Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Satu Tahun
"Mas.." cicit Hanung.
Tubuhnya menegang kala tangan Gus Zam memeluknya. Ia memang memeluk Gus Zam lebih dulu, tetapi untuk menenangkannya. Berbeda cerita saat ia dipeluk. Walaupun mereka adalah suami istri dan ini adalah kali kedua Gus Zam memeluknya, ia masih tak terbiasa.
"Mbak! Tidak sopan seperti itu di tempat umum!" seru seorang laki-laki yang menghentikan motornya di dekat Hanung dan Gus Zam.
"Maaf, Mas. Suami saya sedang tidak enak badan." Jawab Hanung sekenanya, disaat yang bersamaan tangan Gus Zam semakin mengerat disana.
"Kalau tidak enak badan itu pulang atau periksa! Jangan bermesraan seperti ini!"
"Iya, Mas. Maaf."
"Itu suaminya bisa berdiri tidak?" tanya laki-laki tersebut sambil melihat Gus Zam yang tidak bergerak.
"Bisa, Mas. Sebentar lagi, biarkan mengumpulkan tenaga dulu."
"Mari saya antarkan kerumah. Rumahnya dimana?" tanya laki-laki tersebut bersimpati.
"Terimakasih, Mas. Kami bisa pulang sendiri." tolak Hanung sopan.
"Baiklah. Lain kali kalau tidak sehat jangan dipaksa keluar rumah, Mbak! Buat orang salah paham saja!" setelah mengatakannya, laki-laki itu pun pergi meninggalkan Hanung dan Gus Zam.
"Mas.. Hanung tidak bisa nafas." bisik Hanung yang membuat Gus Zam segera melepaskan tangannya.
"Huh.." Hanung bernafas lega.
"Bagaimana perasaan Mas sekarang?" Gus Zam hanya menggeleng.
"Bisa jalan?" Gus Zam mengangguk.
Hanung berdiri lebih dulu, tetapi oleng karena kakinya kesemutan. Gus Zam dengan sigap menangkap tubuh Hanung.
"Maafkan aku.."
"Tidak apa, Mas. Cuma kesemutan." kata Hanung sambil meringis.
Setelah merasa baikan, Hanung menggandeng tangan Gus Zam dan berjalan kembali ke pesantren. Sampai di pesantren, pintu kediaman masih terbuka. Ternyata Pak Kyai dan Bu Nyai sudah menunggu mereka di ruang tamu.
"Dari mana?" tanya Bu Nyai.
"Assalamu'alaikum Abi, Umi." Hanung menyalami Pak Kyai dan Bu Nyai diikuti Gus Zam.
"Maaf Umi, Hanung yang meminta Gus Zam untuk menemani Hanung ke mini market." terang Hanung kemudian.
"Koperasi santri kan ada?"
"Tidak ada es krim disana, Umi."
"Bukankah perutmu kembung? Mengapa makan es krim malam-malam? Dan kenapa itu kemeja Adib?" Bu Nyai sedang mode keras.
"Baru saja tamu bulanan Hanung datang, Umi. Ini kemeja Gus Zam untuk menutupi." kata Hanung menunduk.
"Astagfirullah.. Kalian ini membuat kami khawatir! Untungnya Rahim laporan kalau kalian itu keluar. Kalau tidak, kami tidak tahu harus mencari kalian kemana!"
"Sudah, Umi. Mereka sudah kembali dan baik-baik saja, biarkan mereka beristirahat. Apalagi Hanung harus ganti pakaian." kata Pak Kyai menenangkan Bu Nyai.
"Ya sudah, kalian masuk. Lain kali jangan seperti ini! Umi takut kalian kenapa-kenapa."
"Maafkan Hanung, Umi." Hanung mencium punggung tangan Umi dan Abi sebelum pamit.
Gus Zam yang sedari tadi hanya diam, akhirnya bersuara.
"Maafkan Zam, Abi, Umi. Hanung tidak salah."
"Tak apa, masuklah." kata Pak Kyai.
Pak Kyai pun mengajak Bu Nyai untuk masuk kamar. Bu Nyai yang masih merasa dongkol pun berjalan sambil mengomel.
"Alhamdulillah.. Adib itu sudah ada perkembangan sejak ada Hanung. Mulai dari komunikasi sampai sudah berani keluar pesantren. Bahkan sudah bisa membela istrinya!"
"Umi senang tidak Adib seperti itu?"
"Ya senang lah, Bi!"
"Lalu apa yang membuat Umi kesal sekarang?" Bu Nyai menghentikan langkah beliau.
