"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!"
Hamid dan keluarganya cuma dianggap beban oleh keluarga besarnya. Dihina dan direndahkan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Hingga pada akhirnya mereka pun diusir dan tidak punya pilihan lain kecuali pergi dari sana.
Hamid terpaksa membawa keluarganya untuk tinggal disebuah rumah gubuk milik salah satu warga yang berbaik hati mengasihani mereka.
Melihat kedua orangtuanya yang begitu direndahkan karena miskin, Asya pun bertekad untuk mengangkat derajat orangtuanya agar tidak ada lagi yang berani menghina mereka.
Lalu mampukan Asya mewujudkannya disaat cobaan datang bertubi-tubi mengujinya dan keluarga?
Ikuti terus cerita perjuangan Asya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Asya sempat terhenti saat akan masuk ke dalam mobil. Gadis itu mendengus pelan. Sekarang dia tahu siapa dalang dari semua keributan ini. Tentu saja sepupunya Sarah. Asya yakin pasti Sarah yang sudah mengadukannya pada saudara-saudara ayahnya itu.
Asya cukup bingung saat mobil itu justru melaju di jalan menuju rumah sakit. Bukankah tujuan mereka itu pulang? Lalu kenapa mereka malah membawa Asya dan Luna ke rumah sakit di mana bapaknya dirawat. Dan saat sampai di sana akhirnya Asya tahu tujuan mereka.
Satu tamparan kembali mendarat di pipi Asya yang masih berdenyut sakit. Siapa lagi pelakunya jika bukan Rania. Yani yang melihat anak gadisnya ditampar langsung menghampiri Asya yang sudah tersungkur di atas lantai rumah sakit. Sungguh hatinya benar-benar sakit melihat anaknya ditampar seperti itu.
"Cukup, Mbak! Kalo memang Mbak pengen mukul, pukul saya aja jangan Asya ... hiks!" kata Yani terisak sembari melindungi anaknya. Dia tida akan membiarkan saudara dari suaminya itu menyentuh anaknya lagi.
Rania tersenyum miring lalu menarik rambut Yani hingga membuat wanita itu menjerit. Rania memang sudah lama sekali ingin melakukan hal ini pada Yani. Sejak dulu dia memang tidak pernah suka pada Yani karena Yani dari keluarga yang kurang berada. Mereka seakan lupa dimana mereka berada sekarang. Ralat. Justru karena mereka sedang berada di tempat ramai, itulah sebabnya sikap Rania dan saudaranya semakin menjadi-jadi. Mereka memang selalu suka ketika menjadi pusat perhatian. Padahal yang mereka lakukan sekarang justru lebih memalukan daripada Asya yang menjadi seorang biduan.
Asya dan Luna mencoba menghentikan aksi keji tantenya itu. Luna sampai menggigit pergelangan tangan Rania agar melepaskan ibunya. Sementara Hamid hanya bisa menangis di tempatnya melihat keluarganya diperlakukan seperti itu.
"Memang kamu yang lebih pantas dipukul. Gak becus banget didik anak sampai bikin malu nama baik keluarga!" kata Rania sembari menunjuk-nunjuk Yani dan kedua putrinya.
Asya bangkit menatap tajam Rania dengan matanya yang terus mengeluarkan cairan bening. Tak bisa dipungkiri emosi Asya kini telah berada di puncaknya. Selama ini dia hanya menahannya namun hari ini perlakuan paman dan bibinya sudah benar-benar keterlaluan.
"Di saat seperti ini baru kalian mengakui kami keluarga," kata Asya membuat semua orang di sana menatapnya.
"Kemarin saat bapak butuh bantuan uang untuk operasi, kalian kemana aja, huh?" Sesak dalam dada Asya semakin terasa menghimpitnya. Masih teringat jelas dalam benaknya bagaimana Radit, Rania dan Arman menolak untuk menolongnya.
"Bahkan kalian mengatakan jika kalian memang punya uang tapi bukan untuk menolong kami." Pada dasarnya Asya tidak ingin mengatakan semua itu. Dia berencana untuk menyimpannya sendiri. Sebab dia tahu jika dirinya mengatakannya itu sama saja dia membeberkan sifat asli keluarganya. Tapi, apa guna semua itu saat mereka justru memperlakukan Asya dan keluarganya seperti sampah.
"Itu yang kalian sebut keluarga? Iya?" Ketiga orang itu membuang wajah seakan malu dengan ucapan Asya. Ingat, di sana masih sangat banyak orang. Seperti yang mereka inginkan, Asya akan mengabulkannya. Mereka akan menjadi perhatian semua orang.
"Kalian pikir kenapa aku bekerja seperti ini? Itu karna kami tau jika bukan kami sendiri yang berusaha tidak akan ada yang membantu kami. Kami bisa makan atau tidak pun, tak satupun dari kalian yang akan bertanya." Rasa sakit yang dirasakan Asya benar-benar dia luangkan dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya.
