Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal kedatangan
Haryo tiba di rumahnya larut malam, wajahnya terlihat puas setelah kejadian di gudang. Ia langsung melangkah ke ruang tamu, melepas jas mahalnya, dan memberikan instruksi kepada pembantunya, Lina.
"Lina, siapkan kamar tamu di lantai atas. Pastikan semuanya bersih dan nyaman. Aku ingin kamarnya sempurna untuk seorang perempuan," perintah Haryo tanpa basa-basi, seraya menuangkan segelas wiski untuk dirinya sendiri.
Lina, yang sedang membersihkan meja makan, menghentikan pekerjaannya. Ia menatap bosnya dengan alis terangkat, penuh kebingungan. “Maaf, Pak Haryo. Perempuan? Apakah tamu itu akan menginap di sini?” tanyanya dengan nada sopan, meski rasa ingin tahunya jelas.
Haryo hanya mengangguk, matanya menatap lurus ke arah wiski di tangannya. “Ya. Dia akan tinggal di sini untuk sementara waktu. Pastikan semuanya sempurna. Aku tidak mau mendengar keluhan.”
Lina menelan ludah, bingung dengan perintah itu. Selama bekerja di rumah ini bertahun-tahun, bosnya tidak pernah membawa perempuan untuk tinggal, apalagi memberikan perhatian khusus seperti ini.
“Maaf, Pak, apakah saya perlu menyiapkan sesuatu yang spesifik untuk perempuan itu? Seperti... mungkin baju atau kebutuhan lain?” Lina bertanya dengan hati-hati.
Haryo memutar bola matanya, lalu meletakkan gelas wiski dengan suara yang agak keras di atas meja. “Tidak usah ribet. Lakukan saja apa yang aku bilang. Aku akan urus kebutuhan lainnya nanti.”
Lina mengangguk patuh, meski pikirannya penuh pertanyaan. “Baik, Pak Haryo. Kamar akan siap malam ini.” Ia bergegas menuju lantai atas untuk memastikan kamar tamu dalam kondisi prima.
Sambil membersihkan kamar, Lina tidak bisa menahan rasa penasarannya. “Tumben sekali bos membawa perempuan ke rumah ini. Biasanya, tamu-tamu bos hanya bertemu di luar,” gumamnya pelan. Ia teringat rumor tentang gaya hidup bosnya yang sering berganti-ganti pasangan, tetapi tidak ada satu pun yang pernah benar-benar tinggal di rumah ini.
Haryo di lantai bawah menatap ke luar jendela, senyum tipis terlukis di wajahnya. “Kirana,” gumamnya sendiri. “Kau tidak punya pilihan lagi. Cepat atau lambat, kau akan menerima takdirmu bersamaku.”
...****************...
Malam itu, Arini melangkah masuk ke dalam bar yang remang-remang. Aroma alkohol dan asap rokok menyergap hidungnya, tapi ia tak peduli. Ia melihat Mirna duduk di sudut, memegang segelas koktail dengan santai sambil berbincang dengan beberapa pria. Arini mendekatinya dengan langkah cepat, wajahnya penuh kecemasan.
“Mirna, aku butuh bicara sekarang,” ujar Arini dengan nada tegang.
Mirna meliriknya, lalu tersenyum kecil. Ia memberi isyarat kepada para pria di sekitarnya untuk pergi, dan mereka meninggalkan meja dengan patuh. “Santai, Rin. Duduk dulu. Mau minum apa?”
“Aku nggak butuh minum. Aku butuh solusi!” Arini menjawab tajam sambil menjatuhkan dirinya di kursi.
Mirna mengangkat bahu. “Baiklah, apa masalahnya? Kau terlihat seperti habis dikejar hantu.”
Arini menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi. “Kirana... Dia ada di tangan Haryo sekarang. Dia... dia dibawa ke tempatnya. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi padanya.”
Mirna mendesah, menyesap minumannya sebelum menjawab. “Dengar, Rin. Kau terlalu khawatir. Haryo bukan orang jahat. Dia pria kaya dan berpengaruh. Dia benar-benar menyukai Kirana. Aku yakin dia tidak akan menyakitinya.”
“Bagaimana aku bisa percaya itu? Dia sudah menculik anakku, Mirna!” Arini membentak, nada suaranya penuh rasa frustrasi.
