Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28~ UNBOXING BARANG BELANJAAN
"Maaf sebelumnya jika Pak Haris merasa dipermainkan. Tapi beginilah kenyataannya, yang diinginkan Vano itu adalah Cinta. Kenapa diawal kami terkesan ingin melamar Indri, itu karena Vano ingin membalas Indri yang sudah menghina Ibu dari anaknya, dengan cara mempermalukannya seperti ini."
"Apa maksud Pak Azka?" tanya papa Haris bingung dan juga nampak terkejut.
"Saya tidak tahu kenapa Cinta tidak pernah memberitahukan pada Pak Haris tentang kejadian yang menimpanya saat di luar kota. Tapi ketahuilah, Pak. Laura itu adalah anaknya Vano. Saat itu, Vano juga berada di luar kota, di kota yang sama dengan Cinta dan mereka juga menginap di hotel yang sama. Vano juga tidak tahu siapa yang telah mengerjainya dengan memasukkan alkohol dan obat perangsang kedalam minumannya, hingga dia berakhir meniduri Cinta. Tapi saat itu Vano kehilangan jejaknya,"
"Selama ini Vano mencari keberadaan Cinta dan ia baru menemukannya di kota ini yang ternyata bekerja sebagai Barista. Namun, ada kejanggalan yang dirasakan Vano sebab Cinta seperti tidak mengenalinya. Maka itulah Vano juga menyamar menjadi barista untuk mendekatinya,"
"Saat tahu jika ternyata Cinta telah memiliki anak, Vano langsung memiliki keyakinan jika anak itu adalah darah dagingnya. Dan itu terbukti setelah dia diam-diam melakukan tes DNA saat Laura dirawat di rumah sakit," tutur papa Azka menjelaskan lalu mengeluarkan hasil tes DNA dari dalam saku jasnya dan memberikan pada pak Haris.
Tubuh papa Haris seketika bergetar setelah melihat hasil DNA yang menyatakan bahwa Vano adalah ayah biologis Laura.
*****
Papa Haris mengusap sudut matanya yang berair kala teringat penuturan besannya saat di ruang kerjanya.
Sungguh, ia benar-benar tak menyangka jika putrinya telah mengalami kejadian yang begitu memilukan saat ia tugaskan ke luar kota. Selama ini, ia pikir putrinya memiliki pergaulan bebas yang menyebabkannya hamil diluar nikah.
"Tapi kenapa kamu harus berbohong sama Papa, Nak?" Papa Haris mengusap wajahnya seraya menghembuskan nafas panjang.
Saat pertama kali Cinta kembali dari luar kota setelah lebih dari satu tahun tinggal di sana dan membawa pulang seorang bayi, ia sangat marah saat Cinta mengatakan jika itu adalah bayinya.
Ketika ia bertanya siapa laki-laki yang telah menghamilinya, tapi Cinta hanya bilang bahwa laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab dan menghilang entah kemana.
Ia juga tidak tahu harus mencari kemana laki-laki itu sebab Cinta sama sekali enggan untuk memberikan petunjuk. Yang akhirnya, ia benar-benar murka sampai mengatakan akan mengeluarkan nama putrinya itu dari hak waris. Dan dihadapan putri kandungnya itu ia menunjuk Indri untuk menggantikannya memimpin perusahaan. Bahkan semua fasilitas yang dimiliki Cinta, ia tarik untuk membuatnya kapok agar tidak melakukan kesalahan yang sama lagi.
Setelah itu, setiap harinya ia jalani dengan kebimbangan dari dua sisi. Terkadang ia kasihan melihat putrinya harus bekerja menjadi seorang barista dengan gaji pas-pasan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan juga Laura. Namun, ia harus tega agar putrinya itu jera.
Pada suatu hari, dadanya serasa terhimpit bongkahan batu yang besar saat tak sengaja mendengar ucapan mbok Darmi, yang mengatakan jika Cinta kebingungan lantaran tidak memiliki biaya yang cukup untuk biaya berobat Laura.
Sepanjang malam ia kesulitan tidur karena memikirkan hal tersebut. Hingga akhirnya ia meminta seseorang untuk membayarkan biaya rumah sakit sekaligus pemindahan ruang rawat inap secara diam-diam dengan menggunakan nama Sean yang ia ketahui adalah bosnya Cinta di cafe.
"Papa tahu, kamu tidak pernah marah atau membenci Papa. Tapi Papa malu atas semua sikap dan perlakuan Papa padamu dan juga Laura," gumamnya.
