Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi Buruk Dimulai
📍Mvvo Entertaiment
-Ruangan Konsultasi-
Anne duduk dengan tangan terlipat di atas meja, pandangannya tajam tertuju pada Emily yang berdiri di depannya dengan ekspresi penuh kekhawatiran.
“Karena gosip itu, runway-mu ditunda, Emily,” ucap Anne dengan nada dingin, tatapan matanya tak bergeming.
Emily meneguk ludah, kedua tangannya meremas tas yang digenggam erat. Wajahnya terlihat tegang, tetapi matanya memancarkan harapan.
“Bu Anne, saya mohon percaya pada saya. Saya tidak melakukan itu. Saya bukan perempuan simpanan,” suaranya bergetar, namun tetap mencoba terdengar tegas.
Anne menghela napas panjang, meletakkan tangannya di dagu.
“Kami sedang menyelidiki kasus ini, dan semoga saja pelaku penyebaran fitnah ini segera tertangkap,” jawab Anne, suaranya terdengar lebih lembut, meski tetap tegas.
Emily melangkah maju, nadanya berubah lebih memohon.
“Bu, saya harus tetap berkarir. Adik saya tahun ini masuk kuliah, dan Ibu tahu kontrak saya dengan perusahaan ini masih tiga tahun lagi. Saya tidak bisa kehilangan pekerjaan ini.”
Anne menggeleng pelan, matanya menunjukkan rasa simpati, namun posisinya tetap tegas. “Soal ini, Pak Presdir belum bisa dihubungi, Emily. Kita harus menunggu.”
Air mata hampir membasahi sudut mata Emily, tetapi ia menahannya. Ia mencoba menarik napas panjang untuk mengendalikan diri. “Bu, saya mohon… Tolong bantu saya agar karir saya tidak hancur. Saya yakin Pak Presdir mau menolong saya,” pintanya, suaranya hampir berbisik.
Anne bangkit dari kursinya, berjalan ke arah jendela sambil menyilangkan tangan di dadanya. “Kita berharap seperti itu, Emily. Tapi beliau tidak akan bertindak sampai semua bukti sudah jelas,” jawab Anne dengan nada akhir yang memberi isyarat percakapan telah selesai.
Emily mengangguk lemah, kemudian berbalik menuju pintu. Wajahnya terlihat kusut, matanya menatap lantai sepanjang jalan keluar.
**
Langkah Emily melambat saat ia melewati lobi. Wajahnya penuh resah, seperti membawa beban berat. Dari kejauhan, Reymond memperhatikan. Pandangannya terpaku pada sosok wanita itu sebelum akhirnya ia memutuskan melangkah ke ruangan konsultasi.
-Ruangan Konsultasi-
Anne tengah menata berkas di mejanya ketika Reymond mengetuk pintu.
“Permisi, Bu Anne,” ucapnya, sambil sedikit membungkukkan badan.
Anne mengangkat pandangannya, tersenyum singkat.
“Oh, Pak Reymond. Silakan duduk,” katanya, menunjuk sofa di seberang meja.
Reymond melangkah ke sofa dan duduk dengan postur tegap.
“Saya melihat Emily tadi. Dia terlihat… berbeda. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya, alisnya mengerut.
Anne duduk kembali di kursinya, meletakkan tangan di atas meja.
“Emily baru saja keluar dari sini. Dia sedang terlibat gosip tidak menyenangkan,” jawab Anne dengan nada serius.
Reymond bersandar sedikit, matanya menyipit. “Gosip apa?”
Anne menghela napas. “Dia digosipkan sebagai perempuan simpanan calon kepala kepolisian yang akan dilantik bulan depan.”
Reymond tampak tercengang. “Bagaimana mungkin? Apakah dia mengenal orang itu?”
Anne mengangkat bahu, ekspresinya tampak lelah. “Saya tidak tahu dari mana hubungan itu muncul. Tapi gosip ini sudah membuat runway-nya ditunda, dan saat ini kami sedang menyelidiki penyebarnya,” jelasnya.
