Alana, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga Zayn setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis, merasa terasing karena diperlakukan dengan diskriminasi oleh keluarga tersebut. Namun, Alana menemukan kenyamanan dalam sosok tetangga baru yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, hingga kemudian ia menyadari bahwa tetangga tersebut ternyata adalah guru barunya di sekolah.
Di sisi lain, Zayn, sahabat terdekat Alana sejak kecil, mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alana telah berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Alana dihadapkan pada dilema besar: apakah ia akan membuka hati untuk Zayn yang selalu ada di sisinya, atau justru untuk guru barunya yang penuh perhatian?
Temukan kisah penuh emosi dan cinta dalam Novel "Dilema Cinta". Siapakah yang akan dipilih oleh Alana? Saksikan kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nungaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Teriring...!
Bel berbunyi nyaring, menandakan berakhirnya pelajaran kedua. Suasana kelas yang tadinya hening segera berubah ramai. Terdengar kasak-kusuk beberapa siswi saling berbisik, sementara yang lain tertawa kecil, membahas guru baru yang barusan keluar dari kelas bersama Bu Lina.
"Sut! Dia sangat tampan..." bisik salah seorang siswi kepada temannya.
"Wah, apa ketampanan Pak Zidan itu nyata?" kata siswi lain sambil berjalan keluar kelas, mengikuti Zidan dengan tatapan berbinar di mata mereka.
Di sudut kelas, Alana masih duduk terpaku, bengong menatap pintu yang baru saja dilewati Zidan.
"Alana..." panggil Zayn dari sebelahnya, nada suaranya terdengar datar tetapi sedikit penasaran.
"Ehm?" Alana menjawab tanpa menoleh, pandangannya masih fokus menatap ke arah pintu keluar.
Zayn mengernyit. "Kenapa selama pelajaran tadi kamu bengong terus?"
Selidik Zayn, yang sedari tadi memperhatikan tingkah Alana yang aneh dan konyol selama pelajaran. Apalagi matanya terus tertuju ke arah Zidan. Pertanyaan itu membuat Alana menoleh dengan semangat, membelalakan matanya seolah baru sadar dari lamunannya.
"Kamu nggak terkejut?" Alana bertanya balik, memastikan apakah Zayn benar-benar tidak terpengaruh dengan kehadiran Zidan, yang tiba-tiba muncul sebagai guru baru di kelasnya.
"Kamu sendiri tumben banget nggak ngantuk dan malah melek. Terus fokus," lanjut Alana, memicingkan matanya, heran melihat Zayn yang tiba-tiba rajin.
Zayn tersentak mendengar komentar Alana. Dia sempat terdiam, matanya berpaling sejenak, seolah mencoba mencari jawaban yang pas. "Itu..." Zayn menggantungkan kalimatnya, namun tak melanjutkannya dengan kata-kata. Di dalam hati, ia bergumam, "Tanpa sadar aku jadi terus kepikiran..."
Alana semakin penasaran, keningnya mengerut lebih dalam. "Jadi kenapa?" desaknya, ingin tahu apa yang membuat Zayn bertingkah aneh hari ini.
Tapi Zayn justru diam. Bukannya menjawab, dia malah mengalihkan pandangannya ke luar jendela, membiarkan Alana dalam kebingungan. Pandangannya yang kosong seperti menyiratkan sesuatu yang tak ingin ia bagi, dan itu membuat Alana semakin frustrasi.
"Za?" panggil Alana lagi, namun tak ada tanggapan.
Zayn yang tak menjawab lagi membuatnya sedikit kesal. Akhirnya, ia memilih pergi meninggalkan kelas. Ia berjalan tak tentu arah. Langkahnya terhenti di depan kantor.
"Hem? Apa ada sesuatu di ruang guru?"
Gumam Alana merasa heran melihat gerombolan siswi yang mengerubungi pintu kantor sambil berbisik-bisik.
"Apa kamu lihat?"
"Cepetan, gantian aku yang lihat!"
"Bentar...!"
Bisik mereka, saling dorong dan melompat di depan kantor.
"Pak Zidan ada di situ!"
"Wah, gila! Dia sangat tampan!"
Pekik mereka dengan mata berbinar semangat, mengalahkan semangat ibu-ibu yang antre sembako gratis.
"Eh!" Mata Alana membelalak tak percaya.
"Astaga!" Ia menggeleng pelan, baru ngeh bahwa mereka heboh gara-gara Zidan.
Mereka berdiri di situ karena orang itu?? Batinya.
Teriakan semakin riuh saat Zidan melangkah keluar dari ruang guru.
"Pak Zidan~ kenapa Bapak tidak mengajar di kelas 12?" ucap salah satu siswi dengan nada mendayu-dayu, suaranya dibuat seimut mungkin.