"Kesalnya Umi itu karena mereka pergi tanpa pamit!" Pak Kyai hanya tertawa kecil.
Tak bisa dipungkiri, perubahan Gus Zam benar-benar pesat dimata mereka yang sehari-hari hanya mendapatkan anggukan atau gelengan. Gus Zam yang nyaman berada dikamar bahkan keluar ke minimarket yang jaraknya sekitar 100 meter dari pesantren. Walaupun Bu Nyai kesal, dalam hati beliau tetap bersyukur atas kemajuan Gus Zam.
Sementara itu, Hanung yang berada di dalam kamar mandi menepuk dahinya. Ia buru-buru masuk ke dalam kamar mandi sampai lupa membawa pakaiannya. Kini ia bingung bagaimana cara ia keluar. Setelah selesai mengucek pakaiannya seadanya, Hanung pun memutuskan untuk meminta bantuan Gus Zam.
"Minta tolong pada suami tidak dosa kan, ya?" gumamnya.
"Mas Zam disitu?" tanya Hanung dengan membuka pintu kamar mandi sedikit.
"Ya. Kenapa Hanung?" tanya Gus Zam mendekat.
"Bisa minta tolong ambilkan pakaian ganti? Hanung lup.." Hanung menghentikan kalimatnya karena Gus Zam sudah menyodorkan pakaian ganti untuknya.
"Terima kasih, Mas." Hanung memiringkan tubuhnya untuk menerimanya.
"Ehm.. pembalut nya ketinggalan, Mas." cicit Hanung.
Gus Zam berjalan ke meja dimana Hanung meletakkan kantong belanjanya.
"Ada lagi?"
"Tidak, terimakasih." Hanung menutup kembali pintu kamar mandinya.
Gus Zam kembali ke sofa dengan tersenyum. Ia yang melihat Hanung buru-buru ke kamarmandi tadi, segera menyiapkan pakaian ganti karena ia melihat kemejanya pun terkena darah. Tidak mungkin istrinya akan keluar dengan keadaan masih kotor karena kamar ini mereka gunakan untuk sholat bersama. Benar saja dugaan Gus Zam.
"Terimakasih, Mas. Maaf merepotkan." kata Hanung yang menghampiri Gus Zam.
"Aku sholat dulu, tadi belum isya'." Gus Zam pun ke kamar mandi.
Sambil menunggu Gus Zam, Hanung membaca buku yang ia bawa dari rumah. Buku biografi yang akhir-akhir ini menarik minatnya. Beberapa tokoh yang menginspirasi, memberikan kesan tersendiri untuk Hanung yang sedari dulu suka membaca.
"Kenapa tidak tidur?" tanya Gus Zam yang sudah selesai.
"Menunggu Mas selesai." Hanung tersenyum dan meletakkan buku di nakas.
"Bagaimana perasaan Mas sekarang?"
"Baik."
"Alhamdulillah.." Hanung tersenyum dan menarik Gus Zam untuk naik ke tempat tidur.
"Tapi, bagaimana jika tak ada kamu disini?" tanya Gus Zam ragu.
"Maafkan aku, Mas. Aku tak memikirkannya sampai sini saat membuat keputusan. Aku kira dengan pernikahan kita yang cepat, kita masih memiliki waktu untuk saling mengenal walaupun jarak jauh. Maka dari itu, aku menyanggupi permintaan Ibu agar tidak menimbulkan masalah untuk Ibu Jam dan juga keluargamu, Mas. Tetapi sekarang aku menyesalinya karena ternyata pernikahan ini memberikan warna baru." kata Hanung.
"Aku harus bagaimana?" tanya Gus Zam sambil merapikan anak rambut Hanung.
"Kita jalani saja dulu ya, Mas? Untuk sementara saja."
"Berapa lama?"
"Aku juga tidak tahu, Mas. Aku belum tahu keadaan disana. Beri aku waktu paling lambat satu tahun. Jika bisa lebih cepat, akan lebih baik."
"Satu tahun, tidak boleh lebih!" Hanung mengangguk dengan senyuman, membuat Gus Zam kembali merapikan anak rambutnya.
Gus Zam berhenti saat melihat ada tahi lalat di pelipis Hanung. Saat Hanung berhijab, keberadaan tahi lalat itu tidak terlihat. Kini tatapan keduanya bertemu, baik Hanung maupun Gus Zam seperti merasakan gejolak di hati mereka. Tetapi karena mereka sama-sama tak mengerti, mereka tak tahu apa yang mereka rasakan saat ini.