Hamil atau tidak, Danesh dengan tegas mengatakan akan menikahinya, tapi hal itu tak serta merta membuat Dhera bahagia.
Pasalnya, ia melihat dengan jelas, bagaimana tangis kesedihan serta raungan Danesh, ketika melihat tubuh Renata lebur di antara ledakan besar malam itu.
Maka dengan berat hati Dhera melangkah pergi, kendati dua garis merah telah ia lihat dengan jelas pagi ini.
Memilih menjauh dari kehidupan Danesh dan segala yang berhubungan dengan pria itu. Namun, lagi-lagi, suatu kejadian kembali mempertemukan mereka.
Akankah Danesh tetap menepati janjinya?
Bagaimana reaksi Danesh, ketika Dhera tetap bersikeras menolak lamarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#35. Bukan Halusinasi Atau Imajinasi••
#35
Malam beranjak merayap, menyelimuti hamparan bumi, setelah sepanjang hari disinari cahaya matahari. Tapi Danesh masih memaksa dirinya berkeliling kota, setiap sudut kota ia jelajahi, kerumunan ia datangi, berharap menemukan sosok yang tengah ia cari. Namun sia-sia karena Dhera tak terlihat dimanapun, yang membuat Danesh nyaris frustasi adalah kemungkinan Dhera akan menghilang lagi.
Jika urusan menyembunyikan diri, Danesh tak perlu meragukan kemampuan Dhera, karena wanita itu ahlinya. Jika Dhera mau, seumur hidup mereka tak akan pernah bertemu lagi.
Danesh kembali memacu mobilnya, rambutnya acak-acakan akibat jambakan. Wajahnya pun tak karuan bentuknya, karena sudah tak terhitung berapa kali ia menggosok bahkan menampar pipinya sendiri.
Kini ia paham bagaimana perasaan daddy Andre ketika mengisahkan asal-muasal ia tak ingin memiliki anak lagi, padahal mommy Bella sangat mendambakan seorang anak perempuan. Ternyata menghilangnya seorang istri itu seperti kehilangan separuh jiwa, meski separuh lagi masih bisa hidup, namun rasanya seperti raga yang tak lagi memiliki nyawa.
Sekali lagi, Danesh mencoba melakukan panggilan ke nomor Dhera, namun lagi-lagi Danesh hanya mendengar berita bahwa nomor yang sedang ia hubungi sedang tidak aktif.
Tanpa sadar Danesh meneteskan air mata, kenapa rasanya sesakit ini? Tak bisa ia bayangkan, tak mau lagi ia merasakan sakitnya ditinggalkan seseorang yang kini menjadi wanita paling berharganya setelah sang mommy. “Tidak, Aku tak akan membiarkanmu pergi meninggalkanku lagi, Aku harus menemukanmu, Sayang. Harus!” monolog Danesh.
Lelah tubuhnya, risau hati dan pikirannya, namun ia tak berani mengadu pada orang tua dan saudaranya, tak terbayang bagaimana nanti amukan kedua orang tuanya, kala mengetahui menantu baru mereka tiba-tiba hilang.
Hingga tanpa sadar Danesh menghentikan mobil di depan rumah, destinasi sekaligus harapan terakhirnya, ia ragu namun sangat berharap, Dhera berada di sana.
Tapi ketakutan kembali menghampiri, bagaimana kalau Dhera tak pulang ke rumah? Kemana lagi hendak dicari? Rasanya Danesh tak sanggup jika yang dia takutkan menjadi nyata.
Namun melihat cahaya dari dalam rumah membuat harapannya seolah menemukan sedikit pencerahan, Danesh segera mematikan mesin mobilnya, ia berjalan cepat seolah takut kehilangan mangsa.
Brak!
Klik!
Pintu rumah kembali menutup, disusul kemudian kunci otomatis bekerja, lampu menyala di ruang tengah dan ruang makan, namun Danesh tak menemukan siapapun di sana.
“Dhera … “ seru Danesh, berharap jika sang istri benar-benar menyahuti panggilannya.
Danesh menuju kamar yang kini bukan hanya menjadi kamarnya, tapi juga kamar sang istri.
Cahaya lampu tidur menyambut kedatangan Danesh, pandangannya seketika tertuju pada seseorang yang tengah meringkuk di kasur sambil memeluk bantal.
Danesh berjalan cepat menyeberangi ruangan, tubuhnya luruh bersimpuh di lantai seolah tak ada lagi hal yang mampu membuatnya bahagia selain menemukan keberadaan istrinya.
Entahlah, tapi kembali bertemu Renata, rasanya tak sebahagia ketika saat ini Danesh kembali bertemu Dhera, amukan dan omelannya secara tidak langsung adalah wujud dari rasa bahagianya. Dadanya berdebar tak karuan hanya karena berhasil menemukan wanita yang kini dan selamanya kelak akan menjadi separuh hidupnya.
Danesh bersimpuh di lantai, ia menangis tanpa suara, menatap wanita yang ia harap bukan fatamorgana semata. Telapak tangannya mencoba membelai pipi merona yang kini teramat sangat ia suka, dan tangisnya semakin menjadi ketika kehangatan yang berasal dari pipi Dhera terasa nyata, bukan hanya bayangan yang sewaktu-waktu hilang sekejap mata.
Entah berapa lama Danesh duduk bersimpuh di sana, bahagianya tak diungkapkan dengan tawa, namun dengan linangan air mata. Ia hanya diam, meletakkan dagunya di atas pembaringan, hingga wajahnya bisa berhadapan langsung dengan Dhera. Sekejap pun Danesh tak ingin terpejam, ia sangat takut jika apa yang ada di hadapannya kini tiba-tiba menghilang.
