Karena sebuah mimpi yang aneh, Yuki memutuskan untuk kembali ke dunia asalnya. Walaupun Dia tahu resikonya adalah tidak akan bisa kembali lagi ke dunianya yang sekarang. Namun, saat Yuki kembali. Dia menemukan kenyataan, adanya seorang wanita cantik yang jauh lebih dewasa dan matang, berada di sisi Pangeran Riana. Perasaan kecewa yang menyelimuti Yuki, membawanya pergi meninggalkan istana Pangeran Riana. Ketika perlariaannya itu, Dia bertemu dengan Para Prajurit kerajaan Argueda yang sedang menjalankan misi rahasia. Yuki akhirnya pergi ke negeri Argueda dan bertemu kembali dengan Pangeran Sera yang masih menantinya. Di Argueda, Yuki menemukan fakta bahwa mimpi buruk yang dialaminya sehingga membawanya kembali adalah nyata. Yuki tidak bisa menutup mata begitu saja. Tapi, ketika Dia ingin membantu, Pangeran Riana justru datang dan memaksa Yuki kembali padanya. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hari Yuki dan Pangeran Riana. Semua di sebabkan oleh wanita yang merupakan bagian masa lalu Pangeran Riana. Wanita itu kembali, untuk menikah dengan Pangeran Riana. Ketika Yuki ingin menyerah, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Namun, sesuatu yang seharusnya menggembirakan pada akhirnya berubah menjadi petaka, ketika munculnya kabar yang menyebar dengan cepat. Seperti hantu di malam hari. Ketidakpercayaan Pangeran Riana membuat Yuki terpuruk pada kesedihan yang dalam. Sehingga pada akhirnya, kebahagian berubah menjadi duka. Ketika semua menjadi tidak terkendali. Pangeran Sera kembali muncul dan menyelamatkan Yuki. Namun rupanya satu kesedihan tidak cukup untuk Yuki. Sebuah kesedihan lain datang dan menghancurkan Yuki semakin dalam. Pengkhianatan dari orang yang sangat di percayainya. Akankah kebahagiaan menjadi akhir Yuki Atau semua hanyalah angan semu ?. Ikutilah kisah Yuki selanjutnya dalan Morning Dew Series season 3 "Water Ripple" Untuk memahami alur cerita hendaknya baca dulu Morning Dew Series 1 dan 2 di profilku ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
“Tapi Dia harus menikah dengan calon ratunya. Aku pergi dari hidupnya dan saat itulah Aku bertemu dengan Ayahmu. Kami menikah dan memiliki Kau.
Tapi Raja Bardhana ingin Aku kembali. Saat Aku menolak Dia memisahkanku dengan Ayahmu dan mengirimkan Kita ke dunia yang berbeda dimensi dengan dunia ini”
Yuki menatap kata-kata terakhir surat itu dengan perasaan yang campur aduk. Ibunya, Putri Ransah, tidak hanya pernah mencintai Raja Bardhana, tetapi juga menjadi korban ambisi dan kekuasaan pria itu. Ketika Raja Bardhana harus memenuhi takdirnya untuk menikahi calon ratunya demi kerajaan, cinta mereka terpaksa harus berakhir. Namun, cinta itu tidak padam. Keinginan Raja Bardhana untuk mengklaim ibunya kembali adalah awal dari tragedi baru.
Ibunya menolak untuk kembali, dan akibatnya, Raja Bardhana menggunakan kekuatan dan otoritasnya untuk memisahkan ibunya dari Ayah Yuki. Pengusiran mereka ke dunia lain adalah hukuman bagi cinta yang tidak dapat lagi bersatu, tetapi juga merupakan cara bagi Raja Bardhana untuk memastikan mereka tetap jauh dari kehidupannya yang baru. Pengasingan ini membawa mereka ke dunia lain, dan di situlah Yuki lahir.
Yuki menutup surat itu perlahan, menggenggam kertas dengan tangan yang masih gemetar. Ada perasaan dikhianati, tidak hanya oleh masa lalu ibunya yang tersembunyi tetapi juga oleh takdir yang mempermainkan hidupnya.
Pikirannya berputar saat mencoba memahami dampak dari kebenaran ini—bahwa Ibunya pernah memiliki hubungan dengan laki-laki yang kini menjadi ayah dari Pangeran Riana, dan bahwa pria yang sekarang memperlakukannya dengan kasar, Pangeran Riana, mungkin terikat pada takdir yang lebih gelap daripada yang ia bayangkan.
“Apakah Pangeran Riana mengetahuinya ?” pikir Yuki, antara marah, sedih, dan bingung. Jika Pangeran Riana mengetahui kebenaran ini, Apa ini yang menyebabkan hubungan mereka selama ini begitu penuh ketegangan dan penderitaan?
