Pembaca baru, mending langsung baca bab 2 ya. Walaupun ini buku kedua, saya mencoba membuat tidak membingungkan para pembaca baru. thanks.
Prolog...
Malam itu, tanpa aku sadari, ada seseorang yang mengikuti ku dari belakang.
Lalu, di suatu jalan yang gelap, dan tersembunyi dari hiruk-pikuk keramaian kota. Orang yang mengikuti ku tiba-tiba saja menghujamkan pisau tepat di kepalaku.
Dan, matilah aku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Evakuasi Korban.
Pak Kumis atau Pak Zainal Abidin datang lima belas menit setelah aku menelepon dia. Dia datang bersama tim pemburu kriminal. Bukannya berterima kasih, dia malah memarahiku habis habisan setelah menyeret ku ke dalam Mobil box hitam. "Kau ini ya. Kok ga bisa anteng di rumah, hah?"
"Lho? Kan Anda menyuruhku mencari tau siapa pelaku yang lain dan para korban yang lain." protes ku.
"Siapa yang menyuruhmu, hah? Aku cuma bertanya, apakah kamu mengenalnya. Mana wali mu?"
"Saya yatim dan piatu pak." kataku pelan.
"Astaga, pantesan kamu bisa keluyuran pada jam jam ga masuk akal begini. Pak Jatmiko? Bukankah dia menginap di rumahmu?"
"Dia sedang tidur. Dia tidak tau menahu kalau saya keluar rumah."
"Alamakk. Kau ini ya!! Kau pikir, kau ini Sherlock Holmes kah? Apa Shinichi Kudo?"
"Hehehe. Dua duanya pak." dan jitakan mendarat di kepalaku.
"Sekarang kamu pulang, tidur dan biarkan kami yang mengurus sisanya. Besok siang aku akan memintamu keterangan di kantor polisi."
"Siap Ndan!"
"Tunggu!!" dia menghentikan aku sebelum aku membuka pintu mobil box hitam itu. "Jangan sampai ada orang yang tau kalau kamu yang menemukan para korban. Bisa jadi, pelakunya masih ada di dekat sini. Dan kamu bisa di incar olehnya! Mengerti?"
"Siap Ndan...."
"Lalu. Jangan mengulangi explore explore ga jelas mu."
"Tapi kan hasil dari saya explore mengexplor menghasilkan terpecahkan nya kasus ini."
"Dengerin gepenk. Ini masih belum selesai, masih ada terduga pelaku yang lainnya, dan polisi pun masih belum tahu ada berapa banyak lagi komplotan Pak Buang. Mengerti?"
"Yaa..."
"Ingat! Jangn explore explore lagi!!"
"Yaaa..."
"Dan juga. Hindari mara bahaya."
"Siap Ndan.... Saya menyesal karena sudah nekat."
"Dan satu lagi." dia tersenyum di balik kumisnya yang lebat. "Terima kasih atas bantuannya. Kalau telat sedikit, mungkin kepolisian tidak akan pernah tahu dimana para korban di sekap. Dan, terima kasih telah menyelamatkan para korban."
"Saya masih boleh tahu kelanjutan kasus ini kan?"
"Ya. Dengan catatan, jangan suka nekat. Paham?"
"Baik Pak."
"Jangan membuat orang orang yang ada di sekelilingmu mencemaskan dirimu. Paham?"
"Siap Pak. Sudah kah ceramahnya?" dia menjitak ku lagi lalu menyuruhku pulang.
Nex
Keesokan harinya, aku tidak bisa pergi ke kantor polisi seperti yang di perintahkan oleh Pak Kumis. Hari ini aku telat bangun, dan berangkat ke sekolah kesiangan. Karena itulah aku mendapatkan hukuman dari Pak Nur untuk membersihkan toilet setelah pulang sekolah.
Dan satu lagi yang ingin aku sampaikan. Udin masih belum muncul lagi di sekolah maupun di sekitar rumahnya. Dia benar benar seperti hilang di telan bumi.
Setelah selesai membersihkan toilet. Aku pun langsung pulang ke rumah. Tidak lewat kali Gimun, tapi lewat perempatan jalan Mulyorejo. Berharap bisa ketemu dengan teman teman yang sudah pulang duluan. Siapa tahu mereka masih berkumpul di mana, dan kami bisa menjenguk Udin bersama sama.
Tapi, yang aku lihat, Angga sedang di marahin Bu Yayang, dan di samping ada Ayu yang kakinya berdarah. Sepertinya dia habis terjatuh saat main dengan Angga. Jadinya Angga di omelin ibunya habis habisan. Aku ga berani mampir maupun menyapa. Biarkan ibunya puas memarahi anaknya itu.
Lenny, dia sedang berbelanja di warungnya Bu Devi. Membeli beberapa bahan makanan untuk jualan Mie pangsit nanti sore. Kami sepakat kejadian Levi kesurupan harus di rahasiakan kepada kedua orang tuanya. Dan Levi sendirilah yang memintanya.
