NovelToon NovelToon
Pernikahan Tanpa Pilihan

Pernikahan Tanpa Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Cinta Paksa
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.

Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.

Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PTP Episode 15

Keesokan paginya, Calvin akhirnya memutuskan untuk kembali ke kantor. Setelah berminggu-minggu mengurung diri dalam duka, ia tahu tidak bisa terus seperti ini. Hidup harus berjalan, meskipun rasa kehilangan itu masih menghantui setiap langkahnya.

Ia mengenakan kemeja hitam dan jas abu-abu, tampak rapi seperti biasa, tetapi sorot matanya masih kosong. Saat turun ke ruang makan, Ny. Lisna menyambutnya dengan senyum lega.

"Kau berangkat kerja hari ini?" tanyanya, seakan ingin memastikan.

Calvin hanya mengangguk kecil, mengambil secangkir kopi tanpa berkata apa-apa.

Tuan Bastian menatap putranya dengan penuh harapan. "Bagus. Semakin cepat kau kembali ke rutinitas, semakin baik untukmu."

Calvin hanya menyesap kopinya tanpa membalas. Ia tahu orang tuanya mengkhawatirkannya, tetapi ia belum siap untuk membicarakan perasaannya.

Setelah sarapan singkat, ia mengambil kunci mobil dan keluar dari rumah. Udara pagi masih terasa dingin, seakan mencerminkan hatinya yang masih beku.

Sesampainya di kantor, para karyawan yang melihatnya tampak terkejut. Beberapa rekan kerja menghampirinya, menanyakan kabar dengan nada hati-hati.

"Senang melihatmu kembali, Vin," ujar salah satu temannya, Arman. "Kami semua merindukanmu di sini."

Calvin hanya mengangguk kecil. "Terima kasih."

Ia melangkah ke ruangannya, menutup pintu, dan menghela napas panjang. Duduk di kursi kerjanya, ia menatap meja yang masih dipenuhi dokumen sebelum ia pergi.

Kembali bekerja mungkin bisa membantunya melupakan, atau setidaknya mengalihkan pikirannya sejenak.

Namun, bisakah ia benar-benar melanjutkan hidup?

Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya, bahkan saat ia mencoba fokus pada pekerjaannya.

Calvin mencoba membaca dokumen di hadapannya, tetapi pikirannya terus berkelana.

Kata-kata di atas kertas tampak buram, tidak ada satu pun yang benar-benar masuk ke dalam kepalanya. Setiap kali ia mencoba fokus, pikirannya justru kembali ke Hazel, wajahnya, suaranya, senyumnya yang kini hanya tinggal kenangan.

Tangannya menggenggam pena, tetapi tidak bergerak. Ia mendesah pelan, bersandar ke kursi, menutup mata sejenak. Rasa sesak kembali menghantam dadanya. Ia pikir dengan kembali bekerja, ia bisa melupakan sejenak, tetapi justru sebaliknya, ruang ini terasa begitu sunyi, membuatnya semakin sadar bahwa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya.

Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Calvin membuka mata dan melihat sekertarisnya masuk dengan hati-hati, sambil membawa beberapa dokumen.

Nadine meletakkan dokumen di meja dengan ragu-ragu, seakan takut mengganggu.

"Pak Calvin, ini laporan yang perlu Anda tinjau hari ini," katanya dengan suara lembut.

Calvin menatap tumpukan kertas itu sejenak sebelum mengangguk. "Terima kasih, Nadine. Letakkan saja di sana."

Nadine masih berdiri di tempatnya, tampak ragu untuk pergi. "Ooh iya, Pak. Nanti pukul sebelas, ada meeting dengan klien utama. Anda harus hadir, mereka ingin langsung bertemu dengan anda, Pak."

Calvin menghela napas dan mengangguk pelan. "Baik, nanti saya akan hadir."

Nadine masih tampak ragu, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi akhirnya ia memilih untuk diam dan keluar dari ruangan.

Calvin melirik jam di dinding. Masih ada satu jam sebelum rapat. Ia mencoba kembali membaca laporan, tetapi pikirannya tetap tidak bisa fokus.

Ia menyandarkan kepala ke kursi, menutup mata sejenak.

Lalu, suara tawa Hazel terngiang di telinganya. Kenangan itu terasa begitu nyata. Cara Hazel selalu menyemangatinya saat ia lelah, bagaimana ia tersenyum bangga setiap kali Calvin menyelesaikan proyek besar.

Calvin membuka mata cepat-cepat, berusaha mengusir ingatan itu.

Ia harus bisa melewati hari ini. Harus.

Setelah beberapa menit mencoba menenangkan diri, Calvin akhirnya mengambil dokumen di hadapannya dan mulai membaca dengan serius. Jika ia tidak bisa menghilangkan rasa sakitnya, setidaknya ia bisa menenggelamkan diri dalam pekerjaan.

