Dicampakkan saat sedang mengandung, itu yang Zafira rasakan. Hatinya sakit, hancur, dan kecewa. Hanya karena ia diketahui kembali hamil anak perempuan, suaminya mencampakkannya. Keluarga suaminya pun mengusirnya beserta anak-anaknya.
Seperti belum puas menyakiti, suaminya menalakknya tepat setelah ia baru saja melahirkan tanpa sedikitpun keinginan untuk melihat keadaan bayi mungil itu. Belum hilang rasa sakit setelah melahirkan, tapi suami dan mertuanya justru menorehkan luka yang mungkin takkan pernah sembuh meski waktu terus bergulir.
"Baiklah aku bersedia bercerai. Tapi dengan syarat ... "
"Cih, dasar perempuan miskin. Kau ingin berapa, sebutkan saja!"
"Aku tidak menginginkan harta kalian satu sen pun. Aku hanya minta satu hal, kelak kalian tidak boleh mengusik anak-anakku karena anakku hanya milikku. Setelah kami resmi bercerai sejak itulah kalian kehilangan hak atas anak-anakku, bagaimana? Kalian setuju?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Sakit
"Kamu kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa kamu nangis? Apa ada yang mengganggumu?" cecar Alvian tapi kini dengan suara yang lebih lembut.
"Anakku ... Anakku ... Regina ... Regina masuk rumah sakit. Aku ... aku harus segera ke sana," tutur Zafira dengan bibir bergetar membuat Alvian terlonjak dengan mata membulat.
"Anak?" beo Alvian yang benar-benar terkejut. Ia benar-benar tak menyangka ternyata sekretarisnya itu telah memiliki seorang anak. Tapi bukan itu yang penting saat ini, tapi kekhawatiran sekretarisnya itu pada sang buah hati. Jadi ia takkan banyak bertanya dahulu.
"I-iya. Pak, saya ... saya mohon izin pulang lebih cepat. Saya mau ke rumah sakit sekarang juga," ucapnya terbata dengan tubuh yang lemas karena terlalu shock.
Zafira pun segera mengambil tasnya dan bergegas beranjak. Bahkan ia pun mengabaikan lembaran kertas yang berceceran di lantai sebab fokusnya saat ini hanya tertuju pada sang putri tercinta.
Namun baru saja hendak melangkahkan kakinya, tungkainya langsung berasa lemas. Perutnya sedikit keram membuatnya nyaris terhuyung ke belakang andai saja tak ada sepasang lengan yang menopangnya dari belakang.
"Zafira," pekik Alvian reflek sambil menopang tubuh lemah Zafira.
"Maaf, maaf, pak, aku tak sengaja."
Zafira mencoba menegakkan tubuhnya dan melepaskan diri dari rengkuhan Alvian, tapi Alvian justru mencegahnya.
"Biar aku antar," ucapnya seraya memapah Zafira agar dapat berjalan dengan benar.
"Tidak usah, pak. Saya bisa pergi sendiri," sergahnya saat Alvian menawarkan ingin mengantarkan dirinya ke rumah sakit.
"Dengan keadaan seperti ini? Kau ingin terjadi sesuatu pada dirimu? Yang ada nanti bukannya melihat kondisi anakmu, justru kau ikut dirawat," sergah Alvian dengan sorot mata tajam membuat Zafira tertunduk dengan pipi bersimbah air mata. "Aku tidak menerima penolakan. Ayo, kita segera ke rumah sakit," imbuhnya lembut. Sorot mata tajam tadi telah berubah menjadi teduh. Ia paham, tiada seorang ibu bisa tetap baik-baik saja saat mendengar kabar tak mengenakkan tentang anaknya. Jangankan Zafira, ibunya saja bisa mendadak tremor saat mendengar kabar telah terjadi sesuatu padanya.
Zafira pun terpaksa mengangguk. Ia pun berjalan sambil dipapah Alvian.
"Butuh bantuan saya pak? Atau saya saja yang mengantar mbak Zafira? Bukankah sebentar lagi Anda ada meeting?" tawar Lutfhi yang sebenarnya ingin sekedar membantu, tapi Alvian justru menangkap lain niat Luthfi tersebut.
"Tidak perlu. Aku bisa sendiri. Kau tunda saja meeting itu," ketus Alvian membuat Luthfi melongo. Mengapa nada bicara bosnya itu terdengar sinis? Luthfi memang sudah hafal karakter bosnya itu yang ketus nyaris pada semua orang. Hanya pada orang-orang tertentu saja ia bisa bersikap lembut dan ramah.
"Ba-baik, pak," sahut Luthfi sambil menatap punggung Alvian dan Zafira yang mulai menghilang masuk ke dalam lift.
