Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.
Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Kehidupan Baru
Belle menatap layar ponselnya lagi. Dia berpikir untuk membalas pesan itu, tapi sesuatu menahannya.
"Apa yang sebenarnya aku inginkan?" gumam Belle pada dirinya sendiri. Namun, sebelum ia sempat memutuskan, ponselnya berbunyi lagi kali ini sebuah panggilan dari Alfie, pegawai ayahnya.
"Belle, semua sudah siap untuk keberangkatanmu ke sekolah barumu besok," ujar Alfie tanpa basa-basi begitu Belle mengangkat telepon. "Ayahmu ingin memastikan kamu sudah siap."
Belle mengangguk meski Alfie tidak bisa melihatnya. "Iya, aku sudah siap," jawabnya singkat, berusaha menekan perasaan aneh yang semakin meresap dalam dirinya. Setelah menutup telepon, ia kembali menatap ponsel, pesan Draven masih terbuka.
Ia menarik napas panjang dan mengetik balasan.
"Aku baik-baik saja. Maaf, aku baru lihat pesanmu."
Ia menekan tombol kirim dan menutup ponselnya dengan hati yang masih dipenuhi rasa tidak menentu. Belle tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, baik dengan Draven maupun kehidupannya yang akan segera berubah di Jakarta. Tapi yang ia tahu, ia sedang berada di persimpangan antara masa lalunya yang penuh rahasia dan masa depannya yang penuh tanda tanya.
***
Keesokan harinya, Belle berdiri di depan cermin, memandangi seragam barunya. Seragam putih yang tampak rapi di tubuhnya tidak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa hatinya masih hancur. Di balik penampilan luar yang terlihat baik-baik saja, Belle masih berkabung atas kematian ibunya. Kesedihan itu terasa dalam setiap tarikan napas, tetapi Belle berusaha keras untuk menahannya, tidak ingin menunjukkan kelemahannya.
Belle menarik napas panjang, menata rambutnya dengan cepat, lalu mengambil tas sekolahnya yang sudah disiapkan. Pagi ini, ia akan menghadapi kenyataan baru sekolah baru, kehidupan baru di Jakarta, jauh dari segala hal yang pernah ia kenal.
Di lantai bawah, Alfie sudah menunggunya. Pegawai ayahnya itu tampak serius, berdiri di dekat mobil yang siap mengantarnya ke sekolah. Namun, Belle tidak ingin diperlakukan seperti itu tidak sekarang, ketika ia hanya ingin merasa normal, atau setidaknya berpura-pura bisa melakukannya sendiri.
"Aku bisa berangkat sendiri," ujar Belle tegas sambil menghampiri Alfie. "Aku akan naik taksi saja."
Alfie, yang tampaknya sudah mengantisipasi keberatan ini, menatapnya dengan pandangan penuh pengertian tapi tegas. "Maaf, nona, tapi itu tidak mungkin. Pak Markus mempekerjakan saya untuk menjaga dan melayani nona. Saya diminta untuk memastikan nona aman, dan itu termasuk antar jemput ke sekolah."
Belle menghela napas panjang, frustrasi dengan situasi yang ia hadapi. "Aku tidak perlu dijaga, aku bisa mengurus diriku sendiri, Alfie. Aku hanya ingin sedikit kebebasan."
Alfie menggeleng pelan. "Saya mengerti, nona. Tapi tolong mengerti posisi saya juga. Tugas saya adalah melindungi dan memastikan kenyamanan nona. Jika nona pergi tanpa saya, saya akan melanggar tanggung jawab saya kepada ayah nona."
Belle terdiam sejenak, mencoba memahami dari sudut pandang Alfie. Meskipun hatinya masih terbelah antara kesedihan dan kemarahan terhadap ayahnya, ia tidak ingin menyulitkan orang lain. Ia tahu Alfie hanya menjalankan tugasnya, dan menolaknya mungkin tidak akan mengubah apa-apa.
"Baiklah," Belle akhirnya menyerah, meski dengan nada lelah. "Tapi hanya kali ini. Besok aku akan pergi sendiri."
Alfie tersenyum kecil, tanda terima kasih atas pengertiannya. "Terima kasih, nona Belle."