Reymond mengangguk pelan, matanya menatap tajam ke arah Anne. “Apakah sudah ada langkah lanjutan?”
Anne menatap Reymond dengan serius. “Sudah, itulah mengapa saya meminta Anda datang. Sayangnya, Pak Presdir masih belum merespons. Saya rasa beliau sedang sangat sibuk,” jawab Anne.
Reymond menggenggam dagunya, berpikir dalam diam. “Baik. Kalau begitu, saya akan coba cari informasi tambahan. Kita tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut,” katanya akhirnya.
***
“Pak presedir, nama Emily terus-terusan naik.” Ucap seorang pria yang berdiri di hadapan Mattheo yang sedang duduk santai.
Pria itu terlihat tersenyum menatap layar laptop yang ada di hadapannya. Raut wajahnya terlihat menyimpan senyum licik yang tergambar jelas.
“Hhhhh … Emily, bukannya dia asli keturunan Tiongkok?” Ucapnya sembari menyender.
“Benar sekali pak presedir.” Jawab Endrick yang dikenal sebagai sekretaris Mattheo.
“Dia disini dengan siapa? Keluarganya?” tanya Mattheo kembali, penasaran.
“Keluarganya hanya adik perempuannya saja.” Jelas, Endrick memberikan informasi singkat itu.
“He’em.” Mengangguk dengan senyum licik.
***
📍Apartement
Suara pintu yang berderit pelan memecah keheningan ruang tamu apartemen kecil itu. Emily meletakkan tasnya di sofa sebelum berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Baby, adiknya, sudah duduk di meja makan dengan buku pelajaran berserakan di depannya.
“Cece, kenapa pulang lebih awal?” tanya Baby, alisnya mengernyit.
Emily menghela napas sambil membuka lemari, mencari camilan. “Hanya... aku lagi gak ada kerjaan.”
“Gak ada kerjaan? Bukannya cece sibuk akhir-akhir ini? Ah! Cece juga, bukannya mau mempersiapkan runway, cece gak latihan?” Baby menatap Emily penuh selidik.
Emily tersenyum kecil, menutup lemari tanpa mengambil apapun. “Kamu sudah daftar ulang, Baby?”
Baby mengangguk cepat. “Ah, aku sudah melakukannya.”
“Ya sudah,” ujar Emily, duduk di kursi seberang Baby. “Katakan kepadaku kalau kamu perlu yang lain.”
Baby menundukkan kepala, jemarinya bermain dengan ujung buku. “Maaf ya, Ce, kalau aku membuat tanggungan cece lebih banyak. Padahal cece juga lagi menyelesaikan S1, membayar keperluan lain, dan belum lagi sewa apartemen.”
Emily mengulurkan tangan, menepuk punggung tangan adiknya lembut. “Gak usah pikirkan itu. Itu urusanku. Kamu hanya perlu belajar yang rajin. Jangan sia-siakan semuanya.”
Baby mendongak, menatap Emily dengan mata berkaca-kaca. “Aku gak akan menyia-nyiakannya, Ce. Aku akan buat cece bangga denganku.”
Emily tersenyum, matanya hangat. “Terima kasih, Baby.”
Dering telepon tiba-tiba memecah suasana hangat itu. Emily menghela napas, bangkit dari kursinya. “Cece angkat telepon dulu.”
“Iya, Ce,” sahut Baby, memperhatikan kakaknya yang berjalan menjauh menuju jendela apartemen.
Emily mengangkat telepon. “Iya?”
“Emily, saya Endrick, sekretaris Pak Mattheo.”
Emily menegakkan tubuhnya. “Iya, Pak Endrick?”
“Pak Mattheo ingin bertemu denganmu malam ini,” ujar suara itu dengan nada tegas.
Wajah Emily berubah serius. Baby, yang mengamatinya dari meja, bisa merasakan ada sesuatu yang penting. Dia merapikan bukunya perlahan, mencoba menangkap percakapan itu tanpa terlihat mencuri dengar.
“Iya, saya mengerti,” jawab Emily singkat sebelum menutup telepon. Dia berbalik dan tersenyum tipis pada Baby, meskipun jelas ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
“Kamu baik-baik saja, Ce?” tanya Baby, suara kecilnya penuh kekhawatiran.
Emily mengangguk, kembali ke meja makan. “Iya, semuanya baik-baik saja. Kamu selesaikan tugasmu dulu ya. Cece cuma ada sedikit urusan nanti malam.”
Baby menatap Emily penuh tanya, tapi memilih tidak berkata apa-apa. Hatinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang besar sedang terjadi, tapi ia tahu kakaknya tak akan membahasnya kecuali benar-benar perlu.
***
📍Rai’s House
Pintu depan terbuka, membiarkan hembusan angin sore masuk ke dalam ruang tamu yang nyaman. Reymond masuk sambil melepaskan dasinya dengan gerakan santai. Di ruang tengah, Rein sedang duduk di sofa dengan buku kecil di tangannya. Ia menoleh begitu mendengar langkah Reymond.
“Sayang, kamu sudah pulang?” sapanya lembut, matanya berbinar.
“Hm, saya sudah pulang,” jawab Reymond sambil menatap sekeliling ruang tamu. “Dimana Papa mertua?” tanyanya, suaranya datar, namun penuh maksud.
Rein meletakkan bukunya di atas meja. “Papa belum pulang. Kenapa, sayang?”
Reymond duduk di kursi dekat jendela, menyandarkan tubuhnya. “Saya mau bicara dengan Papa mertua, soal model yang ada di perusahaan Papa.”
Rein mengerutkan dahi. “Model? Siapa?”
“Emily,” jawab Reymond singkat.
Rein mengangkat alisnya, tampak teringat sesuatu. “Ah! Aku melihat berita itu. Katanya dia seorang simpanan calon kepala kepolisian. Itu benar?”
“Saya juga tidak tahu soal itu, Rein,” jawab Reymond sambil menghela napas panjang.
Rein mendesah. “Aku harap itu tidak benar. Kalau iya, saham perusahaan bisa kena imbasnya.”
“Ya,” Reymond mengangguk pelan, pandangannya menerawang. “Gosip ini saja sudah merugikan banyak brand yang dipegang Emily.”
“Tuh kan,” sahut Rein, nadanya khawatir.
Reymond mencondongkan tubuhnya, menggenggam tangan Rein lembut. “Jangan dipikirkan, fokus saja pada kandunganmu.” Ia mengusap perut Rein yang masih terlihat rata.
Rein meringis sedikit, menekan perutnya. “Aku mual lagi,” ujarnya dengan wajah cemberut.
Reymond tersenyum kecil, mencoba mengalihkan perhatian. “Tadi, Kak Michael datang ke rumah?”
Rein mengangguk. “Hm, dia datang sebentar. Memberikan aku buket bunga, katanya selamat untuk kehamilanku.”
“Begitu ternyata,” gumam Reymond sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Saya belum bertemu dengannya.”
Rein menatap Reymond dengan tenang. “Katanya dia sangat sibuk. Tadi saja kebetulan satu arah, jadi dia menyempatkan mampir sebentar, kasih bunga, lalu pergi.”
Reymond hanya mengangguk, tetapi pikirannya terlihat berputar-putar. Tangannya tetap berada di perut Rein, memberikan kenyamanan, sementara matanya menatap ke arah jendela dengan tatapan yang sulit ditebak.
***
📍Mvvo Entertaiment
-Ruangan Presedir-
“Pak presedir, Emily ada diluar.” Ucap Endrick berdiri di hadapan Mattheo.
“Suruh dia masuk dan kamu boleh keluar.” Tegasnya.
“Baik pak.” Endrick menunduk sejenak dan beranjak keluar.
