Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebohongan
Malam itu, Ezra dan Nadia memasuki sebuah klub malam di Jakarta Selatan. Musik berdentum kencang, lampu neon berkedip-kedip, dan orang-orang bergerak mengikuti irama. Meskipun suasana ramai dan menyenangkan, pikiran Ezra masih dipenuhi dengan kekhawatiran tentang Lily. Ia ingin sejenak melupakan beban pikirannya, tetapi takdir sepertinya punya rencana lain.
Saat berjalan melewati kerumunan, mata Ezra tiba-tiba tertumbuk pada sosok yang familiar. Dia berhenti sejenak, mengerutkan kening untuk memastikan pandangannya tidak salah.
“Radit? Bukannya itu pacarnya Lily?” gumam Ezra pelan, matanya masih tertuju pada pria yang duduk di sudut ruangan dengan seorang wanita yang juga terlihat familier.
Nadia, yang berada di sebelahnya, mendengar gumaman itu dan mengikutkan tatapannya ke arah yang sama. “Eh, itu Imel,” katanya tiba-tiba.
“Imel?” Ezra bertanya, bingung. “Siapa dia?”
Nadia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Imel sekarang jadi wanita panggilan. Aku dengar dia sering ke klub ini untuk kerja. Kayaknya cowok yang sama dia sekarang pelanggan. Kamu kenal dia?”
Ezra terkejut mendengar informasi itu. Ia menatap lebih seksama dan memang, wanita yang bersama Radit adalah Imel. Namun, yang membuat Ezra lebih terkejut adalah kenyataan bahwa Radit, pacar Lily, terlihat sangat nyaman dengan wanita lain di klub malam. Hati Ezra mendadak panas. Melihat bagaimana Radit begitu santai bersenang-senang sementara Lily, yang mencintainya sepenuh hati, berada dalam kegelapan, membuat amarah Ezra memuncak. Tanpa berpikir panjang, ia merogoh ponselnya dan memotret Radit bersama Imel. Foto itu akan menjadi bukti yang tak terbantahkan.
"Nadia, kita pulang aja," Ezra tiba-tiba berkata, mencoba meredam emosinya. "Kayaknya aku lagi nggak enak badan."
Nadia tampak bingung dengan perubahan sikap Ezra yang mendadak. “Kamu sakit?” tanyanya, memegang lengan Ezra dengan kekhawatiran.
Ezra mengangguk singkat, mencari alasan agar bisa segera keluar dari tempat itu. "Iya, sedikit pusing. Mungkin udara di sini terlalu pengap buat aku."
Nadia mengerti dan tidak banyak bertanya lagi. Mereka berdua pun keluar dari klub dan segera menuju mobil. Di perjalanan pulang, Ezra diam, matanya terus menatap lurus ke depan, sementara otaknya terus berpikir tentang langkah apa yang harus ia ambil selanjutnya.
***
Setelah mengantar Nadia pulang, Ezra langsung kembali ke rumah dengan perasaan berat. Ia duduk di kamarnya sambil memandang foto yang baru saja ia ambil di klub tadi. Pikirannya berputar-putar. Di satu sisi, ia ingin segera menunjukkan foto itu kepada Lily agar dia sadar siapa sebenarnya Radit. Namun di sisi lain, ia khawatir foto itu akan menghancurkan hati Lily.
Ezra menghela napas panjang. “Aku harus melakukannya,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. “Lily pantas tahu kebenarannya.”
Pikirannya terus bergejolak sepanjang malam. Ia tahu bahwa keputusannya untuk menunjukkan foto itu pada Lily tidak akan mudah. Namun, Ezra yakin bahwa ia harus melindungi Lily, meskipun itu berarti menghancurkan hubungannya dengan Radit.
***
Keesokan harinya, Ezra berusaha mencari waktu yang tepat untuk bicara dengan Lily. Namun, pagi itu terasa lebih lambat dari biasanya. Setiap kali Ezra mencoba mendekati Lily, Melisa selalu ada di sekitar mereka, membuat Ezra merasa sulit untuk membawa topik yang begitu berat ini.
Sore harinya, saat Melisa sedang pergi keluar dengan teman-temannya, Ezra melihat ini sebagai kesempatan yang tepat. Ezra berkunjung ke rumah Lily, keluarga Lily dan ezra sudah seperti keluarga, sehingga ezra sering keluar masuk rumah Lily, Ia mengetuk pintu kamar Lily dengan hati-hati.
