5 anggota geng pembuli baru saja lulus SMP dan kini mereka berulah lagi di SMK!
Novel ini merupakan serial pertama dari "5th Avenue Brotherhood". 5th Avenue Brotherhood atau yang sering dikenal dengan FAB adalah geng motor yang terdiri dari 5 orang remaja dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Jesika. Seorang gadis yang merupakan anak kandung dari kepala sekolah dan adik dari pendiri FAB itu sendiri. Sayangnya, Jesika tidak suka berteman sehingga tidak ada yang mengetahui latar belakang gadis ini, sampai-sampai para member FAB menjadikannya target bulian di sekolah.
Gimana keseruan ceritanya? Silakan baca sampai bab terakhir 🙆🏻♀️ Yang setuju buat bikin sekuel atau lanjut vote di grup chat author ya 🙏 masih berlaku untuk hadiah saldo Dana untuk gift terbanyak bulanan. bisa gift lewat iklan juga ya 🥰 maksimal 10 iklan/hari = 100 dukungan. Hadiah akan diberikan pada dukungan terbanyak dalam setiap bulan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22 Lo Suka Atau Nggak Sama Gue?!
"Ci." panggilan pelan itu membuat Cia tersadar dan merasa pusing yang teramat hebat di kepalanya.
Jesika berdiri di sebelah brankar Cia berbaring. Gadis itu mengusap air matanya yang tak ingin dilihat oleh siapapun. Dan sesekali ia menelan saliva yang dirasa agak sulit sebab kerongkongannya mendadak sempit begitu melihat kondisi Cia saat ini. "L—lo masih kuat kan?" tanyanya dengan suara gemetar.
Cia batuk dan dengan cepat Wandra menadah mulut gadis tersebut dengan tisu. Sebab ia tau bahwa Cia akan mengeluarkan darah lagi dari mulurnya.
Luka di bagian rahang dan dinding kerongkongan Cia membuat pendarahan yang sulit diberhentikan.
Cia tak bisa mengeluarkan banyak suara. Bahkan tubuhnya terasa lebih sakit seiring berjalannya waktu di malam ini. Mata gadis itu melirik sekeliling ruangan IGD.
"A—" Suara Cia yang tak bisa ke luar sepenuhnya.
"Lo jangan ngomong dulu. Bisa nambah parah lukanya," ucap Wandra.
"Nyokap Cia mana?" tanya Jesika.
"Gue nggak bilang kalo Cia di sini," jawab Wandra.
"Lo gila ya? Nyokap dia harus tau kalo anaknya di sini!" omel Jesika.
"Kalo nyokapnya tau, otomatis bokapnya juga tau! Lo mau Cia dibunuh di sini?!" balas Wandra.
Dua orang perawat dan dokter datang untuk memasang selang makan. Wandra dan Jesika menyaksikan hal tersebut. Melihat dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana Cia dibius dan dimasukkan selang melalui kerongkongannya. Juga darah yang tak henti-hentinya mengalir.
Jesika sampai memalingkan wajahnya ke jendela rumah sakit sebab tak kuat merasakan sugesti bahwa dirinya yang diperlakukan seperti itu. Sementara Wandra hanya berdiam diri memerhatikan.
"Biaya rumah sakitnya gimana?" tanya Jesika.
"Gue yang tanggung. Tapi lo harus janji satu hal sama gue, nggak boleh ada yang tau soal ini!" jawab Wandra.
"Udah gue broadcast ke anak-anak FAB. Mereka lagi di jalan mau ke sini bareng abang gue."
Wandra tak mau memulai perdebatan lagi, dan memilih untuk diam sejenak. Berjalan meninggalkan ruang IGD. Duduk di parkiran dan memijat kepalanya yang mendadak berdenyut. Mengeluarkan satu alat hisap Vape. Untuk pertama kalinya Wandra merasa tak membutuhkan barang itu lagi sebagai pelepas penat. Ia kembali menyimpannya di kantong jaket.
Mendongak menatap Ribuan bintang di langit cerah malam ini. Entah dari mana tiba-tiba suara Cia terdengar di telinganya. Beberapa adegan tentang gadis itu bermain dalam ingatan.
"Kaget kan lo? Ada bapak ngejual anaknya? Ya ada lah! Bapak gue!"
"Lo kira gue mau lahir di keluarga kayak gini?!"
"Gimana caranya gue bisa keluar dari keluarga gue?!"
"Gue juga mau hidup normal! Gue nggak mau punya ibu pelac*r!"
"Gue nggak mau punya bapak tukang judi!"
"Gue nggak suka lo kayak bapak gue!"