"Lalu kenapa sekarang kalian tiba-tiba seperti ini? Supaya kalian bisa menunjukkan pada orang-orang jika kalian itu sangat peduli pada kami? Bahkan kalian sengaja menghakimi kami di tempat ramai agar kalian mendapat pujian itu. Padahal pada kenyataannya, kami mati pun kalian tidak akan peduli sama sekali."
Asya terisak di sana. Semua emosi yang dia rasakan menguras seluruh tenaganya. Yani bangkit dari duduknya kemudian membawa putrinya ke dalam pelukannya. Tubuh Asya gemetar hebat di sana. Yani, Luna dan Hamid ikut larut dalam kesedihan yang dirasakan Asya. Mereka pun sama, merasakan sakit yang dirasakan Asya. Bahkan mungkin lebih sakit. Dulu Yani dan Hamid yang perlakukan seperti itu. Lalu sekarang anaknya pun diperlakukan demikian.
"Memang benar ya, buah jatuh itu tak jauh dari pohonnya. Ayahnya pembangkang, ibunya murahan. Jadi anaknya juga kayak gitu." Rania masih saja sempatnya menghina sebelum berlalu dari sana sebab pihak rumah sakit sudah datang dan melerai mereka.
Ketiga wanita itu berjalan menghampiri Hamid. Mereka saling berpelukan di sana. Meluangkan segala kesedihannya.
Asya bersumpah mulai hari ini keluarga dari ayahnya bukan lagi keluarga baginya.
***
Butuh waktu cukup lama untuk Asya bisa menenangkan diri. Sementara Luna menemani sang ayah, Yani membawa putrinya ke kantin rumah sakit untuk mendapatkan es batu untuk mengompres pipi Asya yang memerah dan sedikit membengkak.
"Kompres dulu wajahmu," kata Yani menyodorkan es batu yang telah di masukkan ke dalam sebuah tempat seperti kantong. Asya tersenyum simpul mengambil benda tersebut kemudian menaruhnya di pipinya. Yani duduk di samping sang anak hingga tanpa sadar dia kembali meneteskan air mata. Tidak tega melihat Asya seperti ini. Namun Yani segera menghapusnya karena tak ingin Asya melihatnya.
"Maafin ibu ya karna gak bisa lindungi kamu tadi dari amukan paman dan bibimu," kata Yani memegang sebelah tangan Asya sambil memasang wajah begitu menyesal.
Asya mengulas senyum tipis sembari menggeleng pelan.
"Enggak kok, Bu," katanya lalu menarik napas panjang. "Asya yang minta maaf karna kerja kayak gini. Bikin nama baik keluarga kita jadi jelek," sesalnya.
"Kamu gak pernah bikin malu keluarga, Asya. Mereka aja yang gak bisa berpikir luas," kata Yani meyakinkan sang anak jika apa yang dia lakukan sekarang bukan hal yang salah.
Asya bersyukur, orangtuanya selalu berada di pihaknya. Itu saja sudah cukup untuknya. Dia tidak perlu orang lain lagi. Namun ada satu hal yang mengganggu pikiran Asya saat ini. Sepertinya tidak akan masalah jika dia bertanya sekarang.
"Bu?" panggil Asya pelan.
Yani tidak menjawab namun gestur tubuhnya yang dia tampilkan menjawab semuanya. Seluruh perhatiannya kini tertumpu pada Asya.
"Pernah gak sih Ibu sama Bapak merasa malu karna pekerjaan Asya?" tanyanya.
Raut wajah Yani langsung berubah. Tiba-tiba saja dia diserang perasaan canggung, panik dan gelisah karena tidak tahu harus menjawab apa. Yani takut akan menyakiti perasaan Asya sebab dulu dia pernah merasa demikian.
Hingga pada akhirnya Yani memilih menggeleng. "Enggak. Ibu gak pernah merasa malu sama pekerjaan kamu." Yani memilih berbohong karena tidak ingin membuat putrinya kecewa. Dia lebih suka melihat anaknya tersenyum.
Asya maju untuk memeluk sang ibu. "Makasih, Bu," lirihnya dan entah kenapa Yani jadi merasa bersalah telah berbohong. Meski tidak sepenuhnya karena sekarang sungguh dia sangat bangga dengan Asya.
'Maafin Ibu ya, Asya.' Batin Yani sembari memeluk Asya erat.
n memberitahu klo dia adalah tulang punggung kluarganya n ada utang yg harus dibayar
saran saya kalau bisa ceritanya s lanjutkan terus supaya pembaca tidak terputus untuk membaca novelnya, karena kalau suka berhenti sampai berhari hari baru muncul kelanjutan bab nya mana pembaca akan bosan menunggu,