Waktu berlalu tanpa ia sadari. Sebentar lagi pukul sebelas. Dengan napas panjang, Calvin melangkah menuju ruang rapat dengan langkah mantap, meskipun hatinya masih terasa berat.

Setiap tatapan yang tertuju padanya seolah penuh simpati, membuatnya semakin sadar bahwa semua orang tahu tentang kehilangan yang ia alami.

Sesampainya di ruang rapat, beberapa eksekutif dan anggota tim sudah duduk rapi, menunggu kehadirannya. Nadine langsung menghampiri, menyerahkan agenda meeting dengan ekspresi profesional.

"Klien sudah datang dan menunggu, Pak," katanya pelan.

Calvin mengangguk dan menarik napas dalam sebelum duduk di kursinya. Beberapa menit kemudian, pintu terbuka, dan seorang wanita melangkah masuk bersama timnya.

Ia tampak percaya diri, mengenakan setelan bisnis berwarna biru tua, rambutnya tertata rapi, dan sorot matanya tajam. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Calvin terdiam sejenak.

Wanita itu mengulurkan tangan dengan senyum profesional.

"Selamat pagi, saya Alana Wijaya, perwakilan dari Wijaya Group," katanya.

Calvin terdiam beberapa detik sebelum menjabat tangannya.

"Calvin Bastian," balasnya singkat.

Meskipun pertemuan ini bersifat bisnis, ada sesuatu dalam tatapan Alana yang terasa berbeda. Seolah ia bisa melihat sesuatu di dalam diri Calvin yang tidak bisa dilihat orang lain.

Dan entah mengapa, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Calvin merasa sedikit terusik.

"Silakan duduk, dan langsung saja kita mulai," ujar Calvin dengan nada tegas, mencoba mengalihkan pikirannya dan fokus pada pertemuan.

Alana mengangguk kecil, lalu duduk di kursinya dengan penuh percaya diri. Tim dari Wijaya Group juga segera mengambil tempat mereka, sementara Nadine membagikan dokumen kepada semua peserta rapat.

"Baik, saya sudah membaca proposal yang dikirim sebelumnya," Calvin membuka pembicaraan. "Namun, ada beberapa poin yang ingin saya diskusikan lebih lanjut."

Alana mengangguk. "Tentu, Pak Calvin. Kami juga sudah menyiapkan beberapa opsi tambahan yang mungkin lebih sesuai dengan kebutuhan perusahaan Anda."

Diskusi pun dimulai. Alana menjelaskan proposal mereka dengan lugas, sesekali menanggapi pertanyaan dari Calvin dan timnya dengan jawaban yang tajam dan terarah.

Namun, di sela-sela perbincangan itu, Calvin tidak bisa mengabaikan sesuatu yang aneh. Cara Alana berbicara, gestur tangannya, bahkan ekspresi wajahnya, semua terasa begitu familiar.

Sesaat, Calvin merasa seperti sedang berbicara dengan seseorang yang pernah ia kenal.

Pikirannya sempat teralihkan, tetapi ia segera mengembalikan fokusnya ke pembicaraan.

"Jadi, kesimpulannya, kami bisa menyesuaikan kontrak ini dengan beberapa perubahan yang sudah kita bahas," kata Alana di akhir presentasinya.

Calvin mengangguk. "Baik. Saya akan mempertimbangkan dan memberi keputusan dalam waktu dekat."

"Baik, kami tunggu kabar dari Anda," ujar Alana dengan senyum profesional.

Pertemuan pun selesai. Semua orang mulai berkemas, tetapi Calvin tetap duduk, memperhatikan Alana yang tengah berbicara dengan timnya.

Begitu Alana melangkah keluar, dan tersenyum tipis kepada Calvin, Arman menepuk bahu Calvin begitu mereka benar-benar sudah keluar dari ruang rapat. "Ayo, makan siang bareng. Udah lama kita nggak nongkrong bareng, Vin."

Calvin melirik jam tangannya. Pukul dua belas lebih sedikit. Biasanya, ia akan menerima ajakan itu tanpa pikir panjang, tapi hari ini… ia hanya ingin sendiri.

"Maaf, Man. Aku nggak lapar," jawab Calvin singkat.

Arman menghela napas, menatap sahabatnya dengan prihatin. "Vin, lo nggak bisa terus kayak gini. Gue ngerti lo masih berduka, tapi setidaknya lo harus makan dengan bener."

Calvin tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja."

Arman menghela napas, tapi ia tahu tidak ada gunanya memaksa. "Oke, kalau gitu gue nggak maksa. Tapi kalau lo butuh teman ngobrol, lo tahu di mana nyari gue."

