Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua dua
Entah mengapa... Firda merasa dadanya seketika sesak seolah terhimpit oleh benda berat yang tak kasat mata kala mendengar kalimat penuh tekanan dan desakan yang terlontar dari bibir pria paruh baya itu kepada putranya sendiri.
Firda hanya merasa... Mengapa ia sebagai ayah begitu jahat menghakimi putranya sendiri? Sungguh... Keinginan Firda untuk ikut bicara menjadi semakin kuat. Namun, sayangnya ia terlampau pengecut hingga tak punya keberanian lebih untuk mengutarakannya.
Sebelum Firda sempat membuka mulut untuk mengucapkan sepatah kata, tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya yang tampak sangat anggun itu mengambil tindakan lekas menenangkan suaminya yang saat ini tengah murka tak terkendali.
"Papa, tenanglah dulu... Mungkin ada kesalahpahaman di sini," katanya sambil meletakkan tangannya di bahu sang suami.
Meskipun wanita itu tampak lembut, tapi ada sesuatu yang terpancar dalam sorot matanya, ... dan itu membuat Firda merasa tak nyaman.
Karena diam-diam tanpa siapa pun ketahui, dialah yang sebenarnya memakai jasa seorang pembunuh bayaran untuk membunuh putra tirinya itu.
Sang putra tiri baru usai lulus SMA dan akan segera masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ia sebentar lagi akan dinobatkan menjadi pewaris keluarga, tentu saja wanita itu tak akan membiarkan hal ini. Putra kandungnya sendirilah yang harus mewarisi harta keluarga ini.
Dan jalan pintas untuk menyingkirkan putra tirinya adalah dengan cara membunuhnya! Namun, sayangnya pembunuhan ini gagal dilakukan. Sekarang... Ia hanya perlu memikirkan bagaimana caranya menutupi fakta ini agar tak ada sesiapa yang dapat mengetahui rencana liciknya.
Setelah ditenangkan oleh istrinya, wanita lembut penuh kasih sayang yang sangat ia cintai, akhirnya pria paruh baya itu menghela nafas panjang untuk menenangkan dirinya sendiri yang saat ini tengah dikuasai oleh amarah.
"Baiklah," katanya sambil menatap seorang polisi yang kini tengah duduk di seberangnya. Meski wajahnya masih menunjukkan sisa kemarahan, tetapi nada bicaranya telah terdengar lebih tenang dan mulai terkendali.
"Saya ingin anda memastikan bahwa pelaku yang berniat mencelakai anak saya itu bisa segera ditemukan. Ini masalah serius, dan saya tidak ingin ada kesalahan dalam penyelidikan," ucapnya lagi dengan penuh ketegasan.
Para polisi lantas mengangguk pertanda mereka paham dan menyanggupi permintaan pria itu. Bagaimana mungkin mereka berani menolaknya? Yang sedang berhadapan dengan mereka saat ini adalah kepala keluarga Handoko, keluarga konglomerat dan kaya raya di negeri ini.
"Ya, Pak. Sebelumnya kami telah memeriksa CCTV parkiran klub Butterfly dan sudah mendapatkan ciri-ciri fisik pelaku. Saat ini kami sedang dalam proses penyidikan lebih lanjut mencari tahu identitas pelaku," jawab polisi tersebut dengan intonasi yang terdengar sangat profesional.
"Kami juga akan menanyakan saksi di lokasi kejadian jika ada untuk dapat memastikan motif dari pelaku. Untuk saat ini, putra Anda aman, dan kami akan memberikan perlindungan jika diperlukan.
Mendengar hal itu, pria paruh baya tersebut lantas langsung mengangguk dengan tegas, lalu segera mengalihkan pandangannya kepada putranya. Mata yang sebelumnya penuh amarah, kini telah berubah menjadi tatapan yang begitu dingin. "Kamu benar-benar selalu membuat masalah! Meskipun kali ini mungkin memang bukan salahmu secara langsung, tapi tetap saja... Lihat baik-baik apa akibatnya sekarang hah? Papa harus turun tangan lagi!"
Pemuda itu tak memberikan reaksi apa pun yang berarti, apalagi menjawab kalimat berisi kemarahan sang ayah. Tidak sedikit pun terbesit untuk ia lakukan.