Endrick beranjak keluar dan meminta Emily untuk masuk ke dalam ruangan.
Emily pun masuk ke dalam ruangan presedir, dimana ini untuk pertama kalinya dia masuk ke dalam ruangan itu.
“Emily?” panggil Mattheo, menatap lekat Emily .
“Iya pak presedir.” Jawab Emily dengan nada pelan, yang masih berdiri.
“Silahkan duduk.” Pinta Mattheo mempersilahkan.
“Terima kasih pak presedir.” Emily beranjak duduk disofa berwarna putih di ruangan itu.
“Saya langsung saja ke intinya.” Tegas Mattheo.
“Baik pak.” Ucapnya dengan wajah yang resah saat hatinya gelisah.
“Saya sudah mendengar semuanya, Emily. Soal gosip itu, saya juga sedang sibuk dengan model baru yang mau saya debutkan.”
“P-pak presedir, pelakunya bukan saya. Saya bersumpah, kalau saya tidak punya hubungan apapun dengan calon kepala kepolisian.”
“Saya percaya itu, tapi Emily apa kamu tahu dunia hiburan bekerja seperti apa?”
Sejenak pertanyaan Mattheo membuat Emily diam. Gadis itu mencari jawaban di dalam otaknya sendiri.
“Dunia hiburan itu bekerja untuk orang-orang yang tahan banting dan memiliki backingan yang kuat dibelakangnya. Apa kamu memilikinya? Seseorang yang kuat dibelakangmu, untuk melindungi karirmu?” Mattheo terus memperhatikan Emily.
Emily menggelengkan kepalanya dan menunduk.
“Karirmu akan redup kalau kamu tidak bisa menjaganya dengan cara mengorbankan apa yang kamu miliki.”
“A-apa yang harus saya korbankan pak presedir? Saya sendiri hanya terlahir dari keluar—,”
“Dirimu.”
Ruangan itu hening saat Emily menatap Mattheo.
“Berikan dirimu untuk saya. Saya pastikan, karirmu akan naik besok pagi.”
“S-saya gak paham dengan apa yang bapak katakan.”
“Berlutut dihadap saya dan puaskan saya sekarang juga.”
DEG! Jantung itu berdegup cepat saat Emily mendengarkan kalimat yang sangat menjijikan baginya.
“Ayo.”
“P-pa—,”
“Kalau kamu tidak mau, saya pastikan adikmu tidak akan melanjutkan kuliahnya dan saya pastikan lagi, karirmu hancur dan kamu akan menerima sanksi sosial dimana pun kamu berada.”
Tubuh itu gemetaran, pikirannya bercampur aduk.
“Saya tidak ingin menunggu lama Emily. Kamu bukan anak kecil lagi yang harus saya paksa. Datang kemari dan puaskan saya sekarang juga.”
“P-pak pre—,”
“KEMARI ATAU SAYA MUSNAHKAN KAMU! Saya tidak akan segan-segan melemparmu, Emily.”
Pria itu menarik Emily dengan kasar.
“Akhh,” dia bahkan meringis kesakitan saat lengannya ditarik kuat.
“Berlutut!” Ucap Mattheo yang memaksa Emily berlutut di hadapannya.
Tubuhnya gemetaran dengan hebat, matanya berkaca-kaca menahan tangisan.
“Kamu tak perlu menangis! Ingat berkorbanlah.” Dia menarik tangan Emily ke atas pangkuan pahanya. “Buka dan nikmatilah sampai aku mengeluarkannya di dalam mulutmu.”
Pria itu menggeram, dia menarik tangannya dan membuat Emily membuka resleting celana hitam yang dia kenakan. Dan saat itu, dengan jelasnya Emily melihat milik pria yang disebut sebagai presedir itu.
“Kulum.” Perintah Mattheo yang menekan kedua pipi Emily hingga terbuka dan memasukan miliknya dengan paksa di dalam mulut gadis itu. “Jilat sampai aku mengerang puas, sayang.”