Tidak pernah Jingga bayangkan bahwa masa mudanya akan berakhir dengan sebuah perjodohan yang di atur keluarganya. Perjodohan karena sebuah hutang, entah hutang Budi atau hutang materi, Jingga sendiri tak mengerti.
Jingga harus menggantikan sang kakak dalam perjodohan ini. Kakaknya menolak di jodohkan dengan alasan ingin mengejar karier dan cita-citanya sebagai pengusaha.
Sialnya lagi, yang menjadi calon suaminya adalah pria tua berjenggot tebal. Bahkan sebagian rambutnya sudah tampak memutih.
Jingga yang tak ingin melihat sang ayah terkena serangan jantung karena gagalnya pernikahan itu, terpaksa harus menerimanya.
Bagaimana kehidupan Jingga selanjutnya? Mengurus suami tua yang pantas menjadi kakeknya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Alifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CERITA
Malam ini, seperti biasa Jingga menemani Langit tidur. Setelah berkonsultasi pada seorang dokter, Langit berusaha menjalankan saran dari dokter tersebut. Perkembangannya cukup baik meski pria tua itu masih kerap mengalami mimpi buruk.
Dukungan Jingga pun sangat berpengaruh, Langit mempunyai semangat untuk sembuh berkat gadis itu.
"Kamu sudah mengantuk?" tanya Langit, ia mendongak menatap Jingga yang duduk bersandar di sebelahnya, sedangkan dirinya sudah berbaring sempurna.
Jingga menggeleng, "Belum, aku ingin membaca novel dulu. Kalau kamu sudah mengantuk, tidurlah. Aku tidak akan kemana-mana," ucap Jingga.
Langit tak menjawab, ia justru terus menatap istrinya. membuat Jingga gugup lalu bertanya, "Ada apa? Apa ada yang salah denganku?"
"Tidak, kemari lah!" Langit menepuk tempat kosong di sebelahnya, meminta Jingga untuk ikut berbaring juga.
"Ta-tapi, aku belum ngantuk," tolak Jingga. Bukan apa-apa, ia gugup saat Langit terus menatapnya. Entah mengapa jantungnya bertalu-talu tak karuan.
"Kita bercerita sebentar, aku ingin tahu tentang kamu dan kehidupanmu dulu," ucap Langit. Ia menarik tangan Jingga, membuat Jingga tak sempat melontarkan alasan untuk kembali menolak.
Akhirnya Jingga pasrah, ia berbaring miring saling berhadapan dengan Langit.
"Cerita apa yang mau kamu dengar?" tanya Jingga. Ia mencoba bersikap biasa saja meski debaran di jantungnya semakin menggila.
"Apa saja, tentang sehari-hari kamu atau tentang teman-teman kamu misalnya," usul Langit. Entah mengapa ia ingin mengenal Jingga lebih dalam lagi, mengetahui banyak hal tentang gadis itu.
Jingga terkekeh, ia tampak berpikir. Mungkin berpikir apa yang akan menjadi pembahasan mereka kali ini, "Tidak ada yang special di hidup aku selain pernikahan ini. Semuanya biasa saja, bahkan menurut teman-teman kuliahku, aku orang yang membosankan karena aku tidak pernah bergabung bersama mereka untuk bermain setelah pulang kuliah."
Mengingat hal itu, Jingga jadi tertawa. Jika boleh jujur, ia merindukan suasana kuliah. Meski memang ia tak pernah ikut berjalan-jalan dan mengikuti ajakan teman-temannya.
Langit tersenyum lebar, "Jadi pernikahan kita special?" Tanyanya. Pria tua itu terlihat antusias, seperti anak kecil yang keinginannya membeli mainan terkabul.
Jingga mengangguk tanpa ragu, "Tentu saja. Aku bersyukur bisa bertemu denganmu, awalnya mungkin aku takut. Aku juga marah pada mbak Mega, tapi sekarang sepertinya aku harus berterima kasih padanya. Karena berkat dia, aku bisa mengenalmu dan menikah denganmu," ungkap Jingga dengan tulus. Entahlah, ia sendiri tak tahu dengan arti ucapannya itu, ia hanya mengeluarkan isi hatinya dengan jujur.
Kalimat itu semakin membuat Langit mengembangkan senyumnya, hatinya berbunga-bunga. Jika tak ingat umur, mungkin ia akan berdiri dan meloncat-loncat di atas ranjang. Ia juga tak dapat mengartikan perasaan bahagianya ini, apa karena ia sudah terlanjur merasa nyaman dengan Jingga, atau karena ia mempunyai rasa yang lain.
"Apa mas juga begitu?" tanya Jingga tiba-tiba.
Langit yang tak siap dengan pertanyaan tiba-tiba itu, hanya mengangguk sebagai jawaban. Bukan sekali mengangguk, melainkan berkali-kali. Terlihat lucu di mata Jingga, gadis itu tertawa tanpa suara.
Perlahan tawa itu surut saat Langit meraih tangannya lalu menggenggamnya. Jingga tampak gugup, ia menelan ludahnya dengan susah payah tapi masih berusaha mengontrol dirinya meski begitu sulit.
"Lanjutkan ceritamu," pinta Langit. Ia menarik tangan Jingga yang tadi ia genggam, menyimpan tangan lembut itu di pipinya sendiri.
Membuat Jingga perlahan mengusapnya, "Kalau ceritaku tidak menarik bagaimana?"
"Tak apa, aku tetap akan mendengarkannya. Aku akan menganggap itu dongeng tidur. Ayolah.." pinta Langit.
"Baiklah baiklah.." Jingga lalu menceritakan kisah hidupnya, kisah hidup yang sederhana dan jauh dari kemewahan. Di awali dengan kisah kedekatannya dengan Mega.
"Dulu aku dan mbak Mega sangat dekat," ucap Jingga. Matanya menatap ke sembarang arah, seolah mengingat masa-masa kedekatannya dengan sang kakak, yang entah bagaimana awalnya mereka jadi menjauh.
"Kalian dekat? Tapi yang aku lihat dia membencimu, Jingga." Komentar Langit, Mega bahkan berkata kasar pada istrinya itu.
Jingga mengangguk, "Aku juga tidak tahu, kenapa mbak Mega berubah. Setiap aku mengajaknya bicara, dia tidak pernah mau. Tatapan penuh kasih sayang yang dulu selalu aku lihat di matanya tidak ada lagi, aku tidak mengerti kenapa dia terlihat begitu membenciku sekarang."
"Apa kalian pernah bertengkar?"
Jingga menggeleng, "Tidak, nyaris tidak pernah. Kalau pun aku sedikit nakal, dia selalu mengalah. Kemarin adalah pertengkaran kita yang paling hebat. Aku sedih kenapa dia jadi seperti itu, padahal aku sangat menyayanginya," lirih Jingga.
Langit menumpuk tangannya dengan tangan Jingga yang masih ada di pipinya, ia tersenyum lembut, "Aku yakin dia juga menyayangimu, hanya saja, mungkin kalian salah faham tentang sesuatu yang kamu sendiri tidak menyadarinya."
"Mungkin iya, aku juga masih yakin kalau mbak Mega menyayangiku."
Membicarakan tentang Mega, Langit jadi teringat kembali dengan kata-kata gadis itu. "Apa yang dia tahu tentangku?" batinnya.
Cerita kembali Jingga lanjutkan, ia menceritakan banyak hal, sampai akhirnya keduanya menguap lebar dan mata mereka mulai meredup. Sampai tanpa terasa, keduanya memejamkan mata dengan tangan saling menggenggam.