Abigail, seorang murid Sekolah Menengah Atas yang berprestasi dan sering mendapat banyak penghargaan ternyata menyimpan luka dan trauma karena di tinggal meninggal dunia oleh mantan kekasihnya, Matthew. Cowok berprestasi yang sama-sama mengukir kebahagiaan paling besar di hidup Abigail.
Kematian dan proses penyembuhan kesedihan yang tak mudah, tak menyurutkan dirinya untuk menorehkan prestasinya di bidang akademik, yang membuatnya di sukai hingga berpacaran dengan Justin cowok berandal yang ternyata toxic dan manipulatif.
Bukan melihat dirinya sebagai pasangan, tapi menjadikan kisahnya sebagai gambaran trauma, luka dan air mata yang terus "membunuh" dirinya. Lalu, bagaimana akhir cerita cinta keduanya?
© toxic love
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Selangkah Lebih Dekat
"Ikuti permainannya dengan manis, suatu saat nanti kamu pasti akan mengerti."
Hari demi hari berlalu, Yeon tetap bertanya-tanya mengapa dan bagaimana Abigail bisa menjauhinya hanya karena pasangan barunya. Bukannya, ia tidak suka. Tetapi, mengapa harus seperti ini?
Ia mengingat impian sepupunya. Brosur, banner, dan pengumuman tentang olimpiade yang akan diselenggarakan, semuanya ia sampaikan kepada Abigail. Namun, Abigail selalu bersikap acuh.
"Yeon?"
"Kamu tahu namaku?"
Seorang gadis berjalan perlahan ke arahnya. Ia mengusap rambut yang menghalangi pandangannya. Gadis itu tersenyum ketika ia menjabat tangan Yeon.
"Kayaknya kamu tidak perlu sedih, deh. Kan masih ada aku. Kalau kamu merasa dikhianati atau ditinggalkan oleh seseorang, kamu tidak perlu mengemis lagi untuk diperhatikan oleh mereka. Itu hak mereka untuk memutuskan."
"Kamu hanya perlu belajar dari pertemuan ini. Walaupun kamu tahu, seindah itu kedekatanmu dengan dia!" Yeon sedikit terisak, mengingat bagaimana Abigail begitu bergantung padanya. Termasuk masa-masa ketika Matthew masih ada.
"Hai, nama kamu siapa?" tanya Yeon gugup. Gadis di depannya sungguh manis. Matanya berwarna cokelat muda, mirip dengannya.
"Aku Yna!"
"Halo Yna, salam kenal aku Yeon!"
Mereka duduk berdampingan. Angin sepoi-sepoi di depan kelas membuat mereka merasa dekat satu sama lain.
"Kamu murid baru ya?" tanya Yeon, memastikan apa yang ia pikirkan benar.
"Engga, aku memang tidak pernah menonjolkan diri sebagai murid di sini. Aku pendiam dan aku tidak pernah jatuh cinta!" jawab Yna dengan sungguh-sungguh. Wajahnya menunduk, ia terdiam sejenak. Yeon menatapnya dengan wajah iba.
"Abigail, menurutku dia sempurna, dia pantas mendapatkan segalanya!"
"Kamu tidak pernah berpikir bahwa dunia membutuhkan dirimu?" tanya Yeon. Senyum Yna sangat manis, ia berpikir bahwa gadis ini adalah gadis yang populer.
"Tidak, biasa saja. Aku telah menemukan sesuatu yang lebih baik dari ini!" jawab Yna singkat.
"Apa itu?" tanya Yeon.
Lalu Yna menjawab, "Ketenangan!"
O0O
Langkah kakinya terasa begitu cepat. Justin menarik tangannya dengan cepat. Pandangan mata Abigail selalu tertuju pada Justin. Ia merasakan aura cinta yang luar biasa keluar dari dadanya. Ia sangat jatuh cinta.
Semua orang memandangnya dengan iri. Kenapa harus Abigail yang mendapatkan Justin? Kenapa Justin harus memilih Abigail? Sementara mereka tahu bahwa Abigail telah membunuh mimpinya. Kemungkinan besar, tidak ada lagi yang membuatnya bisa dipandang sebagai sosok yang mengagumkan di kelas.
Justin melirik ke arah mata Abigail, ia sepertinya tahu apa yang akan ia lakukan. Mereka duduk berdampingan di bangku, bukan Yeon. Ini semua berkat permintaannya. Berbeda dengan Yeon yang diusir untuk pindah tempat duduk.
"Hm, kamu pernah dengar kata mereka?" tanya Justin, berbisik ke telinga Abigail.
Sebelum bel sekolah berbunyi, mereka sudah berkumpul di kelas.
"Apa itu?" Tangan kekar Justin mencubit kasar pipi Abigail, membuat Abigail sedikit meringis. Dari ujung sana, Yeon berusaha memperhatikan mereka.