Dika? Dia membantu Lenny berbelanja. Jadi, aku ga mau mengganggu mereka. Biarkan mereka mencari rejeki, siapa tahu Lenny bisa sukses di kemudian hari.
Jadi, kesimpulannya adalah. Aku harus menjenguk Udin sendirian. Tau begitu aku lewat kali Gimun, ga usah muter jauh jauh.
Nex
Rumah Udin benar benar sudah seperti rumah terbengkalai, dari balik jendela aku mengintip ke dalam rumahnya. Banyak barang barang yang berserakan di lantai. Dan terlihat banyak debu di mana mana. Dia sudah pindah? Kenapa diam diam? Apakah dia dan keluarganya menganggap kasusnya Pak Buang itu adalah aib keluarga mengingat Pak Buang adalah adik kandungnya Ayahnya Udin?
Ngomong ngomong soal ayahnya Udin. sampai sekarang aku belum tau namanya! Astaga, teman macam apa aku ini?
Entah ada setan apa yang merasuki ku, ketika mengetahui bahwa rumahnya Udin sudah di tinggalkan oleh pemiliknya, aku sekarang berjalan menuju arah kali Gimun. Lalu, menuju belakang rumahnya Pak Buang, dan menerka nerka, jalan rahasia kemarin itu menuju ke mana.
Dari arah rumahnya Pak Jatmiko ke rumahnya Pak Buang itu ke arah Utara, karena aku kemarin belok ke arah kiri, jadi, jalan rahasia itu menuju ke arah barat. Setelah yakin dimana letak jalan rahasia yang ada di bawah tanah, aku menuju ke arah barat. Aku menghitung jaraknya, sesuai dengan ingatan yang aku punya.
Ruang bawah tanah kemarin aku temukan, ternyata tepat berada di atas sebuah rumah. Dan aku tidak tahu rumah siapa itu. Rumah itu tidak terlalu besar dan tidak mencolok sama sekali karena sudah bobrok dan di bangun tepat di tengah tengah pekarangan yang sudah banyak rerumputan liar nya.
Tapi, saat aku masuk ke dalam rumah itu, rumah itu jelas jelas masih di tinggali sampai beberapa saat yang lalu. Ada bekas makanan mie instan yang masih belum basi di salah satu meja rumah itu. Dan juga kopi hitam yang sudah dingin tapi belum basi. Pemilik rumah ini pasti meninggalkannya dengan cara Terburu buru.
Tidak ada foto, atau apapun yang bisa di jadikan petunjuk siapa pemilik rumah ini. Tapi, karena jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya Angga. Aku yakin keluarganya Angga atau Angga sendiri mengetahui siapa pemilik rumah ini.
Nex
"Baik, saya ada di rumah." Aku menutup telepon dari Bu polwan cantik bernama Cikita. Dia mau ke rumah untuk menceritakan kelanjutan kasus Naya. Dia ingin menceritakan evakuasi korban yang mereka janjikan kepadaku yang seharusnya aku dengar ketika aku ke kantor polisi. Berhubung hari ini aku tidak bisa kesana, dan Polwan Cikita sedang cuti, dia ingin main ke rumahku dan menceritakan semuanya kepadaku.
Jadi, saat ini aku berjalan menuju rumah. Tapi, harus menerabas lewat pekarangan yang sudah penuh ilalang dan rumput rumput setinggi lutut.
Aku tau kalau rumah kecil bobrok itu dekat dengan rumahnya Angga karena atap rumahnya Angga terlihat jelas dari halaman depan rumah bobrok itu.
Nah, dengan bermodalkan terlihatnya atap rumahnya Angga, aku bisa mencari arah pulang tanpa kesusahan sedikitpun.
Angga sedang di hukum untuk membersihkan rumput liar yang ada di halaman belakang rumahnya. Dia kaget setengah mati ketika melihatku berjalan menuju arahnya dari arah rumah bobrok tadi. "Dari mana Lu?" tanya Angga.
"Jalan jalan." jawabku enteng.
"Jalan jalan di pekarangan orang? Mau maling mangga Lu?" lalu dia terkekeh geli mendengar perkataannya sendiri.
"Lu sendiri sedang ngapain? Ga ada kerjaan Tah sampai rumput rumput itu Elu cabuli?"
"Cabuti bangsat. Bukan cabuli!!"
"Ahahaha.. Mana Ayu? Aku lihat tadi dia mewek. Kenapa dia?"
"Saat minta di ajari naek sepeda, dia nyungsep, dan dia bilang ke ibu Gua kalau Gua yang mendorongnya hingga jatuh. Sial banget kan?"
"Ahahah. Pasti Elu emang sengaja. Gua ga percaya kalo Elu ga sengaja."
"Ngajak ribut Lu Yon?"
"Hahaha.. Selow, selow. Oh ya, rumah itu." aku menunjuk ke arah rumah bobrok tadi. "Kamu tau itu rumahnya siapa?"