.
.
.
"Jadi sekarang bagaimana, Ndri? Apa kamu hanya akan membiarkan Papa kembali ke perusahaan dan sama sekali tidak ada upaya untuk membujuk agar posisi kamu dikembalikan!"
Indri menarik sudut bibirnya mendengar celotehan sang mama. Ia begitu tenang menikmati makanannya, tidak seperti semalam yang benar-benar tersulut emosi saat papa Haris mengatakan akan kembali ke perusahaan.
"Mama gak usah khawatir. Papa sendiri nanti yang akan mengembalikan posisiku lagi. Dan sekarang aku tidak ingin memikirkan tentang perusahaan dulu, aku sedang memikirkan rencana lain."
Mama Ratih yang sejak tadi berdiri sambil mondar-mandir itu langsung menarik kursi dan duduk di hadapan putrinya. "Rencana apa? Rencana liburan seperti yang disarankan Papa, begitu!" Ia mendengus kesal. Disaat genting seperti ini, Indri masih memikirkan untuk liburan.
"Mama lihat saja nanti." Indri menarik sudut bibirnya membentuk seringai tipis.
Di sisi lain...
Mama Kinan dan papa Azka terperangah ketika anak dan menantunya pulang dengan membawa banyak sekali barang belanjaan.
"Ini kalian beli apa aja sih?" tanya mama Kinan yang penasaran, konyolnya ia sampai menghitung jumlah paper bag yang tersusun di lantai.
Cinta sampai meneguk salivanya, sedikit cemas kalau tiba-tiba mama mertuanya itu protes mereka belanja sebanyak itu.
"Cuma beli dua macam aja kok, Ma. Untuk Laura dan Mamanya," ucap Vano sambil mengambil alih menggendong Laura dari papa Azka.
"Oh. Kirain ada untuk Mama juga." Mama Kinan terkekeh, ia menyudahi menghitung paper bag yang jumlahnya lumayan banyak itu.
"Kalau Mama mau, ya minta beliin sama Papa dong," ujar Vano sambil melirik papanya.
"Kamu kan tahu, Van. Papa udah lama pensiun, gak ada kerjaan lagi. Ya mana punya duit," gurau papa Azka.
"Duh, kasihan." Vano terkekeh.
"Oh ya, Van. Gimana persiapan di hotel?" tanya papa Azka kemudian.
"Beres, Pa. Sudah diurus semuanya sama Kak Rian," jawab Vano.
"Syukurlah. Urusan sebar sebar undangan juga juga sudah diambil alih sama Aidan dan Fiona. Dan persiapan yang lainnya juga sudah diurus sama Tante Kia dan Om Denis. Dibantu juga sama Om Raka dan Tante Alesha. Om Erick dan Tante Ana juga turut bantu," kata papa Azka.
Vano tersenyum, ia merasa terharu atas antusias keluarganya. "Oh ya, Pa. Apa Vanessa gak bisa datang?" tanyanya. Sepupunya satu itu sudah cukup lama tinggal di luar negeri bersama suaminya.
"Entahlah. Nanti Papa tanyakan pada Om Raka. Tapi Papa juga gak yakin kalau Vanessa bisa datang, kerjaan suaminya cukup padat di sana."
Vano mengangguk. Ia kemudian menatap istrinya. "Yuk ke kamar, kita unboxing barang belanjaan kita," ajaknya. "Pak, Bik, tolong bawakan ke kamar ya," pintanya pada bi Ninik asisten rumah tangga dan pak Karyo satpam rumahnya.
"Siap, Den."
Cinta pun mengikuti suaminya yang berjalan lebih dulu menuju kamar sambil menggendong Laura.
Tak berselang lama. Deretan paper bag yang hanya berisi pakaian untuk Cinta dan Laura telah tertata rapi di lantai kamar.
Cinta sampai bingung harus membuka yang mana dulu. Bahkan ia sampai lupa tadi membeli apa saja dan tidak begitu memperhatikan apa saja yang diambil suaminya.
"Eits, yang ini bukanya nanti-nanti aja." Vano langsung merebut sebuah paper bag yang baru saja dipegang istrinya. Sejak di pusat perbelanjaan tadi ia sudah menandai paper bag tersebut.
"Kenapa emangnya?" tanya Cinta bingung.
"Gak apa-apa," ucap Vano sembari menahan senyum.