“Jangan membencinya Yuki. Aku tidak membencinya. Ayahmu pun tidak. Kau pasti sudah tahu siapa dirimu dan siapa Aku. Tidak ada yang bisa menyangkal kekuatan Kita. Aku menceritakan hal ini agar Kau bisa memaafkannya. Suatu saat Kau akan mengerti”
Yuki membaca surat ibunya dengan hati yang semakin berat. Kata-kata terakhir itu seolah merasuk ke dalam pikirannya, mencoba memberikan kekuatan untuk memahami dan memaafkan. Tapi, bagaimana bisa? Pangeran Riana—anak dari pria yang menghancurkan keluarganya—telah memperlakukannya dengan begitu kejam. Setiap kenangan, setiap luka fisik dan emosional yang dia alami, terasa seperti pengkhianatan yang lebih dalam setelah mengetahui semua ini.
Ibunya meminta untuk tidak membenci. Tapi bagaimana mungkin bisa memaafkan seseorang yang terus-menerus menyakitinya.
Yuki merapikan diri, menyimpan surat yang baru dibaca ke dalam kotak barang-barangnya. Rasanya, surat itu telah memberinya beban baru, namun juga sedikit harapan. Dalam hatinya, dia berharap surat itu akan menemukan jalannya kepada Raja Bardhana—seseorang yang selama ini hanya dikenalnya dari cerita, tetapi kini terasa lebih dekat dari sebelumnya.
Setelah mengatur napas dan menenangkan diri, Yuki memanggil seorang prajurit yang berjaga di luar kamarnya. “Tolong sampaikan surat ini kepada Raja Bardhana,” katanya dengan suara tegas, berusaha menampakkan kepercayaan diri meski hatinya bergetar.
Prajurit itu mengangguk, menerima amplop dari tangan Yuki. “Saya akan menyampaikannya segera, Putri.”
Yuki mengawasi saat prajurit itu pergi, merasakan campuran cemas dan harapan. Dia ingin tahu bagaimana reaksi Raja Bardhana terhadap isi surat itu. Apakah dia akan merespons dengan baik? Apakah dia akan memahami perasaannya dan rasa sakit yang dia alami?
Setelah beberapa saat, Yuki kembali ke dalam kamar, berusaha untuk merenung. Dia harus bersiap menghadapi apapun yang akan terjadi selanjutnya. Hubungan rumit antara dirinya, Pangeran Riana, dan Raja Bardhana semakin membingungkan.
...****************...
Raja Bardhana menyelesaikan suapan terakhirnya, meletakkan sendok dan garpu dengan hati-hati di atas piring. Meskipun makanan itu lezat, setiap gigitan terasa hambar dalam sunyi yang melingkupi ruang makannya. Matanya memandang kosong ke meja yang dikelilingi oleh kursi-kursi kosong, tanda kekosongan yang tak pernah benar-benar bisa diisi oleh siapapun, meskipun banyak wanita datang dan pergi dalam hidupnya.
Putri Ransah.
Namanya bergaung di benak Raja Bardhana, membawa serta kenangan yang selama ini tersimpan dalam-dalam. Wanita yang dulu dia cintai—dan masih dia cintai. Wanita yang membawa warna dalam hidupnya, tetapi juga menjadi sumber dari penderitaan orang-orang di sekelilingnya, termasuk Ratunya. Ia tahu, hatinya tidak pernah benar-benar ada untuk sang Ratu. Meski Ratu telah setia dan berusaha keras untuk mendapatkan cintanya, perasaan itu tetap tak berubah.
Ketika pelayan masuk dengan langkah ragu, Raja Bardhana sedikit tersentak dari lamunannya. Pelayan itu membungkuk dalam-dalam sebelum berbicara.
“Yang Mulia, ada surat yang dikirimkan untuk Anda,” katanya dengan suara pelan.
Raja Bardhana mengernyit sedikit, tanda terkejut yang jarang terlihat di wajahnya yang biasanya tenang. “Dari siapa?” tanyanya, nadanya datar namun penuh rasa ingin tahu.
Pelayan itu mendekat dan menyerahkan surat itu dengan hormat. “Surat ini datang dari Putri Yuki, Yang Mulia.”
Nama itu membuat Raja Bardhana mengangkat alis. Yuki, anak dari wanita yang dicintainya. Dengan hati-hati, dia membuka surat itu, memecah segel dan mulai membaca.
Saat kata-kata di surat itu terungkap, matanya melebar. Ini bukan surat biasa. Ini adalah kata-kata terakhir dari Putri Ransah, ditulis khusus untuknya. Hatinyapun terenyuh, menyesap setiap kata seolah-olah mereka adalah jembatan kembali ke masa lalu—masa di mana cinta itu masih muda, masih segar, dan masih penuh dengan kemungkinan.
Namun di balik itu, ada sesuatu yang lebih mendalam. Sebuah pengakuan, sebuah penjelasan yang telah lama ia tunggu.
...****************...
Yuki melangkah pelan, hatinya dipenuhi oleh perasaan campur aduk. Perintah dari Raja Bardhana yang disampaikan oleh prajuritnya membuatnya merasa resah. Raja yang ia baru saja ketahui memiliki hubungan masa lalu yang begitu dekat dengan ibunya, dan kini ingin berbicara dengannya secara pribadi. Meskipun rasa ingin tahunya besar, ada ketidakpastian yang menggantung di udara.