"Entahlah. Yang aku tahu, itu orang, pemilik rumah itu. Dia ODGJ."
"Ha? ODGJ?"
"Orang Dengan Ganguan Jiwa. Gila Yon gila. Orang gila. Dia tiap hari teriak teriak tentang ilmu Kanuragan dan sebagainya. Karena omongannya ngelantur, dia akhirnya di acuhkan oleh para tetangga."
"Hoo. Kamu tau nama orang itu?"
"Engga. Tapi, sepertinya Ayah sama ibuku tau. Nanti tak tanyakan. Oh ya, bisa minta nomor handphon mu?"
"Eh, Elu juga punya handphone? Merk?"
"Nanti malem di baru akan mau beli. Nunggu ayahku pulang kerja. Nanti kalo sudah beli tak SMS."
"Ok. Nih. Aku balik dulu ya. Salam buat Ayu dan Mbak Mega. Kapan kapan aku ingin main sama mereka lagi."
"Wokey..."
Nex
Sore harinya. Ada seseorang sedang mengetuk pintu rumahku ketika aku sedang mengerjakan PR'. Saat aku membuka pintu, ada cewek berbaju merah dan bercelana jins bekel sedang berdiri di depan rumahku.
"Lho? Bu polwan Cikita!" seru ku.
"Hai. Assalamualaikum. Aku datang sesuai janji."
"Hahaha. waalikumsalam. Ayok masuk. Silahkan, Pak Jatmiko juga ada kok. Jadi tenang saja."
"Huhuhuu.. Kalo kamu sendirian di rumah pun aku ga keberatan untuk mampir."
"Sudah, jangan bercanda terus. Yuk masuk, dan ceritakan kisah evakuasi korban kemarin malam."
Nex
"Saat kami sudah sampai di TKP." Kata polwan cantik bernama Cikita itu ketika dia sudah berada di dalam rumahku. Aku dan Pak Jatmiko mendengarkan dia dengan seksama. "Pelaku yang kamu katakan sudah kabur dari sana."
"Dia lewat mana? Soalnya saat aku menelepon kepolisian sedang berada di lemari yang ada di lorong rahasia yang baru aku temukan."
"Kami menyimpulkan kalau dia lewat pintu yang terhubung dengan rumahnya Pak Buang. Ada jejak kaki di sana, karena tanah di sana lumayan becek. Tapi, kali kehilangan jejaknya ketika memasuki jalan beraspal. Sepertinya dia naik kendaraan atau apalah. Dia meninggalkan para korban di sana begitu saja. Kami mengevakuasi korban dari rumah anda Pak Jatmiko. Karena kami tidak mau membuat kegaduhan di malam hari. Siapa tahu pelakunya masih berada di sekitar sana dan melihat Riyono berkeliaran di dekat TKP... Kamu ga melakukan hal nekat lagi kan?"
"Ahahaha... Engga kok. Setelah pulang sekolah, aku main ke rumahnya Angga. Bantu dia nyabuti rumput di halaman belakang rumahnya." aku berbohong, takut kena omel Pak Kumis.
"Bagus lah. Soalnya, kami mencurigai kalau salah satu pelakunya adalah orang yang kamu kenal."
"Saat ini, keadaan para korban bagaimana?" tanya Pak Jatmiko.
"Mereka mengalami ganguan mental ringan. Kami yakin setelah di terapi dan menjalani perawatan rutin. Mereka akan kembali seperti semula dan bisa di mintai keterangan. Kamu, Riyono. Kamu benar benar tidak melihat wajah pelaku?'
"Ayolah, di lorong itu cukup gelap, walaupun ga gelap gulita. Dan mana mungkin aku memakai senter. Bisa bisa aku langsung ketahuan bersembunyi di mana. Tapi, kalau suaranya.... Aku sepertinya ingat siapa pemilik suara itu."
"Siapa?"
"Entahlah, mungkin kalau ketemu dan mendengar dia bicara, mungkin aku bisa langsung mengenali dia."
"Satu lagi yang membuatku sangat penasaran." wajahnya cantik Cikita berubah menjadi serius, dia semakin terlihat menawan bagiku. Dia berumur sekitar dua puluh tahunan. Dan tubuhnya tidak terlalu tinggi, sehingga kalau dia memakai baju bebas seperti ini, dia menjadi mirip siswa SMP sepertiku. Tapi, ketegasannya yang membuatnya berbeda dari cewek cewek SMP yang asli.
"Ya?"
"Bagaimana caranya kamu bisa menemukan pintu rahasia di rumahnya Pak Jatmiko untuk pertama kalinya. Kamu menutup nutupi hal itu."
"Aaa.. Aku juga di curigai sebagai tersangka kah?"
"Tergantung jawabanmu."
Aku menelan ludah dengan susah payah. Mana mungkin dia bakalan percaya kalau sesaat sebelum melihat Pak Buang, aku melihat arwah Naya ulu dan dia menuntunku ke sana.