Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciuman Pagi
"Raina. Bagaimana keadaanmu?"
Suara Raksa mengalun lembut, seiring tangan yang mengusap rambut Raina dengan penuh kasih.
Melihat sang kakak hadir di hadapannya, Raina tak bisa menahan tangis. Lelaki itu amat sangat menyayanginya, berjuang keras demi dirinya, tetapi ... justru dia abaikan begitu saja, hanya demi orang lain yang jauh dari kata baik.
"Aku kehilangan dia, Kak. Tapi, aku kuat kok. Mungkin ... ini yang terbaik untuk dia." Raina mengusap perutnya, berpura-pura kehilangan anak demi bisa menumpahkan tangis tanpa menimbulkan curiga.
"Aku yang salah karena mengabaikan nasihat Kakak. Sakit dan luka ini, mungkin adalah cara untuk menebus kesalahan itu. Aku nggak mau melihat Kakak hancur karena kebodohanku, ya ... meski semua juga berawal dari Kakak. Tapi, apa yang bisa kulakukan sekarang selain bertahan? Kalaupun mengabaikan Kakak, aku juga nggak akan bisa kabur tanpa persetujuan Om Nero," batin Raina di tengah tangis yang tak kunjung berhenti.
Sebelum mengucap sepatah kata, Raksa lebih dulu menggenggam erat tangan Raina, memberikan dukungan dan kekuatan untuknya.
"Kenapa kamu bisa sampai keguguran? Apa Nero memperlakukan kamu dengan buruk?" tanya Raksa sesaat kemudian, sembari menatap lekat mata Raina.
"Ini bukan salah Om Nero, Kak."
"Kamu yakin?" Raksa masih tak percaya. "Katakan saja dengan jujur. Kalau memang dia bersikap buruk, jangan ditutup-tutupi. Ada Kakak di sini, nggak perlu takut," sambungnya.
Raina menggeleng. "Nggak ada yang aku tutup-tutupi, Kak. Om Nero memperlakukan aku dengan baik, Kakak nggak perlu khawatirin itu. Aku tadi jatuh di kamar mandi. Habis pakai air, lantainya basah, dan aku kepleset."
"Kamu ke kamar mandi sendirian?"
Raina mengangguk. "Om Nero baru pulang tadi, sekitar jam delapan baru tiba. Dia kayak lelah banget. Ya maklum, abis perjalanan panjang. Apalagi di sana juga sibuk banget. Aku nggak tega bangunin dia, Kak. Pikirku juga cuma ke kamar mandi, mana tahu kalau akhirnya akan begini."
Tak ada jawaban, sekadar embusan napas kasar yang keluar dari bibir Raksa.
"Om Nero sangat sibuk, Kak. Dia menyelesaikan banyak kerjaan agar nanti bisa hadir di pernikahan Kak Raksa di Jakarta. Aku kasihan jika terlalu banyak merepotkan dia. Kakak jangan terus berprasangka buruk. Om Nero itu baik banget, dia sayang sama aku," lanjut Raina, merangkai kebohongan lagi demi membuat kakaknya tenang, juga demi meredam emosi Nero.
"Bener, dia sebaik itu?" Raksa menelisik wajah Raina. Sayangnya tak menemukan secercah dusta di sana. Raina terlalu pintar dalam menyembunyikan kenyataan.
"Kalau dia nggak baik, mana mungkin sekarang berjaga di luar sana, padahal dia sendiri sedang capek."
Raksa terdiam. Meski sedikit sulit, tetapi berusaha percaya dengan semua yang dikatakan Raina.
"Gimana kata dokter tadi?" Setelah beberapa saat diam, Raksa kembali melayangkan pertanyaan.
"Udah dibersihkan. Tinggal menunggu pemulihan saja. Untuk sementara waktu ya masih dirawat di sini, kalau udah sehat baru boleh pulang," jawab Raina.
Raksa menatap ragu. Lusa dia harus terbang ke Jakarta untuk melangsungkan pernikahan di sana—di kediaman orang tua Anne. Meski itu hari yang dia tunggu-tunggu, tetapi melihat keadaan Raina sekarang, dia seolah tak tega meninggalkannya.
"Kak Raksa mikir apa?" Raina tersenyum. "Aku baik-baik aja kok. Kak Raksa pergi aja, kan udah ditetapkan hari nikahnya. Masa mau diundur?"
"Tapi ...."
"Ada Om Nero yang jagain aku."
Raksa menarik napas panjang. "Nanti biar Mama di sini juga, jagain kamu. Ini tadi masih tidur, aku sengaja nggak bangunin, takut kaget."
Raina mengangguk paham. Ibu mereka—Yeni, kesehatannya memang kurang stabil. Sakit jantungnya terkadang kambuh. Makanya Raksa tidak berani membangunkannya dini hari, khawatir nanti sakitnya malah kambuh.
"Ya sudah, kamu istirahat kalau gitu. Aku akan menunggu di luar," ujar Raksa setelah beberapa menit berlalu.