Ketika dia melewati lorong-lorong istana Pangeran Riana, Yuki merasa pandangan beberapa pelayan dan prajurit mengikuti setiap langkahnya. Mereka pasti tahu tentang perintah Raja Bardhana yang begitu tegas. Tidak ada yang berani menghalangi, bahkan Pangeran Riana pun tak punya hak untuk menahannya.
Yuki merapatkan mantel yang dikenakannya, rasa dingin merayap seiring perjalanan menuju taman tengah tempat Raja Bardhana menunggu. Apa yang akan Raja Bardhana katakan padanya? Kenangan tentang surat-surat ibunya, serta foto lama yang ditemukan, masih berputar dalam benaknya. Ibunya dulu mencintai Raja Bardhana, tapi kini semua terasa seperti cerita yang jauh dari jangkauan Yuki.
Ketika Yuki sampai di taman tengah. Dia menghentikan langkahnya.
Perasaan bergetar di dalam dirinya. Gazebo yang megah berdiri kokoh di hadapannya, dan di sana, Raja Bardhana berdiri, memandang langit seolah mencari jawaban dari sesuatu yang jauh di luar jangkauan.
Yuki tahu ia tak bisa mundur sekarang. Sosok Raja Bardhana yang dulu hanya ia kenal sebagai ayah Pangeran Riana kini terasa berbeda setelah ia mengetahui kisah masa lalu yang tersembunyi antara raja dan ibunya.
Yuki berlutut di sudut taman, memeluk lututnya dengan erat, tubuhnya bergetar bukan hanya karena dinginnya salju yang mulai turun, tetapi juga karena perasaan yang meluap-luap di dalam dadanya. Dia tidak sanggup melangkah lebih dekat, tidak sanggup menghadapi kenyataan yang baru saja terungkap dalam surat dari ibunya. Pikirannya berputar dengan cepat, penuh dengan kebingungan, rasa sakit, dan pertanyaan.
Butiran salju jatuh perlahan, menutupi bahu dan rambutnya, namun Yuki tidak bergerak. Jaraknya dari Raja Bardhana tidaklah jauh, namun terasa seperti dunia yang memisahkan mereka. Raja Bardhana masih menatap langit, tampak tak menyadari kehadiran Yuki di sana.
Waktu berlalu, keheningan taman hanya diisi dengan suara lembut salju yang turun. Hati Yuki terasa berat, dipenuhi keraguan apakah ia sanggup menghadapi pria yang mencintai ibunya namun juga menjadi penyebab perpisahan mereka. Perasaan campur aduk memenuhi dirinya—antara kemarahan, ketakutan, dan kerinduan untuk mendapatkan jawaban.
Namun, Yuki tetap duduk, membiarkan salju perlahan menutupinya. Dia tidak siap untuk menghadapi Raja Bardhana.
Entah berapa lama Yuki berada disana. Sampai ketika sebuah mantel di sampirkan ke bahunya. Ketika Dia mendongak. Raja Bardhana membungkuk menyelimuti Yuki.
Ternyata Raja Bardhana berjalan mencari Yuki yang tidak kunjung datang dan menemukan gadis itu meringkuk di sudut taman.
Yuki menggigit bibirnya, menahan isakan yang mulai mengguncang tubuhnya. Raja Bardhana, yang begitu dekat sekarang, menyelimuti Yuki dengan mantel di pundaknya, melindungi Yuki dari dinginnya salju yang terus turun. “Disini dingin,” ucapnya pelan, suaranya sarat dengan perhatian dan sesuatu yang lebih dalam—penyesalan, mungkin.
Yuki tidak bisa menahan air matanya lagi. Perlahan, butir-butir air mata mengalir di pipinya, menyatu dengan dinginnya salju yang mencair di wajahnya. Perasaan yang selama ini terpendam tumpah ruah dalam tangis yang tak bisa dia kendalikan.
Raja Bardhana hanya diam sejenak, menatap gadis yang menangis di depannya. Ada sesuatu yang hancur di balik sorot matanya, sebuah luka yang lama tersembunyi di balik penampilannya yang kuat. Dia kemudian duduk di sebelah Yuki, membiarkan keheningan yang berat mengisi udara di antara mereka.
“Maafkan aku, Yuki,” katanya akhirnya, suaranya berat. “Aku tahu, banyak yang tidak bisa kuperbaiki. Dan mungkin terlalu banyak yang sudah kusesali. Tapi aku tidak pernah berhenti memikirkanmu, tentang ibumu… tentang semua yang telah kulakukan.”
Yuki tidak menjawab, hanya terisak, merasakan perih di dalam hatinya, namun juga kehangatan aneh yang menyelinap lewat mantel yang Raja Bardhana berikan. Sesaat, mereka berdua hanya duduk di sana, dalam kebisuan yang dingin namun penuh makna.