Diceritakan seorang pemulung bernama Jengkok bersama istrinya bernama Slumbat, dan anak mereka yang masih kecil bernama Gobed. Keluarga itu sudah bertahun-tahun hidup miskin dan menderita, mereka ingin hidup bahagia dengan memiliki uang banyak dan menjadi orang kaya serta seolah-olah dunia ini ingin mereka miliki, dengan apapun caranya yang penting bisa mereka wujudkan.
Yuk simak ceritanya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beli HP Android Baru
Setelah menghitung hasil penjualan yang terus meningkat setiap harinya, Pak Jengkok dan Bu Slumbat merasa puas. Warung kecil yang dulu hanya bermodalkan nekat di teras rumah kini berkembang pesat. Pelanggan setia semakin banyak, bahkan para tetangga yang dulu hanya memandang sebelah mata kini malah sering mampir sekadar membeli gorengan atau menikmati rendang andalan Bu Slumbat.
Di tengah suasana santai malam itu, setelah selesai menghitung uang hasil penjualan hari itu, Pak Jengkok dengan penuh semangat menyuarakan rencana baru.
“Alhamdulillah, mah, omset kita makin mantap! Kayaknya kalau begini terus, kita bisa buka cabang di mall atau pasar ya, biar makin luas jangkauan pelanggan kita,” ucap Pak Jengkok sambil membayangkan betapa megahnya warung cabang mereka di tengah pusat perbelanjaan.
Namun, Bu Slumbat yang sedang menyapu teras, hanya menoleh dengan ekspresi setengah tak percaya. “Buka cabang? Jangan buru-buru dulu, Pak! Lihat deh hp kita aja masih jadul, sinyal sering putus-putus, apalagi buat buka warung di mall! Yuk kita ganti hp dulu, biar agak gaul dikit. Masa pemilik warung sukses hp-nya masih Nokia 3310?”
Pak Jengkok terdiam sesaat, lalu meledak tertawa. “Ya ampun, mah, kok ya ingetnya hp! Tapi bener juga, nih hp jadul kadang susah buat buka WhatsApp. Mau pesen barang ke supplier aja harus SMS kayak jaman dulu, padahal mereka udah pakai aplikasi online semua.”
Bu Slumbat menepuk dahi suaminya. “Itulah, Pak! Kita udah sukses, warung ramai, duitnya udah ada, tapi hp kita malah kayak barang antik. Kapan kita bisa chat sama pelanggan yang mau pesan online? Malu dong sama geng motor Udin, mereka aja hp-nya udah Android semua.”
Mendengar nama Udin, Pak Jengkok kembali tertawa keras. “Wah iya, bener juga, Din kecil itu yang baru kelas 3 SD udah punya Android! Padahal belinya juga belum jelas darimana duitnya.”
Dengan nada sedikit berkelakar, Bu Slumbat menambahkan, “Nanti Udin bisa-bisa nge-japri kita, ‘Pak Jengkok, pesen satu porsi rendang buat geng motor, bayar pakai e-wallet ya.’ Terus kita bingung mau balasnya gimana, hp jadul kan nggak ada e-wallet-nya.”
Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal membayangkan situasi itu. Suasana yang semula serius soal bisnis tiba-tiba berubah jadi lucu karena bayangan komunikasi aneh antara mereka dan Udin yang sudah lebih canggih soal teknologi.
“Aduh, mah,” kata Pak Jengkok setelah tawanya mereda, “tapi bener juga, ya. Sekarang zaman digital, warung kita kan udah maju, masa iya kita masih berkutat sama SMS dan telepon suara. Nggak bisa dong, pelanggan jaman sekarang maunya serba cepat. Oke, besok kita jalan-jalan cari hp Android yang bagus, biar kita bisa jualan online juga!”
Bu Slumbat tersenyum puas. “Nah, itu baru suamiku! Jangan terlalu buru-buru soal cabang, yang penting kita ikuti dulu perkembangan zaman. Warung kita udah keren, rumah udah bagus, masa alat komunikasi kita ketinggalan zaman?”
Pak Jengkok mengangguk setuju. “Bener, bener. Tapi mah, jangan sampai kita terlalu gaul sampai lupa sama ciri khas kita ya. Nanti malah kita berdua sibuk bikin TikTok sambil masak rendang!”