"Apa Bapak tidak bisa ke kelas kami juga?" tanya siswi lainnya dengan melempar tatapan puppy eyes, membuat Zidan sedikit terbebani.
"Anak-anak, kalian tidak ada pelajaran? Kalian harus kembali ke kelas," ucap Zidan yang mencoba melarikan diri dari kerumunan para siswi itu.
"Bapak sekarang mengajar bahasa Inggris di kelas dua, kan? Saya ada di kelas itu!" celetuk salah satu siswi dengan bersemangat.
"Iya... iya," balas Zidan dengan senyum bisnisnya. Namun, pandangannya tiba-tiba teralihkan ketika melihat sosok Alana di kejauhan. Begitu matanya tertuju ke arahnya, Alana langsung berlari, meninggalkan tempat itu seolah ingin menghindari pertemuan mata mereka.
"Fiyuh... dia pasti tidak bisa melihatku, kan?" gumam Alana yang duduk meringkuk di balik pot yang cukup besar. Sesekali, ia memunculkan sedikit kepalanya dari balik pot, mengintip ke arah Zidan dengan perasaan was-was.
"Kenapa aku bersembunyi ya?" batin Lana sambil memegangi janggutnya ala-ala berpikir keras. Matanya mendelik ke atas, menatap langit-langit. Ia mulai tersadar oleh tindakan spontanitasnya yang konyol itu.
"Udah kepalang tanggung bersembunyi, nggak mungkin kan ujuk-ujuk mencungul dari balik pot sekarang? Pasti akan terlihat aneh," pikirnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk tetap duduk diam, mengamati dari balik pot itu.
"Dari hari pertama, Bapak sudah sangat sibuk ya?" ucap Bu Lina, tersenyum melihat antusiasme siswanya terhadap kedatangan Zidan.
"Ah, tidak apa-apa kok, Bu. Mungkin mereka sedikit bersemangat saja karena saya masih baru. Saya rasa sebentar lagi mereka akan bosan," balas Zidan sambil tersenyum.
Lana menatap bengong ke arah Zidan yang sedang mengobrol dengan Bu Lina, pikirannya mulai melayang.
Ternyata dia tersenyum seperti itu pada semuanya... senyuman yang tampak hangat dan tulus.
Ia merasakan campuran kegembiraan dan ketidakpastian—seolah senyum itu ditujukan hanya untuknya, tetapi juga mengingatkannya bahwa dia hanyalah salah satu dari banyak yang terpikat oleh pesona Zidan.”
Dia menghabiskan waktu bersama guru dengan begitu alami...
Lana menelan ludah, masih terpaku pada sosok Zidan. Pandangannya tak bisa lepas.
Dia jadi terlihat lebih...
Lana menarik napas panjang, perasaannya campur aduk. Sesuatu dalam dirinya mulai menyadari perubahan yang tak pernah ia duga.
Seperti orang dewasa...
Lana mulai bangkit dari persembunyiannya setelah Zidan pergi. Ia berjalan menyusuri koridor, teringat harus menyelesaikan hukuman laknat dari guru BK.
Sepanjang jalan, pikirannya terus mengawang, tak bisa lepas dari sosok Zidan.
Selama pelajaran tadi... sepertinya kami bertatapan. Iya kan?
Ia mencoba mengingat kembali momen itu, matanya menatap kosong ke depan.
Apa dia tidak melihatku?
Kepalanya terasa penuh oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung ada jawabannya. Ada rasa penasaran yang menggelitiknya, membuatnya sulit fokus pada apa pun.
Tanpa disadari, Lana telah sampai di depan tembok sekolah, di mana Airin sedang sibuk menggambar dengan khidmat di dinding yang luas.
Lana meraih kuas dengan cat berwarna biru laut, pikirannya mengawang, pandangan matanya kosong menembus dinding itu. Tanpa sadar, ia mengecatkan kuasnya pada mata kiri gambar anjing laut berwarna putih yang dibuat oleh Airin, sehingga membuat gambar hewan itu tampak seperti sedang menangis.
Srek... srek...
Airin terpaku sejenak, tangannya terhenti dari aktivitas mengecat. Ia menatap Lana dengan tatapan heran.
"Kamu ngapain sih?" tanya Airin, membuyarkan lamunan Lana.
"Ah! Astaga! Maaf! Aku ngapain sih?" Lana tersentak panik, membuat gerakan tak jelas karena salah tingkah.
"Jadi hancur deh, huhu... maaf ya?"
Airin menatap gambar anjing laut yang terkena cat Lana. Setelah diperhatikan, ternyata tidak terlalu jelek. Hmm, sepertinya nggak jelek-jelek amat, pikirnya.
Namun, tatapan heran kembali terarah pada Lana yang masih tampak bengong, belum sadar sepenuhnya dari lamunannya. Kenapa dia seharian begini, ya?