Calvin hanya mengangguk sebelum berjalan kembali ke ruangannya.

Setelah menutup pintu, ia membiarkan dirinya bersandar sebentar. Kepalanya terasa penuh. Pertemuan tadi, cara Alana berbicara, ekspresi wajahnya, semuanya masih mengganggu pikirannya.

******

Sartika menunduk, tangannya gemetar saat merogoh tas wanita tua itu. Hatinya berdebar kencang, tapi ia tahu, jika tidak melakukan ini, ia tidak akan bisa makan hari ini.

Namun, tepat saat jemarinya menyentuh dompet, suara berat menggema di belakangnya.

“Jangan kabur, dasar wanita sampah!”

Sartika terperanjat. Ia menoleh dan melihat seorang pria bertubuh besar berdiri dengan wajah marah. Wanita tua itu juga menatapnya dengan mata terkejut, seolah baru menyadari bahwa seseorang tengah mencuri darinya.

Sartika panik. Ia langsung melepaskan dompet itu dan berlari secepat mungkin. Namun, pria tadi lebih cepat. Tangannya yang kuat mencengkeram pergelangan Sartika, membuatnya tersentak ke belakang.

"Maaf... maafkan aku," lirihnya, napasnya memburu.

Pria itu tidak segera melepaskannya. Matanya menatap tajam, penuh kemarahan dan penghinaan. "Sudah jatuh ke dasar, masih juga mencuri? Apa kau tidak punya harga diri?"

Sartika menelan ludah. Air matanya menggenang. Ia ingin menjelaskan, ingin mengatakan bahwa ia tidak punya pilihan. Tapi siapa yang peduli? Bagi mereka, ia hanya seorang gelandangan yang hina.

Wanita tua itu akhirnya bersuara, suaranya gemetar, "Biarkan dia pergi..."

Pria itu menoleh, tampak tidak percaya. "Dia mencoba mencuri darimu, Nek!"

Wanita tua itu mengangguk pelan. "Tapi aku tidak apa-apa. Aku masih punya uang... mungkin dia lebih membutuhkan."

Sartika menatap wanita itu dengan mata berkaca-kaca. "Saya... saya benar-benar minta maaf..."

Wanita itu tersenyum samar. "Pergilah, Nak. Carilah jalan yang lebih baik."

Sartika tidak perlu diberi tahu dua kali. Ia menunduk dalam, lalu berlari

meninggalkan tempat itu.

Berjalan tanpa arah, pikirannya berkecamuk. Ia tidak tahu harus ke mana, tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Rasa malu masih menggerogoti hatinya, bahkan seorang wanita tua lebih bermurah hati daripada dirinya sendiri.

Langkahnya gontai, napasnya pendek-pendek, dan pikirannya masih melayang entah ke mana.

Lalu...

DENG!

Bunyi klakson keras membuyarkan lamunannya. Sartika menoleh dan matanya melebar.

Sebuah mobil melaju ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Ia terlalu terkejut untuk bergerak.

Ciiittt!

Ban mobil berdecit keras saat pengemudi menginjak rem mendadak. Sartika terhuyung ke belakang, jatuh terduduk di aspal. Jantungnya berdebar kencang, tubuhnya gemetar.

Mobil itu berhenti hanya beberapa sentimeter darinya.

Pintu pengemudi terbuka dengan kasar, dan seorang pria turun dengan ekspresi murka.

“Apa kau tidak punya mata?!” bentaknya.

Sartika masih terengah-engah, matanya menatap pria itu, dan seketika, ia membeku.

Pria itu tinggi, mengenakan jas abu-abu yang terlihat mahal. Wajahnya tampan, tapi sorot matanya gelap, penuh kemarahan dan, mungkin sedikit keterkejutan.

Sartika tidak mengenalnya.

Tapi Calvin mengenali Sartika.

Ia tidak pernah melihat wanita ini sebelumnya, tetapi penampilannya yang lusuh dan ekspresi kosongnya mengingatkannya pada seseorang, pada dirinya sendiri beberapa waktu lalu.

Calvin menghela napas panjang, berusaha meredam emosinya. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya lebih tenang, meskipun nada ketus masih terdengar dalam suaranya.

Sartika hanya mengangguk lemah. Lututnya terasa lemas, dan ia tidak yakin bisa berdiri dengan benar.

Calvin menatapnya sesaat, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia membalikkan badan, kembali ke mobilnya.

Namun, sebelum ia sempat masuk, sesuatu dalam dirinya menahannya.

Ia menoleh lagi, melihat Sartika yang masih terduduk di aspal dengan tatapan kosong.

Lalu, untuk alasan yang bahkan ia sendiri tidak mengerti, ia bertanya, “Mau kubantu berdiri?”

1
atik
lanjut thor, semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!