"Kenapa sih gue harus berurusan sama lo lagi?!"
Wandra menghembuskan napas lelah. Ia baru menyadari bahwa tangannya terdapat luka goresan kaca. Mungkin luka itu ia dapatkan saat menghantam jendela rumah Cia tadi siang.
"Kenapa gue bantuin dia?" tanya Wandra pada dirinya sendiri.
***
Rombongan FAB sampai di rumah sakit dan langsung berlari ke ruang IGD. Di sana mereka bertemu dengan Jesika dan langsung diantarkan ke brankar Cia.
"Gue nggak percaya sama yang di facebook itu!" ucap Haris.
"Iya, karena lo temennya Wandra, makanya lo belain dia!" balas Jesika.
"Karena gue temennya Wandra, gue tau dia kayak gimana! Dia emang playboy, tapi kalo soal ngehamilin anak orang kayaknya nggak mungkin, apalagi orangnya itu Cia!"
"Kenapa nggak mungkin? Dia emang sa*gean kok! Termasuk video gue waktu itu!"
"Itu dia cuma bercanda, Jes."
Rian berjalan ke luar ruangan dan duduk di sebelah pria yang tampak pusing tersebut. Wandra terkejut akan kehadirannya.
"Mana surat cek Lab-nya?" tanya Rian.
Wandra memberikan surat tersebut dan Rian membacanya.
[Tes Urinalisis kehamilan/HCG (Negatif)]
Rian lebih mempercayai surat hasil keterangan dari laboratorium.
"Siapa yang fitnah lo ngehamilin dia?" tanya Rian.
"Nyokapnya," jawab Wandra.
"Lo difitnah nyokapnya, terus dia dipukulin bokapnya, dan lo bawa dia ke sini?"
"Iya."
"Harusnya lo biarin aja dia mati. Salah nyokapnya sendiri fitnah orang sembarangan."
"Gue juga nggak tau kenapa gue bawa dia ke sini, gue nggak ada kepikiran buat bantuin dia dan tololnya gue malah tanda tangan sebagai penanggungjawab dia di rumah sakit."
"Itu artinya lo masih manusia. Kadang memang kita nggak ngerti sama apa yang kita lakuin, sebab Tuhan yang perintahin kita buat gerak saat itu juga." Kalimat itu diiringi tepukan pundak oleh Rian.
"Tapi tadi adek lo bilang gue binatang, Bang," lapor Wandra diiringi dengan kekehan pelan.
"Biasalah, namanya juga cewek," balas Rian yang ikut terkekeh.
***
"Gue mau ngomong bentar sama Jesika, lo bertiga jagain Cia bentar," ucap Toleh menarik tangan Jesika menjauh dari semua orang.
Jesika mulai enggan menanggapi Toleh semenjak ada Ale di sekolah.
"Gue mau ngomong—"
"Ngomong aja! Nggak usah banyak basa-basi. Gue mau jagain Cia!" tegas Jesika.
"Kenapa lo suka pura-pura nggak denger kalo gue panggil?" tanya Toleh.
"Kapan? Kayaknya emang gue nggak denger."
"Mustahil lo nggak denger. Posisinya udah pulang sekolah, dan cuma gue sama lo di koridor!"
"Gue nggak denger!" tegas Jesika lagi.
"Lo cemburu sama Ale?" tanya Toleh membuat Jesika menoleh.
Tiba-tiba gadis itu terkekeh geli. "Ngapain gue cemburu? Lo baper sama kata-kata gue yang bilang gue suka sama lo? Gue sengaja aja itu biar si Ale-ale kebakaran jenggot. Lo nggak usah baper. Lo juga nggak perlu menahan diri buat mesra-mesraan sama dia. Gue cuma mau jahilin dia doang kok. Udah jangan dipikirin kata-kata gue yang itu!" balas Jesika.
"Berarti lo nggak cemburu?"
"Ngapain gue cemburu? Emangnya gue suka sama lo?"
"Lo nggak suka sama gue?"
Jesika terdiam sejenak dan matanya bergerak memutar. Tampak jelas bahwa ia bingung memberikan jawaban apa yang tepat untuk menutupi perasaannya itu.
"Jawab!" tegas Toleh.
"Kenapa gue harus suka sama lo?" balasnya.
"Jawab! Lo suka atau nggak sama gue?" cecar Toleh lagi.
"Ya kenapa gue harus suka sama lo?!"
"Jawab aja, lo suka atau nggak! Jawab yang jelas!" Toleh mulai geram akan tingkah Jesika saat ini.
"Nggak!" Singkat, padat dan sangat jelas.
Toleh terdiam sejenak setelah mendapati jawaban tersebut.