"Apa ini perasaanku saja ya? Kok aku ngerasa si bos terlalu perhatian dengan Mbak Zafira? Dia juga jauh lebih ramah ke mbak Zafira dibandingkan dengan yang lain. Tapi apakah mungkin? Nona Marilyn yang seorang program director saja nggak digubris dan ditolak berkali-kali, tapi ini ... Eh tunggu, tadi apa katanya? Anaknya masuk rumah sakit? What? Ternyata mbak Zafira udah punya anak. Nah, jadi gimana tuh kalo pak bos emang beneran suka sama mbak Zafira? Wah, bungaku layu sebelum berkembang dong. Nasebbbb ... " gumam Luthfi sambil menghela nafasnya.
...***...
Sepanjang perjalanan Zafira tampak begitu cemas. Air matanya tumpah bak air bah yang menerobos bendungannya. Alvian hanya bisa menatap iba. Pikirannya berkecamuk. Ingin menggenggam tangan dan menenangkannya tapi rasanya tak elok. Bagaimana bila suami Zafira tahu ia menggenggam tangan istrinya, bisa-bisa wajahnya yang ganteng terkena bogem mentah dong, pikirnya.
Terdengar helaan nafas panjang dari bibir Alvian. Ia bingung, baru saja ia merasakan tertarik pada seorang perempuan, tapi ... harus langsung dipatahkan oleh kenyataan yang memilukan.
'Dia sudah punya anak, tapi kenapa di KTP nya masih single?' batin Alvian bertanya-tanya. Memang KTP Zafira berlaku seumur hidup, tapi bukankah setelah menikah harus memperbarui KTP. Lalu Alvian melirik tangan Zafira yang tampak mengelus perutnya yang terlihat membukit. Lagi-lagi hatinya mnecelos, 'sepertinunya dia benar-benar hamil.'
Tanpa sadar, Alvian mencengkram kemudi erat-erat. Rahangnya mengeras. Ia bukannya marah pada Zafira. Tapi ia kecewa. Kenyataan ini terlalu menyakitkan menurutnya.
Tak lama kemudian, Zafira telah tiba di rumah sakit seperti yang telah diinformasikan Bu Rahma. Ia pun bergegas turun diikuti Alvian. Ia segera mencari ruangan sang putri. Tak lama kemudian, ia melihat sosok wali kelas Regina dan seorang guru lagi. Mungkin guru itu yang membantu Bu Rahma membawa Regina ke rumah sakit.
"Bu Rahma," panggil Zafira membuat guru yang juga seumuran dengan Zafira itu menoleh.
"Bu Zafira," ucapnya yang reflek berdiri.
"Bu, bagaimana keadaan anak saya? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Tak lama kemudian terdengar derap langkah di belakang Zafira.
"Mama," seru gadis kecil yang ternyata Refina. Ternyata ibunya segera menyusul ke rumah sakit saat ada yang mengabari Bu Mayang mengenai apa yang terjadi pada cucunya.
Terang saja, mata Alvian kian membulat melihat ternyata Zafira memiliki anak yang lain. Seorang gadis kecil berusia sekitar 3 tahunan.
"Fira, bagaimana keadaan Regi, nak?" tanya Bu Mayang setelah berdiri tepat di samping Zafira.
"Fira juga belum tahu, Bu." Jawab Zafira sebenarnya.
"Begini bu, mohon maaf sebelumnya atas keteledoran kami sebagai seorang guru dalam menjaga anak didik kami. Tadi saat jam istirahat, anak-anak sedang bermain. Saat bel istirahat berakhir, anak-anak tampak berlarian naik ke atas tangga menuju ruang kelas masing-masing. Karena terlalu terburu-buru, Regina tidak sadar menginjak bekas es krim yang mungkin milik murid lain yang tak sengaja jatuh jadi Regina pun terpeleset dari anak tangga hingga jatuh ke bawah."
Mendengar penuturan tersebut sontak saja tubuh Zafira melemas. Hampir saja ia jatuh kalau tubuhnya tak lagi-lagi disanggah Alvian. Ia benar-benar mengkhawatirkan keadaan Regina.
"Regina ... " cicit Zafira lemah.
"Ja-jadi bagaimana keadaan cucu saya dok?" tanya Bu Mayang yang turut merasa khawatir.
"Kami belum tahu, Bu. Saat ini dokter masih memeriksa," ucap Bu Rahma yang juga cemas. Ia pun menyayangi Regina. Bukan hanya karena Regina cantik, tapi dia juga gadis kecil yang ramah, periang, pintar, pandai bernyanyi, dan gemar membantu orang lain.
Zafira melirik baju Bu Rahma yang tampak dipenuhi darah.
"Darah itu ... " wajah Zafira sudah pucat pasi. Ia sangat yakin, darah yang memenuhi bagian depan baju Bu Rahma itu merupakan darah dari Regina.
