Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Kembali
Sepanjang jalan, Maya hanya membisu. Duduk bersandar dengan mata terpejam. Keputusan tiba-tiba yang ia harus ambil sore tadi, membuatnya berada dalam mobil bersama Ansel.
Pria yang duduk dibalik kemudi, berjanji akan membantunya menjalankan usaha baru dikota. Tempat, yang mana ia sudah berpamitan untuk pergi jauh. Namun, pada akhirnya ia kembali lagi.
Sebelum pergi, beberapa karyawan yang dipekerjakan Ansel sudah tiba. Maya sempat memberikan banyak instruksi. Mengenai bahan makanan, ia sudah meminta nelayan untuk menjadi suplier. Bahan lainnya, akan dibawa dari kota.
Ansel juga turut memberikan informasi, mengenai kerjasama catering untuk para pekerja. Sarapan dan makan siang. Karena, pekerja akan pulang saat sore menjelang.
"Jika seseorang bertanya, katakan kedai ini milikku sebagai sampingan," pesan Ansel kepada pelayan yang bertugas sebagai penanggung jawab. "Jangan katakan apapun tentang Maya, mengerti. Jika ada yang menanyakannya, cukup katakan, istriku sedang hamil dan tidak bisa bekerja."
"Hah?"
"Sudah, jangan banyak banyak tanya. Kerjakan sesuai yang aku katakan."
"Baik, Tuan."
Ansel juga memperingatkan pelayan lainnya, agar tidak membicarakan tentang Maya. Ia juga berpesan, selama bekerja untuk tidak membicarakan mereka berdua. Bagi Ansel, telinga dan mata, bukan hanya satu tapi banyak. Begitu juga mulut dan lidah.
Maya hanya membawa pakaian, buku dan tak lupa susu dan vitaminnya. Ia masih memiliki banyak simpanan, untuk modal memulai usaha. Seperti yang sudah ia pikirkan sebelumnya. Usaha yang di mulai dari hal kecil. Ia akan membuka warung makan, mungkin untuk kalangan menengah kebawah.
Warung makan, seperti usaha kedai miliknya. Kecil, namun masih memberikan keuntungan, meski tidak banyak. Tapi, paling tidak, ia kembali modal dan uangnya dapat berputar.
Usia kehamilannya sudah memasuki dua bulan. Ia harus memiliki pemasukan dari usahanya, sebelum melahirkan. Akan banyak pengeluaran, dan dia pasti butuh istirahat untuk memulihkan diri.
Buku catatannya, hampir penuh. Semua diisi dengan pengeluaran nantinya. Mulai pakaian bayi, peralatan mandi hingga biaya persalinan. Ia juga mencatat, tentang dana darurat untuk pemeriksaan kesehatan.
"May, ayo. Sebelum, terlalu gelap," ajak Ansel, yang sudah membuka pintu mobil.
Maya mengangguk, tersenyum pada karyawan barunya, sebagai tanda berpamitan. Ia melambaikan tangan, sampai akhirnya keluar dari gerbang.
"Jangan khawatir. Mereka sudah pernah bekerja di restoran besar, sebelumnya. Awal bulan, aku akan mengantar mu untuk datang, sekalian memberikan mereka gaji."
"Terima kasih, El. Aku sudah banyak merepotkan mu."
"Kita teman, May. Aku hanya ingin kau bangkit dan jangan menoleh ke belakang lagi."
Kendaraan, sudah menjauh dari kawasan pantai. Kini mereka, melintasi jalanan yang tampak sepi dan gelap, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Ansel memutar musik, agar tidak terlalu hening. Padahal, mereka berdua dalam mobil.
Kenapa kau harus bersembunyi, May? Kau tidak bersalah, kenapa kau yang harus lari?
Aku memang tidak bersalah, tapi aku tidak mampu menghadapinya. Bertemu dengannya, akan membuatku goyah dan kembali menangis seperti dulu.
Seperti kata Ansel, aku sudah terlanjur menghilang, maka biarlah tetap seperti itu. Biar kami saling melupakan dan menganggap mati satu sama lain.
"Kau lapar?" Ansel memecah suasana, saat Maya terbangun.
"Tidak. Aku hanya lelah."
"Tidurlah. Aku akan membangunkanmu kalau sampai."
"Disana, aku akan tinggal dimana?"
"Aku sudah menyiapkan tempat tinggal untuk sementara. Kau hanya perlu fokus pada ide-ide brilliant dan kehamilanmu."
Maya menarik bibirnya keatas, lalu menatap keluar. Gelap dan sunyi, tampak menyeramkan. Hanya ada pepohonan dan rumput, sepanjang jalan, tanpa adanya penerang.
"Aku sudah berpamitan, akan pergi jauh. Ternyata, aku malah kembali lagi."