Mirna meletakkan gelasnya, memandang Arini dengan serius. “Haryo itu bukan tipe pria yang main-main dengan perasaan. Kalau dia sampai sejauh ini, itu artinya dia serius dengan Kirana. Ya, mungkin caranya nggak biasa, tapi dia nggak akan menyakiti anakmu. Dia hanya ingin memastikan Kirana menjadi miliknya.”
Arini menggeleng dengan putus asa. “Tapi ini semua salah. Kirana membenciku. Dia tidak akan pernah mau menerima Haryo, apalagi setelah apa yang terjadi.”
“Rin, dengarkan aku,” Mirna berkata, nada suaranya berubah menjadi lebih lembut namun tetap tegas. “Kirana masih muda. Dia keras kepala sekarang, tapi kalau kau membimbingnya dengan baik, dia akan melihat keuntungan dari hubungan ini. Bayangkan hidup seperti ratu di sisi Haryo. Kirana bisa punya masa depan yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya.”
Arini menatap Mirna dengan ragu. “Tapi bagaimana kalau Kirana melawan? Aku sudah kehilangan kendali atasnya.”
Mirna menyeringai, menyandarkan diri di kursinya. “Kalau begitu, kau harus lebih tegas, Rin. Berikan dia pengertian bahwa ini semua demi kebaikan bersama. Ingat, Haryo tidak meminta hal yang mustahil. Dia hanya ingin Kirana. Dan kau... kau bisa mendapatkan lebih banyak keuntungan dari ini.”
Arini mengusap wajahnya, pikirannya kacau. “Aku takut, Mir. Kalau sampai Kirana terluka, aku nggak akan bisa memaafkan diriku sendiri.”
Mirna mengulurkan tangannya, menepuk bahu Arini. “Percayalah, semuanya akan baik-baik saja. Haryo mungkin tegas, tapi dia bukan monster. Sekarang, tenangkan dirimu. Pulanglah dan pikirkan cara untuk membujuk Kirana agar menerima situasi ini.”
...****************...
Kirana dibawa oleh dua bodyguard Haryo menuju mobil hitam besar yang terparkir di depan gudang. Ia terus meronta, mencoba melepaskan diri, namun tenaganya tak sebanding dengan dua pria berotot yang mengawalnya. "Lepaskan aku! Aku mau pulang! Aku nggak mau ikut kalian!" teriaknya dengan suara penuh amarah dan keputusasaan. Namun, kedua bodyguard itu tetap diam, hanya melaksanakan perintah majikan mereka.
Di sepanjang perjalanan, Kirana duduk di kursi belakang, diapit oleh kedua pria itu. Ia memalingkan wajah ke jendela, matanya berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk antara ketakutan, marah, dan rasa tidak berdaya. Mobil itu melaju dengan kecepatan stabil, menuju rumah Haryo.
...****************...
Ketika mobil berhenti di depan gerbang besar, Kirana menatap bangunan megah di depannya. Rumah itu begitu besar dan mewah, bahkan lebih besar daripada rumah yang ia tinggali saat keluarganya masih berada di puncak kejayaan. Lampu-lampu besar menerangi halaman, sementara taman yang terawat rapi terlihat seperti milik istana.
Namun, keindahan itu tidak membuat Kirana terpesona. Sebaliknya, hatinya justru dipenuhi rasa dingin. Rumah sebesar itu terasa kosong dan suram, seakan tidak ada kehidupan di dalamnya.
Seorang pria berpakaian serba hitam, yang tampaknya adalah pelayan, membuka pintu mobil. Kirana dipaksa turun oleh kedua bodyguard itu. "Jalan," salah satu dari mereka memerintah dengan nada kasar.
"Aku nggak mau masuk ke rumah itu. Aku mau pulang!" Kirana berseru, suaranya nyaris pecah karena frustrasi.
"Kami hanya menjalankan perintah," jawab bodyguard lainnya singkat, mendorong Kirana agar melangkah menuju pintu utama.
Ketika pintu besar rumah itu terbuka, suasana di dalam terasa lebih sunyi daripada di luar. Tidak ada suara, tidak ada aktivitas. Hanya ada lantai marmer mengilap, dinding tinggi dengan hiasan mahal, dan lampu gantung kristal yang menggantung di langit-langit. Semua tampak sempurna secara visual, tetapi hampa.