“Terima kasih, Sayang. Karena Kamu tak berpikir untuk pergi meninggalkanku,” bisik Danesh dengan lirih, nyaris tanpa suara seolah takut membangunkan Dhera.
•••
Entah berapa lama Danesh terlelap, pagi ini ia bangun dengan kaki yang nyaris mati rasa karena tidur dengan posisi duduk dengan kepala yang di sangga kedua lututnya.
Setelah menggeliat sesaat, Danesh kembali menoleh kebelakang, tempat seharusnya Dhera berada dalam balutan selimut hangat pembaringan mereka. Namun hatinya tiba-tiba mencelos ketika tak lagi mendapati Dhera di sana, jadi benarkah semalam hanya sebatas halusinasi? Lalu dimana Dhera sebenarnya?
Danesh berdiri ia keluar dari kamar, “Dhera … “
Mencari-cari di setiap ruangan yang ada di rumah tersebut. “Tolong jangan bercanda, Sayang. Katakan Kamu dimana? Dheraaa!!!” Akhirnya Danesh hanya bisa berteriak frustasi.
Kakinya mundur beberapa langkah, tubuhnya lemas hingga tanpa sadar punggungnya menabrak dinding yang dingin. Rupanya benar, jika semalam hanya imajinasinya saja.
“Ada apa? Kenapa pagi-pagi sudah teriak-teriak, gak jelas banget.”
Danesh menoleh, namun ia tak menjumpai siapapun selain ruangan kosong, fix sekarang Danesh merasa dirinya ghila, karena mendengar suara padahal orangnya tiada. Ia melangkah menghampiri asal suara Dhera. Dan …
Lampu kamar menyala terang, menggantikan temaram lampu tidur. Danesh mengucek matanya berkali-kali untuk memastikan pandangannya tidaklah salah.
Wanita itu sedang berdiri di tengah ruangan, mencabut kabel pengisi daya dari ponselnya. Rambutnya yang basah masih di gulung dengan handuk, dan tubuhnya berbalut bathrobe berwarna soft pink nan lembut.
Danesh berjalan cepat menghampiri Dhera, dipeluknya tubuh sang istri, untuk memastikan kali ini bukan imajinasi atau halusinasi, tapi nyata benar-benar ada. Menghidu aroma tubuhnya, merasakan perasaannya yang tiba-tiba hangat setelah semalam dipaksa beku layaknya gumpalan es batu. “Kamu kemana saja, Sayang?”
“Aku? Memang Aku kemana?” gumam Dhera bingung, perasaan dirinya tak kemana-mana, hanya pulang ke rumah saja.
“Aku bingung, Aku marah, memaki diriku sendiri karena merasa telah membiarkanmu pergi dariku!” raung Danesh, semakin lama ia semakin mengeratkan pelukannya.
“Kamu ngomong apa sih?” Dhera semakin bingung.
“Kamu hilang!! Tahu tidak?!” tanya Danesh, setelah melepaskan pelukannya.
Dhera tercengang, “Tidak tahu.”
“Kenapa bisa tidak tahu?!”
“Ya mana Aku tahu, aku hanya pulang ke rumah, makan, lalu ketiduran setelah selesai mandi, padahal Aku berniat menghubungimu.”
Jawaban yang sungguh polos, membuat Danesh ingin menangis tapi juga ingin menertawakan kebodohannya sendiri. Akhirnya ia menumpahkan tangisnya.
“Maafkan Aku sudah membentakmu kemarin, sungguh Aku tak bermaksud begitu, Aku hanya mengkhawatirkanmu dan anak-anak kita.” Danesh kembali meraung, menumpahkan tangisnya.
“Aku memang kesal padamu kemarin, tapi Aku tak kepikiran untuk pergi. Sepertinya itu bisa jadi ide baruku, jika nanti Kamu marah-marah lagi tak jelas karena apa, Aku akan minggat saja dari rumah, biar dicari sama Kamu. Aku brilliant, kan?” cetus Dhera tanpa rasa bersalah.
“Dheraaaaaa … “ rengek Danesh, membuat Dhera tertawa geli.
“Udah ah, sana mandi, Kamu bau keringat.”
“Aku berkeringat karena lelah mencarimu,” bantah Danesh.
“Karena sekarang sudah ketemu, sana mandi!” usir Dhera.
“Cium dulu,” pintanya.
“Nggak mau!” Dhera berjalan menjauh.
“Sayang … cium dulu baru aku mandi … “
“Nggak boleh cium, kalau belum mandi.”
“Tapi, tanpa mandi pun aku masih ganteng loh.”
“Iya, Dilihat dari gunung himalaya pake sedotan buntu.”
Hayo Bastian sekarang dah mulai ada rasa sama teman satu teamnya, yg awalnya sempat ragu, sekarang mulai posesif saat temannya yg flamboyan pingin dekatinya 🤭😁😍😍
Marco berusaha santai meski deg2an ketemu sama Bu Rita , untung masih ada papa Andre & pak Rendi 🤔😇😇
Selamat berjuang bang Qomar,pasti bnyk yg dukung termasuk daddy Andre💪
buat Bastian,sabar Bas sabar🤭
Selamat untuk Dhanesh & Dheera...
Sehat" yaa kalian.....
wow...wow.....
Bastian cemburu euy.....🤣🤣🤣🤣🤣
Paling mulutnya yang rame macam petasan