"Lily, boleh aku masuk?" tanyanya.
Lily yang sedang duduk di meja belajarnya, menoleh ke arah Ezra dengan senyuman kecil. “Tentu, Kak. Ada apa?”
Ezra masuk dan menutup pintu pelan-pelan. Dia duduk di ujung tempat tidur Lily, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk memulai percakapan.
"Aku perlu bicara sama kamu, Lily. Ini penting," kata Ezra serius, tatapannya lurus ke arah Lily.
Lily yang awalnya tampak tenang, tiba-tiba merasa ada yang tidak beres dari nada bicara Ezra. “Ada apa, Kak? Kenapa serius banget?”
Ezra menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkan ponselnya. Dengan perlahan, ia memperlihatkan foto yang diambilnya malam itu Radit bersama Imel di klub.
"Ini... Radit. Aku ketemu dia di klub tadi malam. Dan cewek yang bersamanya itu, Imel, wanita panggilan," Ezra menjelaskan dengan hati-hati, takut reaksi Lily akan meledak.
Lily membeku. Matanya terpaku pada foto di ponsel Ezra, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Radit... di klub... sama Imel?” suaranya bergetar, penuh ketidakpercayaan dan kesedihan.
Ezra mengangguk, merasa berat untuk melanjutkan, tapi ia tahu ini adalah kebenaran yang harus disampaikan. “Aku nggak tahu sejak kapan ini terjadi, tapi kamu harus tahu siapa sebenarnya Radit.”
Air mata mulai menggenang di mata Lily. Hatinya hancur berkeping-keping. Radit, orang yang selama ini ia cintai dan percayai, ternyata tidak setia. Lily menutup wajahnya dengan kedua tangan, tangisnya pecah.
Ezra merasa bersalah melihat Lily menangis, tetapi ia tahu ini adalah jalan yang harus ditempuh agar Lily bisa keluar dari hubungan yang merugikan. "Lily, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu, tapi aku nggak bisa diam aja melihat kamu terus dimanfaatin."
Lily tidak bisa berkata apa-apa. Perasaannya campur aduk antara cinta, marah, dan sakit hati. Dalam hatinya, ia tahu bahwa Ezra hanya ingin melindunginya, tapi rasa sakit yang datang dari pengkhianatan Radit terlalu dalam.
"Aku... aku nggak tahu harus gimana sekarang, Kak..." isak Lily pelan.
Ezra berdiri dan mendekati Lily, merangkulnya dengan lembut. "Kamu kuat, Lil. Kamu nggak butuh seseorang yang cuma mau manfaatin kamu. Kamu pantas dapat yang lebih baik." Dalam pelukan Ezra, Lily merasa sedikit tenang. Namun, hatinya masih terbelah. Apakah ia harus tetap mempertahankan Radit meski telah mengetahui kebenaran ini, ataukah ia harus melepaskan dan menyembuhkan hatinya?
Malam itu, untuk pertama kalinya, Lily merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, Ezra adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli padanya.
***
Setelah semalaman berpikir, Lily bangun dengan perasaan yang berat. Kepalanya penuh dengan ingatan tentang Radit dan bagaimana ia selama ini dibutakan oleh cinta. Foto yang Ezra tunjukkan terus membayang di pikirannya, menghancurkan segala harapan dan kepercayaan yang pernah ia berikan kepada Radit.
Lily tahu bahwa ia harus mengambil keputusan yang sulit. Radit telah memanfaatkan dan mengkhianatinya. Namun, meski begitu, hatinya masih berat untuk melepaskan. Dia benar-benar mencintai Radit, atau setidaknya, dia pernah berpikir begitu. Tapi kini, kenyataan sudah terungkap, dan ia tak bisa lagi mengabaikan fakta bahwa hubungannya dengan Radit penuh kebohongan.
Setelah menghabiskan pagi dalam keheningan, Lily akhirnya mengirim pesan kepada Radit, meminta untuk bertemu di kafe dekat kampus. Radit, yang tidak menyadari apa yang sedang terjadi, membalas dengan cepat dan setuju untuk bertemu di sore hari.
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