Bu Slumbat tertawa keras. “Waduh, jangan sampai dong! Kita ini jago masak, bukan jago joget. Kalau kita joget sambil masak, rendangnya bisa gosong nanti!”
Mereka berdua tertawa lagi. Sambil bersantai di teras yang sudah direnovasi dengan megah, pasangan itu merasa bangga dengan pencapaian mereka. Dari hanya memulung di bawah terik matahari, kini mereka punya usaha yang berkembang pesat dan rumah yang jauh lebih layak. Namun, meskipun sudah sukses, mereka tetap merendah, penuh tawa dan tidak lupa untuk bersyukur.
“Besok kita beli hp yang bisa buat foto-foto juga ya, Pak,” kata Bu Slumbat sambil duduk di sebelah suaminya. “Biar bisa kita foto rendang kita, siapa tahu bisa viral.”
Pak Jengkok tersenyum lebar. “Betul banget, mah. Siapa tahu nanti warung kita jadi warung kekinian yang viral di Instagram. Tapi inget, mah, nggak usah kebanyakan filter ya, biar rendangnya tetep keliatan aslinya.”
“Kebanyakan filter nanti rendangnya malah keliatan kayak coklat, Pak!” jawab Bu Slumbat sambil tertawa geli.
Malam itu mereka berdua terus berbincang, membayangkan masa depan yang cerah dengan warung yang lebih modern tapi tetap mempertahankan rasa dan kehangatan keluarga. Di tengah tawa dan canda, mereka tak lupa untuk tetap bersyukur atas semua yang telah mereka raih.
Dan besok pagi, siapa tahu, mereka benar-benar siap jadi pebisnis sukses dengan hp baru, yang bukan cuma sekadar alat komunikasi, tapi juga langkah baru menuju usaha yang lebih besar.
Keesokan harinya, keluarga Pak Jengkok bangun pagi dengan semangat yang berbeda. Setelah kesuksesan warung mereka dan renovasi rumah yang selesai, hari ini mereka berencana untuk melakukan hal yang sudah lama diimpikan—membeli hp Android baru. Bukan hanya satu, tapi tiga sekaligus. Pak Jengkok, Bu Slumbat, dan Gobed akan memiliki hp baru mereka sendiri. Pilihan mereka jatuh pada Xiaomi Redmi 7A, hp yang menurut banyak orang cukup canggih dengan harga yang terjangkau.
Setelah sarapan pagi yang sederhana, mereka bertiga berangkat ke toko elektronik di kota. Gobed tampak bersemangat, berjalan di depan dengan senyum lebar, sementara Pak Jengkok dan Bu Slumbat berjalan di belakang, tangan mereka saling menggenggam erat. Ada rasa haru yang diam-diam menyelimuti hati mereka. Siapa sangka, dulu mereka hidup susah, bahkan membeli makanan untuk sehari-hari saja terasa berat. Kini, mereka mampu membeli tiga hp sekaligus, sesuatu yang bagi mereka dulunya hanya mimpi.
Di toko, penjaga toko menyambut mereka dengan ramah. "Selamat pagi, Pak, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"
Pak Jengkok tersenyum sedikit gugup. “Kami mau beli tiga hp, yang Xiaomi Redmi 7A itu, Mas.”
Penjaga toko mengangguk. “Baik, Pak. Wah, langsung tiga sekaligus, ya? Hebat, Pak. Pasti buat sekeluarga, nih!”
Gobed yang sejak tadi tak sabar langsung menyela. “Iya, Mas! Buat aku, bapak, sama ibu. Biar kita bisa WhatsApp-an sama-sama!”
Penjaga toko tertawa kecil, lalu membawa ketiga hp yang diinginkan ke meja kasir. Ketika hp itu diletakkan di depan mereka, perasaan haru mulai muncul di hati Pak Jengkok dan Bu Slumbat. Melihat ketiga hp yang bersinar baru, mereka merasa seolah telah mencapai sesuatu yang besar dalam hidup mereka. Tangan Bu Slumbat gemetar ketika dia menyentuh kotak hp itu, kenangan hidup susah selama bertahun-tahun tiba-tiba kembali menyeruak ke dalam pikirannya.
