dekat ruang tamu, dan sepertinya dia ingin memberikan sedikit tekanan, menyindir dengan cara yang halus namun tetap menusuk. Dalam hatinya, Liana merasa sedikit kesal dengan sikap Sinta yang semakin menjauhkan dirinya dari Amara, dan mungkin ingin memberi sedikit "peringatan" tanpa harus langsung berbicara.
Amara terdiam sejenak mendengar ucapan kakaknya, ada perasaan tidak nyaman yang muncul. Liana tahu bahwa hubungan antara Amara dan Sinta tidak baik belakangan ini, namun sindiran seperti itu tetap membuat suasana menjadi lebih canggung. Amara berusaha tersenyum, meskipun senyum itu terasa dipaksakan.
"Kak, hati-hati di jalan," kata Amara dengan suara lembut, mencoba mengalihkan perhatian dari pernyataan Liana yang sedikit tajam.
Sinta, yang sedang menuju dapur, jelas mendengar sindiran itu. Dengan langkah terburu-buru, dia berbalik dan melemparkan pandangan tajam kepada Liana, meski tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Sinta merasa terpojok dan sedikit kesal, meskipun dia tidak ingin memperpanjang perselisihan.
Liana yang sudah siap untuk pergi, tidak peduli dengan reaksi Sinta, hanya mengangguk kepada Amara dan berjalan menuju pintu. "Oke, aku pergi dulu ya, Ma. Semoga semua baik-baik saja," katanya sambil melambaikan tangan.
Setelah pintu tertutup, suasana di rumah itu kembali sepi. Amara menghela napas panjang, sementara Sinta tetap diam di dapur, jelas merasa tidak senang dengan apa yang baru saja terjadi. Amara tahu, situasi ini semakin sulit untuk diperbaiki, dan mungkin saja Liana sudah memberikan sinyal bahwa dia tidak menyukai sikap Sinta yang terlalu mengandalkan orang lain.
Ketegangan itu semakin terasa, dan Amara merasa semakin sulit untuk menjaga keharmonisan rumah tangga ini.
Di kediaman lain, Diana merasa kebahagiaan yang luar biasa setelah melahirkan bayi perempuan yang cantik, yang wajahnya begitu mirip dengannya. Rasanya seperti semua beban dan kecemasan yang pernah dia alami terbayar lunas dengan kehadiran sang buah hati. Di ruangan yang terang, Diana memeluk bayinya dengan penuh cinta, memandangi wajah mungil yang tampak tidur tenang di pelukannya. Ia merasa damai, seolah dunia ini miliknya sendiri.
Rafael, suami Diana, tampak sangat bahagia melihat istrinya yang baru saja melahirkan. Senyumannya tak bisa disembunyikan, dan dia dengan penuh kasih menyentuh pipi Diana. Dengan tangan yang masih memegang ponsel, Rafael segera mengunggah foto bayi mereka di status WhatsApp-nya. Foto itu menampilkan wajah bayi yang tersenyum dengan mata yang hampir tertutup, seakan menikmati dunia barunya.
"Makasih sayang," ucap Rafael lembut, matanya berbinar-binar penuh rasa syukur saat menatap Diana. "Kamu luar biasa. Kita sudah memiliki keluarga yang lengkap sekarang."
Diana tersenyum lelah namun bahagia, mengangguk pelan dan membalas, "Kita, Rafael. Ini adalah hasil perjuangan kita berdua." Suaranya sedikit terisak, namun penuh kebahagiaan. Dia merasa sangat berterima kasih karena telah diberi kesempatan untuk merasakan kebahagiaan seperti ini, setelah segala hal yang mereka lewati bersama.
Mereka berdua saling memandang dengan penuh cinta, merasakan kedamaian yang datang bersama dengan kelahiran anak pertama mereka. Tidak ada yang lebih indah dari momen ini, di mana hidup mereka terasa begitu lengkap dan penuh arti.
Rafael mencium dahi Diana dengan penuh kelembutan, lalu menatap foto bayinya di ponsel sebelum mengunggahnya dengan caption yang penuh kebahagiaan:
"Sungguh luar biasa, cinta sejati kami kini hadir di dunia ini. Terima kasih Tuhan, aku sangat bahagia dengan kehadiran putri kecil kami. Diana, kamu adalah segalanya."
Mereka berdua tersenyum, merasakan kedamaian dan kebahagiaan yang mereka cari selama ini, dan saat itu, dunia terasa sempurna.
Meskipun dari luar kehidupan Diana terlihat sempurna, dengan suami yang penuh perhatian dan seorang putri yang cantik, ada luka mendalam yang disimpannya. Luka itu datang dari hubungan yang renggang dengan ibu mertuanya, yang seakan-akan tak pernah menerima kehadirannya. Sejak pernikahan mereka, ibu Rafael tidak pernah menyetujui hubungan tersebut, dan meskipun Diana berusaha untuk berbaik-baik, rasa benci dari ibu mertuanya semakin terasa.
Keadaan semakin memburuk ketika Diana melahirkan putri mereka. Kehadiran sang cucu yang seharusnya membawa kebahagiaan justru tidak memengaruhi sikap ibu Rafael sedikit pun. Dia tetap keras kepala dan menolak menerima kenyataan bahwa putranya telah membangun keluarga dengan Diana. Tidak hanya itu, ibu mertuanya bahkan meminta kembali uang yang telah mereka pinjam sebelumnya, seakan-akan menganggap mereka tidak cukup baik untuk keluarga mereka.
Meskipun luka itu terus menggores hatinya, Diana berusaha untuk tidak membiarkannya mempengaruhi kebahagiaan rumah tangganya. Beruntung, kafe yang mereka kelola bersama Rafael berkembang pesat. Berkat kerja keras dan usaha mereka, kafe tersebut mulai dikenal banyak orang dan menghasilkan banyak keuntungan. Uang yang sempat dipinjam dari ibu Rafael pun bisa mereka kembalikan tanpa masalah.
Namun, meskipun kafe itu memberikan kestabilan finansial, luka batin yang ditinggalkan oleh ibu mertuanya tidak mudah hilang. Diana merasa seperti tidak pernah diterima dengan tulus oleh keluarga besar Rafael, dan meskipun dia memiliki segalanya dalam hidup, ada rasa kesepian yang tak bisa dihindari. Dia merasa seperti ada dinding tebal yang memisahkannya dari orang-orang yang seharusnya mendukungnya.
Di balik senyum dan kebahagiaannya, Diana tahu bahwa luka ini tidak akan sembuh dalam waktu dekat. Namun, dia bertekad untuk menjaga keluarganya dan terus melangkah maju. Bagi Diana, kebahagiaan putrinya dan rumah tangganya adalah segalanya, dan meskipun tidak bisa merasakan penerimaan penuh dari ibu mertuanya, dia berusaha untuk tidak membiarkan itu menghalangi kebahagiaan yang sudah mereka ciptakan.