Almira Sadika, terpaksa harus memenuhi permintaan kakak perempuannya untuk menjadi madunya, istri kedua untuk suaminya karena satu alasan yang tak bisa Almira untuk menolaknya.
Bagaimana perjalanan kisah Rumah tangga yang akan dijalani Almira kedepannya? Yuk, ikuti terus kisahnya hanya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Shine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Seperti saat ini.. Almira yang tadinya di suruh ini dan itu oleh mama Siska, jadi kalang kabut sendiri dan langsung merubah sikapnya terhadap Almira juga mengajaknya untuk duduk bersama saat tiba-tiba Sebastian pulang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, seraya berkata, "Awas jika Kau memberitahu, Sebastian," ancamnya pada Almira.
"Bastian! Kau sudah pulang..?! Kenapa tak memberitahu terlebih dahulu jika akan pulang cepat.." Ucapnya mengalihkan pandangan pada Sebastian yang baru saja masuk ke dalam rumah.
"Kau baik-baik saja?" Sebastian tak menanggapi ucapan dari mama Siska dan lebih memilih untuk menyapa Almira, sehingga membuat mama Siska semakin menatap Almira tak suka. Menurut mama Siska, selain Almira adalah manusia pembawa sial, Almira menurutnya adalah wanita penghasut. Bagaimana tidak, jika dulu Sebastian akan selalu menurut dan tak pernah mengabaikannya, tapi lihatlah sekarang.. Sekarang justru kebalikannya. Menurutnya, semenjak Sebastian menikah dengan Almira, Sebastian sering kali tak menggubris perkataannya, bahkan terkesan tak peduli.
"Seperti yang Kak Tian lihat. Aku baik-baik saja," ucap Almira dengan tersenyum. "Ah, maksudku... Aku dan bayi kita baik-baik saja," ralatnya seraya kembali tersenyum manis, mengisyaratkan jika dirinya sungguh baik-baik saja.
"Kau jangan berlebihan, Bastian! Dia__"
"Tapi aku merasa... Mengapa kau sepertinya tak sedang baik-baik saja, tak seperti apa yang kau ucapkan," Sebastian kembali berucap sebelum mama Siska menyelesaikan ucapannya, yang sehingga membuat mama Siska semakin kesal saja. Akan tetapi bukan pada Sebastian itu sendiri, melainkan pada Almira, hanya pada Almira seorang.
Bagi mama Siska.. Perubahan sedikit apapun, bagi penglihatan, pendengaran, hati, serta otaknya diintruksikan hanya untuk menyalahkan Almira seorang saja. Itu sebabnya, sebaik dan sebagus apapun yang dilakukan Almira dimatanya tetaplah buruk.
"Sungguh, Kak... Aku baik-baik saja," Almira tetap saja menyangkal apa yang diucapkan Sebastian, walau yang sebenarnya benar, fisiknya saat ini tidak sedang baik-baik saja.
"Tidak, kau tak sedang baik-baik saja, Al," sanggah Sebastian. "Wajahmu pucat, kau seperti tengah kelelahan," lanjutnya seraya melirik samar mama Siska, sementara tangannya menyentuh kening dan kemudian beralih menelangkup kedua pipi Almira.
"Ck, tak usah terlalu dibesar-besarkan, Bastian! Bukankah kau dengar sendiri dia berkata apa?! Dia baik-baik saja?! Lalu mengapa kau harus mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu!" Ucap mama Siska seraya bangkit dari duduknya. "Menyebalkan!" Lanjutnya dan pergi dari sana seolah dirinya sangat kesal, padahal yang sebenarnya dirinya merasa tak nyaman lagi berada di sana semenjak lirikan samar yang Sebastian tunjukkan. Ya, mama Siska melihat itu, melihat lirikan Sebastian yang sepertinya menaruh curiga kepadanya.
"Ayo kita ke rumah sakit."
"Hah??" Ajakan Sebastian yang tiba-tiba mengalihkan kembali atensi Almira yang semula mengikuti pergerakan mama Siska yang kian menjauh, kembali menatap Sebastian.
"Ayo kita ke rumah sakit," ulang Sebastian. "Aku takut kau dan bayi kita kenapa-kenapa," lanjutnya.
"Ck, jangan terlalu parnoan... Aku bersama baby baik-baik saja, kami sehat," elak Almira lagi. "Mungkin yang kami butuhkan adalah... Istirahat?!" Sambungnya dengan nada lebih ke pertanyaan bukan pernyataan, karena takut Sebastian yang akan semakin menaruh curiga.