"Iya, Kak. Baik-baik ya dengan Om Nero, jangan berprasangka buruk terus."
Raksa tidak menjawab, berlalu begitu saja tanpa reaksi apa pun. Raina pula tak mengulang kalimatnya. Dia justru memejam sambil menggigit bibir ketika pintu ruangan sudah tertutup dan Raksa tak ada lagi di sana.
Senyum Raina hilang, berganti air mata yang kembali berderai. Sakit di perutnya sudah reda, pun dengan pusing dan nyeri di pinggang. Namun, sakit dan nyeri di dalam hati malah makin kuat mengimpitnya.
"Pantas saja aku nggak pernah merasa mual, nggak pernah ngidam, ternyata ... memang nggak pernah ada janin dalam perutku. Pantas juga nggak merasa sakit malam itu, karena memang nggak ada sesuatu yang terjadi." Raina membatin dengan perasaan miris. Rasanya percuma dia menempa pendidikan sampai kuliah semester lima, karena ternyata ... otaknya masih sebodoh itu.
_______
Keesokan paginya, Yeni datang sebelum matahari terbit sempurna. Wajahnya sama panik dengan wajah Raksa semalam. Bedanya, dia bersikap ramah dan lembut ketika berhadapan dengan Nero. Memang dalam pandangannya, Nero adalah lelaki bijak dan penyayang. Sangat pantas menjadi suami Raina.
"Maafkan saya, Ma, tidak bisa menjaga Raina dengan baik. Andai tadi malam saya tidak tertidur pulas dan menemaninya ke kamar mandi, semua ini tidak akan terjadi," ujar Nero dengan kepala yang tertunduk, seolah sangat menyesali apa yang menimpa Raina.
"Bukan salahmu, Nak. Yang namanya musibah bisa datang kapan saja. Mama yakin, sebenarnya kamu sudah menjaga Raina dengan baik," jawab Yeni sembari menepuk pelan bahu Nero.
Tanpa sepengetahuan Yeni, lelaki itu mengepal sesaat. Dia teringat dengan masa lalunya. Sejak kecil sampai beranjak dewasa, dia belum pernah merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Mana pernah wanita yang dia panggil mama bersikap selembut mertuanya. Setiap kali berucap selalu dengan bentakan, disertai pelototan tajam dan terkadang juga tamparan. Sangat menyesakkan.
"Mama boleh masuk?"
Pertanyaan Yeni membuyarkan lamunan Nero. Lantas, dengan cepat dia menatap mertuanya dan menyunggingkan senyum lebar.
"Tentu saja, Ma, ayo kuantar," ujar Nero sambil membimbing Yeni memasuki ruangan di mana Raina dirawat. Keduanya meninggalkan Raksa yang masih duduk diam di kursi tunggu.
"Mama datang." Nero menghampiri Raina, berkata dengan lembut seolah Raina adalah wanita yang memang dia cintai.
"Bagaimana keadaanmu, Sayang?" Yeni mendekap tangan Raina, lantas mengusap kening dan puncak kepalanya.
Dalam beberapa saat, ibu dan anak itu terlibat obrolan yang sendu. Sementara Nero, duduk di samping Raina seraya menggenggam erat jemarinya.
Bodohnya, hati Raina berdebar-debar. Padahal, dia tahu jelas bahwa sikap itu pura-pura belaka.
"Nak Nero, kamu sudah menjaga Raina dari semalam. Padahal katanya, kamu baru pulang dari London. Pasti capek, kan? Kalau sekarang mau istirahat, nggak apa-apa, Nak, istirahat saja. Biar Mama yang menjaga Raina," ucap Yeni sambil menatap Nero.
"Selagi Mama ada di sini, saya cuma mau pulang mandi, Ma. Semalam tidak sempat mandi, rasanya kurang nyaman," jawab Nero.
"Ya sudah, kalau begitu mandi dulu, Nak, sekalian makan."
"Baik, Ma." Nero tersenyum. Kemudian beralih menatap Raina. "Mau sesuatu, tidak? Nanti sekalian kubelikan?" tawarnya.
Raina menggeleng. "Nggak usah, Om."
"Baiklah kalau begitu. Aku pulang dulu ya, nanti secepatnya ke sini lagi." Nero bangkit dan membungkuk, kemudian mendaratkan ciuman yang cukup lama di kening Raina.
"Ma, titip Raina ya," ucapnya sambil melangkah pergi.
Yeni menyahut tanpa merasa curiga. Sementara Raina mematung dalam beberapa saat lamanya. Ciuman itu ... hangat dan lembut. Bahkan, sampai Nero pergi pun hangatnya masih terasa.
"Sadar, Raina, ini hanya pura-pura," batin Raina dengan perasaan yang kian sesak. Seakan-akan ada benda berat yang menghantam dada dan mengimpit rongga napas.
Sangat sakit!
Bersambung...