Dengan inisiatifnya, Airin pergi ke kantin, membeli dua kotak susu. Stroberi untuk dirinya sendiri, dan coklat untuk Alana.
"Ah! Dingin, dingin...!" seru Alana tersentak ketika tiba-tiba sesuatu yang dingin mendarat di pipinya. Ia menoleh ke belakang, melihat Airin berdiri di sana dengan kotak susu di tangannya.
"Kamu memang biasanya seperti orang bodoh, tapi hari ini kamu lebih seperti orang bodoh," ucap Airin, sambil menyodorkan kotak susu coklat kepada Alana. "Minum ini, dan sadarlah."
"Eh, terima kasih... Aku sangat menyukai susu coklat, loh...," ucap Alana sambil menerima kotak susu dari Airin. Ia menatap susu di tangannya sejenak, lalu beralih memandangi Airin. Darimana Airin tahu aku suka susu coklat? pikirnya, heran.
Mereka baru saja mulai dekat beberapa hari yang lalu, setelah insiden hukuman bersama karena mengecat tembok sekolah. Alana tak pernah ingat memberitahu Airin soal hal-hal kecil seperti ini. Mereka bahkan jarang berbicara tentang diri masing-masing, apalagi hal remeh seperti selera minuman.
Alana menyesap susu coklat itu. Ya sudahlah, mungkin cuma kebetulan, batinnya, sambil mengalihkan pikirannya. Yang ada sekarang, dia justru merasa nyaman dengan Airin. Semakin lama mereka menghabiskan waktu bersama, semakin Alana merasa seperti ada yang ingin dia bagi.
Tiba-tiba, tanpa berpikir panjang, Alana membuka mulut. "Airin, kamu pernah nggak, ngerasain perasaan yang... seperti ini?" tanyanya.
Airin mengerutkan keningnya, ia tidak mengucapkan apa pun. Hanya sorot matanya yang memberikan tanda bahwa ia mendengar dan sedang berusaha memahami apa yang dimaksudkan Alana.
"Kalau sedang berdua, rasanya nyaman, menyenangkan... Sampai nggak sadar kalau waktu sudah berlalu," lanjut Alana, suaranya melembut sambil menempelkan kotak susu dingin ke bawah mulutnya. Pandangannya lurus ke depan, seolah berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Airin.
Airin sedikit memundurkan badannya, matanya melebar menatap horor Alana.
Seakan tahu arah pemikiran Airin Alana menjelaskan, "Maksudku bukan kita tapi dengan lawan jenis... Apa yang kamu pikirkan...?"
"Kenapa tiba-tiba kamu curhat masalah asmara...?" tanya Airin, heran.
"B-bukan itu maksudku!! Aku hanya baru pertama kali... merasakannya...!!!" jawab Alana, panik.
"Aneh saja..." ucap Alana, matanya menatap kotak susu yang dipegangnya, namun pikirannya melayang, membayangkan sesuatu yang lain.
Alana seperti tenggelam dalam pikirannya, membiarkan kata-katanya mengambang di antara mereka, sementara Airin tetap diam, menatapnya penuh tanda tanya.
"Kalau aku bertatapan dengan orang itu, jantungku seolah berhenti sejenak, lalu..." Alana terdiam sebentar, menggigit bibirnya.
" Tiba-tiba berdebar kencang.” lanjutnya, suaranya semakin lirih.
"Udah gitu, aku nggak bisa menatap matanya lebih dari tiga detik," sambung Alana, matanya berkabut, membayangkan wajah Zidan saat itu.
"Lalu jantungku seperti mau meledak!!" seru Alana, tiba-tiba matanya melebar menatap Airin dengan panik. "Apa aku ini normal?!" tanyanya, seolah meminta konfirmasi dari Airin untuk meredakan kebingungannya.
Airin terdiam sejenak, mencerna pertanyaan itu. Apakah Alana sedang bercanda? Bukankah jawabannya sudah jelas? Namun, melihat ekspresi frustasi di wajah Alana, ia menghela napas dan berkata, "Oke, itu artinya kamu menyukai orang itu."
"Apa?" ucap Alana, masih berusaha mencerna kata-kata Airin. Pikirannya berputar, mencoba menghubungkan perasaan yang ia rasakan selama ini dengan apa yang baru saja diungkapkan Airin.
"Aku..." Alana terdiam, menelan ludah, seolah kata-kata itu berat untuk diucapkan.
"Menyukai... orang itu?" lanjutnya dengan suara bergetar.
“Tiba-tiba, pipinya memerah, seolah aliran panas menyusup ke seluruh wajahnya. Hatinya berdegup kencang, setiap detak seolah mengingatkan betapa tak terduganya perasaan ini. Saat menyadari kata-kata itu, rasa bingung yang selama ini menyelimuti dirinya perlahan-lahan terangkat, digantikan oleh kejelasan yang mendebarkan.”