Anya, seorang gadis yang masih mengagumi Justin, menghampirinya. Ia tersenyum lebar, mengetahui apa yang akan ia lakukan. Beberapa ingatan dan hal kecil tentang mantan pujaan hatinya kembali terlintas. Ia menunggu wali kelas datang.
"Katanya kamu kemarin selingkuh dari Justin ya?" tebak Anya ngasal. Dari ujung sana, Yeon memperhatikan mereka dengan penuh emosi. Ia ingin berteriak, 'salah, salah dan salah,' karena semuanya hanyalah kesalahpahaman saja.
"Kok kamu tidak bersyukur banget ya? Udah dapetin most wanted yang famous dan segalanya, tapi masih bisa selingkuh?" sahut Anya tenang, tetapi terdengar sarkas.
Justin menyela, "Tunggu dulu, kamu jangan asal bilang!" Yeon sedikit lega. Mungkin ini awal baru kebahagiaan bagi Abigail, saat Justin, kekasihnya, membelanya.
"Abigail memang berselingkuh!" sambung Justin dengan penuh penekanan, senyumnya dingin dan acuh. Berbeda dengan Abigail yang tampak resah. Ia ingin menceritakan seluruh kisah sebenarnya. Hanya saja, semesta tidak berpihak padanya, malah berpihak kepada Justin yang terus menceritakan kisah bohong lainnya.
"Iya, kemarin sore Abigail selingkuh. Dan apa kalian tahu apa? Iya, perselingkuhan ini mendapat sponsor, alias dukungan dari sahabat dekatnya, yaitu Yeon!" Yeon tersentak mendengar namanya disebut.
Yeon berjalan menghampiri tempat duduk Justin yang dipenuhi para penggemarnya, emosi membara dalam dadanya. Jelas, ia ingin menghajar wajah laki-laki itu yang tampak polos, tenang, tetapi sebenarnya mematikan. Ia terlihat sayang, tetapi kenyataannya...
"Jangan asal bicara, kamu ya! Kamu punya bukti apa? Soal berita bohong perselingkuhan Abigail sama cowok yang kamu bilang dia lebih mendapat dukungan dari aku daripada kamu sama Abigail!"
"Tuh kan, gais. Udah salah masih juga ngelak!" Pandangan mata Justin tertuju pada Yeon, membuatnya semakin leluasa untuk memperlihatkan wajah aslinya. Ia melipat kedua tangannya, memperlihatkan senyum liciknya.
Yeon sangat marah. Ia ingin membawa kabur Abigail, tetapi rasanya mustahil. Senyum dingin Justin membuat para gadis terpesona. Yeon hendak memukul pipi Justin, tetapi Abigail menahan tangannya.
"Please, jangan pakai kekerasan ya! Aku tahu aku salah sama Justin karena main belakang juga. Harusnya aku lebih jujur!" sahut Abigail datar. Ia menatap Yeon dengan begitu dalam, tetapi tatapannya kali ini membuat Yeon sangat kecewa. Abigail yang manis, ceria, dan penuh senyuman itu ke mana? Hanya karena laki-laki ini, ia rela membuang seluruh mimpinya?
"Pakai kekerasan juga tidak baik, okay?" Yeon tersenyum tipis, hatinya benar-benar teriris.
"Hm, okay!" Abigail melepaskan cengkeraman tangan Yeon dan tersenyum. Beberapa menit kemudian, wali kelas mereka datang dan memulai jam pelajaran.
Sepanjang jam pelajaran, Yeon hanya terdiam. Ia semakin tidak mengerti. Ia merasa Abigail sudah jauh melenceng dari dirinya.
Beberapa jam pelajaran berlalu. Bel pulang sekolah berbunyi. Yeon berpikir untuk membuntuti Abigail dan Justin. Persetan dengan apa yang ia lakukan. Sejak awal, ia merasa hubungan Justin dan Abigail membuat Abigail kehilangan jati dirinya.
Atau mungkin memang benar?
Sejak dulu, Yeon tahu bahwa Abigail terlalu menggantungkan hidupnya pada orang lain, selain dirinya. Yang mungkin saja, pada suatu saat, akan mengubahnya menjadi seseorang yang membuang atau mengabaikan mimpinya demi orang lain.
Saat Abigail dan Justin keluar dari kelas, Justin menyapa Roy dan George, dua sahabat karibnya yang baru keluar dari ruang kelas. Mereka tersenyum kepada Justin, lalu pamit pulang. Di samping Justin, Abigail terus menggandeng tangannya dengan binar bahagia.
"Mau pulang?" tanya Justin dengan senyum khasnya.
Abigail mengangguk. "Iya, terserah mau naik motor atau naik mobil. Aku ikut kamu saja."
Yeon bergumam, "Kayaknya mereka tidak ada apa-apa, atau memang khawatir aku yang terlalu berlebihan?" Beberapa menit kemudian, Abigail dan Justin lenyap dari pandangannya. Abigail memeluk Justin dari belakang saat mereka melaju dengan motor.