Sebastian tak langsung merespon, melainkan lebih dulu menelisik raut muka yang Almira tunjukkan sebelum akhirnya menghela nafas dan berkata, "Apa mama memperlakukan mu dengan__"
"Ah, bodohnya aku... Kak Tian pasti lelah, bukan? Itu sebabnya Kakak pulang lebih awal," Almira sengaja menyela ucapan Sebastian karena tak ingin menjelaskan sesuatu yang tak diinginkannya. "Ayo Kak, kita ke kamar," ajaknya seraya bangkit dan menarik tangan Sebastian yang duduk di sampingnya. "Ah, tidak. Kak Tian lebih dulu ke kamar, aku akan buatkan Kakak minuman terlebih dahulu," ralatnya seraya melepas genggamannya pada tangan Sebastian yang telah berdiri, dan pergi begitu saja meninggalkan Sebastian dengan tatapan sendunya.
"Maafkan Kakak, Al. Kakak lah yang egois. Seandainya kakak tak menuruti kakakmu dulu, kau pasti tak akan menderita seperti sekarang ini. Dan kau bisa memilih.... Pasangan hidupmu sendiri," ucap Sebastian dalam hatinya sembari terus menatap kepergian Almira. Sebastian menghela nafas panjang kala tubuh Almira hilang di balik dinding.
"Heh, pasangan hidupmu sendiri??" Gumamnya, seolah tengah menertawakan dirinya sendiri. Apa benar, dirinya akan sanggup melihat Almira bersama dengan pria lain? Sedangkan dirinya saat ini tengah berada di fase nyaman saat bersama Almira.
Beberapa saat kemudian...
"Kak Tian, kau masih disini?!" Seru Almira kala melihat Sebastian tengah duduk sembari memijat pangkal hidungnya, tak beranjak dari tempatnya sedari saat dirinya tinggal.
"Tidak, aku menunggumu."
"Aah... Begitu rupanya," respon Almira, yang jika wanita lain.. Jika si pria berkata demikian, bisa jadi pipinya akan bersemu merah karena merasa istimewa. Tapi tidak dengan Almira, yang seolah itu hanya ucapan biasa baginya. "Baiklah, aku sudah disini. Ayo," lanjutnya dan berjalan lebih dulu dengan tangan memegang sebuah nampan berisi beberapa cemilan dan dua minuman di atasnya.
"Al," panggil Sebastian.
Almira pun reflek menghentikan langkahnya seraya berbalik kembali menatap Sebastian. Almira tak mengatakan apapun, hanya menunggu apa sekiranya kelanjutan dari ucapan Sebastian.
Akan tetapi, sudah lewat beberapa detik Sebastian tak juga mengatakan apapun, sehingga membuat Almira yang tak sabaran pun akhirnya bertanya, "Ada apa, Kak? Kenapa hanya diam saja?"
"Hah? Aku...."
"Oh, apakah Kak Tian lapar? Jika begitu tunggulah, aku akan siapkan sebentar," sela Almira seraya akan kembali berjalan menuju dapur.
"Tidak, tunggu!" Cegah Sebastian dengan memegang lengan Almira.
"Hm? Kenapa?"
"Kakak... Emm... Aku..."
"Iya... Kak Tian kenapa..?"
"Aku... Aku... Ah, tak apa. Kakak hanya akan mengatakan jika nampannya biarkan Kakak saja yang bawa."
"Hm???" Gumam Almira yang merasa bingung akan tingkah Sebastian saat ini.
"Biarlah, biarlah aku tetap menjadi egois seperti ini. Aku yakin, aku bisa dan mampu untuk membahagiakan Almira," ucap Sebastian dalam hatinya sembari terus berjalan mendahului Almira.
"Ayo, katanya ingin ke kamar?!" Seru Sebastian ketika tersadar Almira tak mengikutinya.
"Eh, i-iya," jawab Almira dan segera menyusul Sebastian dengan mengenyampingkan rasa bingungnya.
Sampai di ruang pribadi keduanya, Sebastian justru hanya menatap Almira yang tengah memakan satu persatu cemilan yang dibawanya tadi.
Sebastian tersenyum seraya bergumam dalam hati, "Cantik."
...Tuan Sebastian, tolong berikan surat ini pada Almira....
Tiba-tiba otaknya terngiang akan ucapan seseorang.
...Karena saya tahu jika Anda adalah kakak ipar dari Almira. Sudah beberapa waktu ini saya tak dapat menghubunginya, saya jadi khawatir. Saya sudah pernah ke rumahnya, tapi rumahnya kosong. Anda bisa kan Tuan membantu saya? Karena saya tak mengetahui alamat Almira yang sekarang....
...Sebenarnya saya sudah lama menyukai Almira. Semoga saja saya tidak terlambat. Saya minta tolong Tuan, tolong serahkan surat ini pada Almira. Terima kasih....
"Kurang ajar!"
Ukhuk! ukhuk!
Almira jadi terbatuk karena tersedak akibat terkejut yang disebabkan Sebastian yang berseru sembari menggebrak meja dengan tiba-tiba, seperti tengah membentak. Membuat Sebastian jadi tersadar seketika, dan menyadari jika perbuatan tanpa sadarnya itu telah mengejutkan Almira.