Belle memasuki mobil dan duduk di kursi belakang, matanya memandang keluar jendela saat mobil mulai melaju. Jalan-jalan Jakarta yang sibuk dan penuh sesak terasa asing baginya. Ia sudah terbiasa dengan suasana Inggris yang lebih tenang dan teratur. Di sini, semuanya terasa lebih padat, lebih riuh, seolah-olah kota ini tidak pernah tidur.
Saat mobil melaju, pikirannya melayang kembali pada ibunya. Rasanya baru kemarin ia memeluk tubuh ibunya yang sudah dingin, dan kini, ia harus memulai hidup baru tanpa sosok yang selalu mendukungnya. Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi Belle segera mengusapnya. Ia tidak ingin menangis lagi—setidaknya, tidak di depan orang lain.
Sekolah baru Belle akhirnya tampak di kejauhan. Bangunan megah itu berdiri kokoh dengan suasana yang sama elitnya seperti sekolah lamanya di Inggris. Alfie memarkir mobil di depan pintu gerbang, dan Belle turun dengan langkah yang berat.
"Semoga hari pertama nona di sekolah berjalan lancar," ucap Alfie dengan nada tulus.
Belle hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih singkat sebelum berjalan menuju gerbang. Di setiap langkahnya, ia merasa seolah-olah membawa beban yang tak terlihat. Ada perasaan cemas yang menggelayuti hatinya tentang bagaimana ia akan menyesuaikan diri, bagaimana orang-orang akan menerimanya, dan apa yang akan terjadi ketika mereka mengetahui latar belakangnya.
Belle berjalan memasuki lingkungan sekolah, mencoba menata pikirannya agar tetap fokus pada satu hal: menjalani hari ini, satu langkah demi satu langkah.
Saat Belle melangkah melewati gerbang sekolah yang megah itu, ponselnya tiba-tiba bergetar di dalam tas. Dia menghela napas, meraih ponselnya dan membuka pesan yang baru saja masuk dari ayahnya.
"Belle, selamat untuk hari pertamamu di sekolah. Kamu sekarang bersekolah di tempat yang sama dengan anak-anak ayah yang lain. Ayah harap kamu bisa merasa nyaman di sana. Cuma ini yang bisa ayah berikan padamu saat ini."
Pesan itu membuat Belle terdiam. Rasanya dingin dan kosong, seperti ayahnya sedang mencoba menebus sesuatu yang tidak pernah bisa ia perbaiki dengan sekadar fasilitas. Kalimat terakhirnya, "cuma ini yang bisa ayah kasih," terdengar begitu jauh dan menyakitkan. Seolah-olah perhatian dan kasih sayang hanyalah barang langka yang tidak bisa diberikan oleh seorang pria seperti ayahnya.
Belle memandangi layar ponselnya sejenak, lalu mengunci layar dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Sebuah gelombang emosi yang sulit ia kendalikan merayap di dadanya kekecewaan, kesepian, dan marah. Bagaimana bisa ia merasa nyaman di sekolah yang sama dengan anak-anak dari keluarga ayahnya yang pertama? Mereka yang selama ini hidup di dalam bayangan sempurna, sementara dirinya tersembunyi seperti rahasia memalukan.
Langkah Belle melambat saat dia menatap gedung sekolah yang menjulang tinggi di depannya. Sekolah ini mungkin akan menjadi tempat yang sulit. Tidak hanya karena statusnya sebagai "anak yang tersembunyi," tapi juga karena ia harus memulai hidup baru di lingkungan yang sama sekali asing.
Sambil menarik napas dalam, Belle memutuskan untuk tidak membiarkan pesan itu menghancurkan semangatnya. Meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan dan kemarahan, Belle tahu bahwa ia harus mencoba bertahan. Bagaimanapun, ini adalah kehidupannya sekarang dan dia tidak bisa terus-menerus menjadi bayang-bayang dari kehidupan ayahnya yang lain. Dengan tekad baru, Belle melangkah lebih mantap menuju pintu masuk sekolah, bersiap menghadapi apa pun yang menantinya di sana.
serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️
ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..
contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.
jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam
atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.
intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus