🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#28
#28
Dan benar saja, Aldy sudah yakin akan mendapatkan tatapan itu, tatapan tajam menahan amarah, siapa lagi pemilik tatapan itu jika bukan Hilda. Wanita itu masih menunggu kedatangan Aldy di teras rumah, tak terkecuali Irfan.
Aldy menyerahkan Ammar ke pelukan Irfan, "Mas, tolong bawa Ammar masuk dulu, nanti aku menyusul, ada yang ingin ku bicarakan dengan Mas Aldy." Pinta Hilda sekaligus izin bicara 4 mata dengan mantan suaminya.
"Jangan terlalu lama, Ini sudah malam." jawab Irfan, yang kemudian berlalu pergi, walau sebenarnya tak benar-benar pergi, ia hanya menepi di balik dinding.
“Tidak bisakah, Mas tepat waktu sesuai dengan perjanjian kita?” Sembur Hilda tak sabar, ia bahkan tak ingin sekedar berbasa-basi, pasalnya sebelum pergi, Hilda sudah berpesan agar jangan pulang terlalu malam, tapi nyatanya, Aldy justru mengembalikan Ammar nyaris di waktu pergantian hari.
“Tapi…”
“Lain kali aku tak yakin akan memberimu izin, Mas.” sambung Hilda tanpa mencoba memberi Aldy kesempatan untuk menjelaskan.
"Apa aku terlihat begitu buruk di matamu?" geram Aldy.
"Jangan memasang wajah memelas, Mas, aku buka Hilda yang dahulu bisa kamu buang, ketika kamu tak membutuhkan kehadiranku. Ya … anggap semua salahku, karena begitu mudah menerima ajakanmu menikah, menjadikan harapan semu sebagai sandaran, hingga pada akhirnya aku sendiri yang menelan kecewa. Jadi jika sekarang aku bersikap demikian jangan salahkan aku."
Bagai menyayat kembali luka yang mulai pudar, wajah Hilda kembali berurai air mata, ketika mengungkapkan apa yang ia pendam selama ini.
“Kenapa kamu begitu tega, bahkan terhadap aku yang telah terluka ini, tidakkah ada sedikit saja rasa kasihan padaku? Aku hanya berusaha menebus waktuku yang hilang bersama anakku, apakah itu pun masih terlihat salah di matamu?”
Aldy yang sejak siang merasa sentimental, ditambah tuduhan Hilda, malah ikut terpancing mengeluarkan isi hatinya.
Hilda tertawa getir, "Kamu tidak salah, yang salah adalah perbuatanmu, Mas. Bukankah dulu Mas yang memberiku pilihan, dan ketika aku memilih pergi, kenapa seolah-olah Mas yang tersakiti? Selama hamil, aku yang berjuang sendiri, direndahkan, dituduh menggoda suami, dan kekasih orang, hanya karena statusku adalah seorang Janda. Tak mengapa, aku cukup tutup telinga, aku kuat, aku bisa abaikan semua itu, karena bukan mereka yang memberiku makan, bukan mereka pula yang membiayai pengobatan ketika aku sakit. Tapi, ketika mereka mengatakan mengatakan Ammar adalah anak haram, disitulah aku marah, aku bersumpah akan menghadapi siapa saja yang berani menyakiti atau menuduh anakku sebagai anak haram."
Aldy tak tahu harus bereaksi seperti apa, karena kini dirinya sendiri pun merasa hancur berkeping-keping, "Maaf …" akhirnya hanya itu yang mampu Aldy ucapkan, pria itu bahkan berlutut tak jauh dari tempat Hilda berdiri. Ia mengepalkan kedua tangannya di lutut, menunduk dalam tangis dan sesal yang datang terlambat.
Hilda hanya diam melihat Aldy yang menunduk dalam tangis penyesalannya. Entahlah tapi hatinya seakan tertutup rapat, bahkan maf pun masih enggan Hilda berikan sepenuhnya, walau beberapa kali Irfan mengingatkannya untuk mengikhlaskan apa yang pernah ia alami dimasa lalu.
"Hari kepergianmu adalah hari yang buruk bagiku, aku merasa seperti orang gila, berlari kesana kemari demi mencari-cari jejak kepergianmu. Menyesali apa yang telah kulakukan padamu, aku mencarimu, walau hari pernikahanku dengan Widya berjalan semakin dekat. Aku berjanji pada diriku sendiri, jika sebelum hari pernikahan aku menemukanmu, aku bersumpah akan membatalkan pernikahanku apapun resikonya. Tapi aku terlalu lemah, karena tak memikirkan kemungkinan kamu masih berada di Jakarta, jadi aku hanya mengira kamu telah kembali ke Yogyakarta, karena itulah aku menyewa seorang detektif untuk menemukanmu di kota ini, tapi hingga hari pernikahan tiba detektif mengatakan tak bisa menemukanmu."
"Cih … " Hilda memalingkan wajahnya, ia mual mendengar penjelasan Aldy, "Sudahlah, Mas, berhentilah menjelaskan apapun, karena penjelasanmu hanya membuatku semakin muak."
"Terserah, apa yang kamu rasakan, aku akui aku memang brengsek, pria yang tega menjandakan istrinya demi seorang janda, aku menyesal sungguh menyesal. Penyesalan yang sangat terlambat, karena itulah aku menebus rasa bersalahku dengan tetap mengirimkan sejumlah uang tunjangan, karena aku tak pernah tahu apakah kamu sudah menikah atau belum."
Lagi-lagi Hilda tersenyum miris, "Kamu anggap apa aku, Mas, apakah selama menjadi istrimu aku terlihat materialistis? dan apakah sejumlah uang bisa membeli cinta? cintaku tak semurah itu, Mas. karena itulah aku pun tak pernah menyentuh uang itu, tidak sepeserpun!"
Mendengar pengakuan Hilda, Aldy mendongak tak percaya, selama bertahun-tahun ia selalu mengirimkan sejumlah uang, bahkan nominalnya selalu ditambah setiap tahunnya untuk memastikan Hilda tak pernah kekurangan, tapi … "Kamu sedang berbohong kan? aku yakin kamu bohong, aku pastikan sendiri terjadi penarikan setiap beberapa bulan sekali … "
"Aku tak peduli dengan kebohonganmu, Mas!!" pekik Hilda.
"Bohong? aku tak bohong."
"Dan aku juga tak bohong! saat itu aku tak berdaya, walau pahit dan sakit hati kurasakan, aku terima uang pemberianmu. tapi aku bersumpah! Demi Allah aku tak pernah menyentuh uang itu, bahkan bahkan disaat aku sangat membutuhkan uang untuk biaya persalinan ketika aku melahirkan anakmu."
JEDDEEERRR !!!
Usai mengatakannya, Hilda berbalik dan meninggalkan Aldy begitu saja, ia tak peduli dengan apa yang Aldy rasakan, baginya sudah tak ada urusan dengan sang mantan suami, bahkan jika bisa ia lebih memilih agar keberadaan Ammar tak perlu diketahui oleh Ayah kandungnya. Tapi … sekeras apapun ia melawan, ia tetap tak bisa menentang takdir yang telah Allah tulis untuk puteranya, karena sejatinya Anak adalah milik Allah, dan suatu saat nanti Allah juga yang akan mengambil titipan tersebut.
Usai menutup pintu, Hilda terkejut, mendapati suaminya yang masih mematung di balik dinding, dengan Ammar dalam pelukannya. "Mas …"
"Jika kamu marah karena aku menguping pembicaraan kalian, aku minta maaf, tapi aku tak bermaksud apa-apa … aku hanya …"
Kalimat Irfan terhenti, ketika Hilda tiba-tiba memeluk nya, "Aku tak marah, Mas, dan Mas juga tak perlu meminta maaf, Mas sangat berhak melakukan hal itu, karena aku dan Papa nya Ammar tak punya hubungan apa-apa lagi."
andai..andai.. dan andai sj otakmu skrg