Raut wajahnya senantiasa tetap setia terlihat datar seperti biasa. Sama sekali tak ada ketakutan yang terlihat di matanya.
Ia menatap balik mata nyalang sang ayah dengan keberanian yang amat nyata, tanpa ada setitik pun rasa takut dan emosi di sana.
Baginya, omelan seperti ini adalah hal yang teramat biasa sudah terjadi. Bertahun-tahun lamanya ia telah mendengar ucapan serupa dari ayahnya, jadi... Tidak ada lagi hal yang patut dikejutkan. Namun, ... di sudut pikirannya ada sedikit rasa geli kala melihat kepura-puraan ibu tirinya.
Wanita licik itu masih saja dengan bakat aktingnya yang luar biasa, seolah memiliki pembawaan yang lembut dan penuh perhatian... Padahal nyatanya ia tak lebih dari seorang wanita tua jahat dan kejam, yang rela menyingkirkan putra dirinya sendiri hanya demi menguasai harta suaminya agar tak terbagi.
Tapi... Sudahlah. Tak ada gunanya juga pemuda itu bicara hal ini, karena ayahnya tidak akan pernah percaya. Bagi sang ayah, ialah bocah badung yang nakal dan durhaka, tanpa tahu bahwa istri barunya itulah yang sebenarnya durjana.
"Papa, malam sudah semakin larut. Kita harus pulang, biarlah para polisi yang menangani masalah ini. Kita percayakan saja semuanya kepada mereka." Wanita itu, dengan wajah yang tampak sangat tenang melangkah mendekat. Lekas ia menyentuh dengan lembut lengan suaminya seraya mengutarakan kalimat-kalimat penenang untuk pria itu.
Tanpa suaminya tahu, dibalik ketenangan dan kelembutan itu, tersimpan kemarahan yang berkobar penuh dengan dendam. Sebab ia tak menyangka bahwa rencananya untuk menghabisi putra dirinya itu malam ini ternyata gagal total! Lebih parahnya lagi, pembunuh bayaran yang ia sewa kini harus menjadi buronan para polisi.
"Sial!" Wanita itu mengumpat geram, tapi sayangnya hanya bisa tertelan di dalam hati. Dengan kemampuan berpura-pura yang terlihat sudah begitu profesional, ia tersenyum penuh kelembutan kepada suaminya, lantas berkata, "Ayo kita pulang sekarang, Pa. Biarkan mereka yang bekerja dan mengurus semuanya. Sekarang anak kita sudah aman."
Pria itu pun menghela nafas berat seolah Tengah mengeluarkan beban yang sama beratnya, menghimpit pundaknya selama ini. "Dia sama sekali nggak layak untuk menjadi anakmu. Lihatlah putramu, dia sangat berprestasi dan membanggakan keluarga. Sedangkan dia? Entahlah, kenapa dia bisa jadi berandalan tidak berguna yang membuat onar dan mengganggu kenyamanan masyarakat. Haaahh! Dari dulu dia tidak pernah berubah, hanya tahu menyusahkan saja!"
Pria itu bicara terang-terangan, tidak peduli putranya saat ini masih berdiri tepat di hadapannya. Tidak peduli dengan perasaan putranya sendiri, apakah ia akan sakit hati dengan ucapannya barusan, ia benar-benar tidak peduli sama sekali.
Dengan mata melotot ia lagi-lagi menatap nyalang ke arah sang putra, "Bikin malu keluarga saja bisanya kamu!" Dia kemudian menatap istrinya sendiri, lalu menggandeng wanita itu untuk berjalan keluar dari kantor polisi.
Dengan nada dingin ia berkata kepada istrinya. "Sayang, Kamu tidak usah akui dia sebagai anakmu. Aku sama sekali tidak akan tersinggung. Justru dia hanya benalu dan membuat malu dirimu jika harus mengakui mempunyai anak tidak bermoral seperti dia! Sedangkan anak kandungmu? Dia sangat cerdas, berprestasi, dan membanggakan."
“Nggak papa, bagaimanapun juga dia tetaplah anak kita,” sahut wanita itu penuh dengan ketenangan.
Kalimatnya mungkin terdengar sangat tulus, tetapi pemuda itu tahu betul betapa liciknya wanita tua yang saat ini tengah menjelma menjadi ibu tirinya itu.