Pak Jengkok membayar hp-hp tersebut dengan uang hasil keringat mereka dari warung yang semakin maju. Saat itu juga, ada rasa bangga yang begitu mendalam. Dia teringat bagaimana dulu mereka hanya memiliki uang pas-pasan, bahkan untuk membeli makan saja harus berhemat. Sekarang, mereka tidak hanya bisa memberi kehidupan yang layak untuk Gobed, tapi juga memberikan teknologi yang selama ini hanya bisa mereka lihat dari kejauhan.
Setelah selesai bertransaksi, mereka keluar dari toko dengan tas yang berisi hp baru di tangan. Di perjalanan pulang, suasana menjadi lebih hening. Tidak ada percakapan seperti biasanya. Bahkan Gobed yang selalu ceria pun terdiam, mungkin dia juga merasakan sesuatu yang mendalam. Ketika mereka tiba di rumah, mereka duduk bersama di ruang tamu, membuka kotak hp mereka satu per satu.
Saat membuka hp-nya, mata Bu Slumbat mulai berkaca-kaca. “Pak, dulu kita nggak pernah nyangka bisa sampai beli hp seperti ini, ya. Masih inget nggak waktu kita masih sering ngutang di warung buat makan?”
Pak Jengkok mengangguk, menahan air mata yang hampir keluar. “Iya, mah. Waktu itu rasanya berat banget, tapi sekarang lihat kita, kita bisa beli tiga hp sekaligus. Dulu jangankan hp, beli sandal aja harus mikir berkali-kali.”
Gobed yang mendengar percakapan itu ikut merasa haru. Meski usianya masih kecil, dia tahu betapa keras perjuangan orang tuanya selama ini. “Makasih ya, Pak, Bu. Aku janji bakal belajar lebih giat biar nanti bisa banggain bapak sama ibu.”
Mendengar kata-kata Gobed, air mata Bu Slumbat tak bisa dibendung lagi. Dia memeluk anaknya dengan erat. “Ibu nggak butuh kamu jadi yang paling pintar, Gobed. Ibu cuma mau kamu jadi anak yang baik, yang ngerti betapa sulitnya hidup ini dan selalu bersyukur.”
Pak Jengkok yang duduk di sebelah mereka juga tak bisa menahan air matanya. Dia terdiam, memandang kedua orang yang paling dicintainya, merasa terharu dan bangga dalam waktu yang bersamaan. Perjuangan mereka selama ini seolah terbayar dengan momen ini. Bukan soal materi, bukan soal hp yang baru mereka beli, tapi tentang betapa kuatnya mereka melewati masa-masa sulit bersama.
“Hidup kita memang berat, tapi kalau kita selalu bersama, nggak ada yang nggak bisa kita lalui,” ujar Pak Jengkok dengan suara serak. “Hari ini kita bisa beli hp, besok siapa tahu kita bisa beli sesuatu yang lebih besar lagi. Yang penting, kita jangan lupa sama asal kita.”
Mereka bertiga tertawa kecil di tengah isak tangis. Haru bercampur bahagia. Hp yang mereka beli mungkin hanya barang biasa bagi orang lain, tapi bagi keluarga kecil ini, hp tersebut adalah simbol dari pencapaian mereka. Simbol bahwa perjuangan mereka yang selama ini terasa berat, akhirnya mulai memberikan hasil yang nyata.
Setelah suasana sedikit tenang, mereka mulai mencoba hp baru mereka. Gobed dengan cepat mengunduh berbagai aplikasi, sementara Pak Jengkok dan Bu Slumbat sedikit kebingungan dengan banyaknya fitur baru yang belum mereka pahami. Namun, kebingungan itu tidak mengurangi kebahagiaan mereka.
Di malam harinya, sebelum tidur, Bu Slumbat memandangi hp barunya yang tergeletak di samping tempat tidur. “Pak, aku masih nggak percaya kita bisa sampai di titik ini,” bisiknya sambil menatap suaminya yang sudah hampir terlelap.
Pak Jengkok membuka matanya dan tersenyum. “Iya, mah. Aku juga. Tapi yang penting kita harus tetap rendah hati dan terus bersyukur.”
Bu Slumbat mengangguk. Mereka berdua tahu, perjalanan hidup mereka belum selesai. Masih banyak tantangan di depan. Tapi malam itu, mereka tidur dengan perasaan damai, bahagia, dan penuh syukur. Mereka tahu, apapun yang terjadi nanti, mereka selalu punya satu sama lain, dan itu lebih dari cukup.