"Takdir, kau tidak bisa menebaknya, May. Kita bisa pergi sejauh mungkin, tapi takdir akan membawamu kembali. Tapi, boleh aku tahu, kau berpamitan pada siapa?"
"Aku berpamitan pada keadaan, pada langit dan pada makam orang tuaku."
Nyesek, namun Maya tidak menangis. Ia perlahan sudah menerima nasibnya. Semakin ditangisi, semakin ia tidak menerima, dan semakin sulit ia menjalani hidup.
"Maaf. Aku tidak tahu, kau sendirian."
"Itulah mengapa, aku putus asa. Sendiri dengan beban berat, rasanya ingin mati. Kau tidak punya siapa-siapa untuk bercerita, meminta nasehat atau saran. Atau sekedar, menangis dipundaknya."
"Kau punya aku, sekarang. Kau bisa bercerita, menangis dan meminta nasehat. Aku juga bisa memarahimu."
Suasana sedikit mencair, dengan tawa keduanya. Ansel tipe pria humoris, dewasa dan juga penyayang. Padahal, mereka baru bertemu, namun sosoknya sudah seperti keluarga bagi Maya.
"Terima kasih, sudah mau menjadi temanku." Maya menepuk dengan lembut, bahu Ansel. "Aku sudah bertekad, untuk bertahan dan menjalaninya. Terima kasih, berkatmu aku mampu menatap langit."
"Aku senang mendengarnya. Jangan pernah sungkan lagi, May. Apalagi, membahas tentang utang budi. Kita manusia dan tentang kebaikan, Tuhan yang akan membalasnya."
"Terima kasih. Meski begitu, aku akan tetap membalas kebaikanmu."
Ansel mengacak rambut Maya, sebagai jawaban. Ia tidak butuh balasan, untuk semua kebaikannya. Ia hanya butuh, gadis itu berdiri disampingnya, dengan tegak. Pertemuan mereka yang tidak disengaja, dianggap Ansel sebagai takdir. Entah jodoh atau teman, biar Tuhan yang memutuskan. Toh, keduanya tidak dapat mereka cegah.
Suasana kembali hening, hanya suara musik dengan volume kecil yang terdengar. Maya terlelap, tanpa bisa ia tahan. Sementara, Ansel menyetir dengan fokus.
Hampir dua jam, mereka tiba di apartemen. Ansel mengangkat tubuh Maya, masuk dalam lift. Sementara barang-barang, diambil oleh pelayan yang menunggu kedatangan mereka.
"Tidurlah, May. Esok hari akan lebih baik, dari hari ini." Ansel membelai rambut Maya. Ada dorongan, untuk mencium kening, gadis yang terlelap didepannya. Alis hitam dan rapi, bulu mata yang lentik, serta wajah putih bersinar. Satu paket komplit, untuk mengukur kecantikan Maya.
Satu kesadaran, membuat Ansel mundur dan turun dari tempat tidur. Meski, ada benih yang mulai tumbuh. Tapi, ia tidak boleh terburu-buru. Luka hati Maya, masih belum sembuh.
"Tuan, barang-barang ini, bagaimana?"
"Letakkan saja. Aku akan mengaturnya nanti."
"Baik, Tuan. Saya permisi. Besok pagi, bibi akan datang membersihkan dan memasak. Tempat yang ada minta, sudah selesai didekorasi."
"Baiklah. Terima kasih."
"Sama-sama, Tuan."
Ansel berkeliling ruangan, memperhatikan barang-barang satu persatu. Dari sofa dan TV diruang tengah hingga peralatan masak didapur. Tak lupa, ia mengecek bahan makanan dan isi kulkas. Semuanya siap, sesuai yang ia harapkan.
Karena hari ini, pertama buat Maya tidur di apartemen. Jadi, Ansel berpikir untuk menemaninya. Kamar sebelah, akan menjadi untuknya. Ia tidak mau, meninggalkan gadis itu sendirian dan dalam keadaan tidur.
Karena belum waktunya tidur, Ansel memilih menyiapkan makan malam. Maya, mungkin akan kelaparan saat bangun.
Sepiring pasta dengan daging cincang sebagai topingnya. Tak lupa, irisan buah untuk si ibu hamil.
🍋Bersambung
karya yg sungguh bagus.
sebagai orangtua memang hrs bijak menyikapi pilihan anak
tidak seperti ibunya Za dan ibunya Sandra
tanpa mrk sadari, kedua orgtua tsb sdh merusak mental dan karakter anak
sy Tidak menyalakan sepenuhnya Za
mungkin klw kita berada diposisi Za akan mengalami hal yg sama
Buat May,hrs juga bijaksana,dan mengalahkan ego
di bab ini sy suka peran Kel.dr.Ansel.
Terimakasih Thor,sy suka dgn karyamu
banyak pesan moral yg Thor sampaikan.
Terimakasih.👍👍❤️