Bu Rahma menggigit bibirnya dengan wajah menunduk lesu. Tanpa perlu mengatakannya, ia yakin Zafira dapat menebak darah siapa itu.
"Bu, bagaimana ini, Bu? Regina, Bu. Putriku ... Ya Allah, nak ... Ya Allah, tolonglah putriku, aku mohon," ucapnya seraya terisak pilu.
Alvian yang melihat kerapuhan Zafira ikut terenyuh. Matanya pun ikut memanas. Namun, satu hal yang membuatnya penasaran, mengapa suami dari Zafira tidak ada di sana? Apalagi kondisi anaknya bisa dikatakan tidak baik-baik saja. Apakah ia bekerja di luar kota, pikirnya?
"Sabar ya, nak, ibu yakin, Regina nggak akan kenapa-kenapa. Dia putriku yang kuat. Dia cucu ibu yang kuat dan hebat. Dia pasti takkan membuat ibunya bersedih. Berdoa ya, nak, semoga Regina tidak apa-apa," ujar Bu Mayang sambil mengusap punggung tangan Zafira. Lalu Bu Mayang melirik Alvian yang masih betah di samping Zafira sambil menahan pundaknya.
Bu Mayang menyeka air matanya kemudian bertanya siapa Alvian sebenarnya.
"Nak, kalau boleh tahu kamu siapa?" Mendengar ibunya bertanya pada seseorang, Zafira pun mengangkat wajahnya dan matanya terbelalak. Ternyata bosnya masih berada di sampingnya.
"Pak Al," gumam Zafira terkejut. Ia pun segera beringsut sedikit menjauh dari Alvian. Alvian sedikit kecewa saat Zafira menjaga jarak dengannya. Tapi apa boleh buat, dirinya memang bukan siapa-siapa Zafira pikirnya.
"Saya ... "
Kriek ....
Terdengar bunyi pintu ruang UGD terbuka dari dalam, Zafira pun bergegas mendekati sang dokter untuk menanyakan keadaan sang putri tercinta. Bu Mayang pun turut mendekat, membuat Alvian tak jadi menjelaskan siapa dirinya.
"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" tanya Zafira cepat.
"Anda ibunya?"
"Iya dok, saya ibunya. Bagaimana keadaan anak saya dok? Dia tidak apa-apa kan?" cecar Zafira panik.
Dokter itu berdeham sebelum menjelaskan. Dunia Zafira serasa runtuh saat mengetahui anaknya tidak sedang baik-baik saja di dalam.
"Kepala bagian belakang Putri Anda terbentur cukup keras hingga menyebabkan pendarahan. Bukan hanya itu, tulang tangan kirinya pun mengalami keretakan. Kita harus segera melakukan operasi. Tetapi sebelumnya, kami membutuhkan 2 kantong darah golongan B Rhesus negatif. Bila ada anggota keluarga yang memiliki golongan darah yang sama, bisa segera melakukan transfusi darah," tukasnya sebelum undur diri.
Tungkai Zafira benar-benar lemah. Tubuhnya merosot ke lantai membuat Bu Mayang memekik khawatir, pun Alvian yang segera membantu menegakkan tubuh Zafira.
"Zafira ... "
"Bu, bagaimana Bu, kita harus mencari kemana golongan darah itu. Darahku tidak sama dengan darah Regina. Ibu juga," gumam Zafira sambil menjambak rambutnya.
"Bagaimana kalau kita minta tolong ayahnya?"
Zafira terkekeh miris, "ayahnya? Ayahnya yang mana Bu? Bukankah ibu tahu, dia tidak mau mengakui anak-anaknya sendiri. Mana mungkin dia mau mendonorkan darahnya yang berharga itu untuk anakku, Bu. Nggak mungkin," lirih Zafira putus asa. Ia menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia menangis tergugu, membayangkan kesakitan yang dialami putrinya itu.
Dahi Alvian mengernyit, merasa penasaran dengan apa yang barusan Zafira ucapkan. Sayangnya, tidak mungkin ia bertanya di saat keadaan Zafira sedang tidak baik-baik saja seperti ini.
"Biar aku yang menjadi pendonor," ucap Alvian tiba-tiba membuat Zafira mendongak menatap lekat netra atasannya itu.
"Pak Al ... "
"Sudah. Kau duduklah yang tenang di sini. Golongan darah kami sama, biar aku yang jadi pendonor. Jangan khawatir, anakmu akan baik-baik saja," ucap Alvian setelah membantu Zafira duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang UGD tersebut. Sebelum beranjak ke ruangan dokter, Alvian menepuk pelan puncak kepala Zafira sambil tersenyum berharap apa yang dilakukannya bisa sedikit menenangkan wanita yang diam-diam telah mencuri hatinya itu.
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...
suka2 entelah thor..😛