Satu tahun lalu, dia menolong sahabatnya yang hampir diperkosa pria asing di sebuah Club malam. Dan sekarang dia bertemu kembali dengan pria itu sebagai Bosnya. Bagaimana takdir seperti ini bisa terjadi? Rasanya Leava ingin menghilang saja.
Menolong sahabatnya dari pria yang akan merenggut kesuciannya. Tapi sekarang, malah dia yang terjebak dengan pria itu. Bagaimana Leava akan melewati hari-harinya dengan pria casanova ini?
Sementara Devano adalah pria pemain wanita, yang sekarang dia sudah mencoba berhenti dengan kebiasaan buruknya ini. Sedang mencari cinta sejatinya, namun entah dia menemukannya atau tidak?
Mungkinkah cintanya adalah gadis yang menamparnya karena hampir memperkosa sahabatnya? Bisakah mereka bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Yang Terlanjur Ada
Siang ini setelah beres-beres Kosan dan memasak untuk makan siang. Leava baru bisa tiduran dengan memainkan ponsel. Ada beberapa pesan masuk dari beberapa grup dan dari Kirana. Leava membuka pesan yang di kirim tadi malam, tapi karena dirinya sudah tidur dan belum sempat membuka ponsel sampai siang ini. Jadi pesannya belum sempat dia buka.
Sebuah foto yang di kirimkan oleh Kirana, segera Leava melihatnya. Ternyata itu adalah sebuah hasil gambar layar dimana Kirana sedang lakukan panggilan video dengan seorang pria.
Tangan Leava langsung bergetar saat melihat pria itu. Membaca pesan yang di kirim Kirana atas foto itu.
Lihat deh Le, ganteng banget 'kan? Gimana gue gak suka coba?
Ponsel Leava langsung jatuh ke atas tempat tidurnya. Air mata ikut luruh begitu saja, entah kenapa. Namun, Leava merasakan sakit yang teramat di hatinya saat ini.
"Ya Tuhan, jadi pria yang dijodohkan sama Kirana adalah Tuan Devan"
Leava masih begitu terkejut dengan kenyataan ini. Bagaimana dia bisa berada dengan situasi seperti ini. Bahkan Kirana sepertinya belum tahu jika Bosnya Lea adalah Devan.
"Tenang Lea, jangan seperti ini. Lo cuma Sekretarisnya, jadi kenapa harus sakit seperti ini. Lagian Tuan Devan cuma Bos lo, kenapa harus sedih. Biarkan saja Kirana bahagia sama pria pilihannya"
Leava mengusap air mata yang terus mengalir di pipinya. Dia juga tidak mengerti kenapa bisa sampai seperti ini. Rasa sakit di hatinya benar-benar terasa, entah karena apa?
"Bodoh! Kenapa menangis seperti ini? Hiks.. Tuan Devan cuma Bos lo, Leava. Jangan punya perasaan lebih. Tapi...Hiks.. Kenapa gue gak rela. Hati gue sakit"
Leava malah semakin terisak dengan kebingungannya sendiri atas perasaannya ini. Dia terlonjak kaget saat ponselnya berdering, benar saja yang menelepon adalah Kirana. Leava langsung mengusap kasar sisa air mata di pipinya, sebelum mengangkat telepon dari Kirana.
"Em, iya Ki?"
"Lea, lo udah lihat 'kan? Gimana menurut lo? Ganteng banget 'kan? Oh ya, gue baru tahu dari Asistennya kalau ternyata dia dari Perusahaan ERC Coporation. Duh, bodoh banget karena gue gak cari tahu apapun tentang dia"
Leava terdiam, dia mengusap kembali air mata yang lolos begitu saja membasahi pipinya. "I-iya, gue juga kaget kalau ternyata itu adalah Tuan Devan. Memangnya pas kenalan, lo gak tanya dia kerja dimana?"
"Enggak. Pas awal ketemu, dia dingin banget. Kayak gak mau bicara gitu. Sebenarnya sampe sekarang juga masih dingin si. Tapi, guenya aja yang gak mau menyerah. Oh ya, lo tahu dia?"
Leava terdiam, menahan isak tangis yang tak tertahankan. Dia tidak ingin sahabatnya tahu tentang ini. "Em, sebenarnya dia yang jadi..."
"Eh, Lea, ada yang datang. Udah dulu ya. Nanti gue telepon lagi"
Sambungan telepon terputus, Leava menatap layar ponsel dengan menghembuskan nafas berat. Rasanya nafas dia begitu berat sekarang. Sesak di dadanya semakin menjadi.
"Maafin gue Ki, tapi gue bakal berusaha untuk tetap profesional dengan pekerjaan. Gue janji gak bakal rebut dia dari lo"
*
Jam 7 malam, Devan datang menjemput Leava di Kosnya. Leava sudah siap dan menunggu di depan halaman Kosan. Kali ini dia tidak bisa setenang dulu ketika berdekatan dengan Devan. Karena dia tahu jika pria ini yang sering diceritakan sahabatnya.
"Sudah siap? Ayo kita pergi"
Devan meraih tangan Leava dan mengenggamnya lembut, namun gadis itu langsung melepaskannya dengan perlahan. Membuat Devan sedikit bingung, karena biasanya Leava akan mau saja ketika dia gandeng seperti ini.
"Em, saya bisa sendiri Tuan" ucapnya dengan tersenyum yang dipaksakan.
Devan akhirnya mengangguk saja, tidak terlalu ambil pusing tentang kejadian barusan. Devan memilih membukakan pintu mobil untuk Leava, dan gadis itu langsung masuk dengan mengucapkan terima kasih.
Mobil mulai melaju, sudah hampir setengah perjalanan, tapi benar-benar tidak ada suara yang keluar dari Leava. Tidak biasanya gadis itu jadi pendiam. Dia hanya fokus pada ponsel saja, entah sedang berkirim pesan dengan siapa.
Dia berkirim pesan dengan siapa? Apa mungkin pacarnya?
Disini, malah Devan yang menduga-duga. Melihat Leava yang jadi pendiam dan hanya fokus pada ponsel, membuatnya tidak nyaman. Tangannya mencengkram kemudi erat, ketika dia membayangkan Leava memang sedang berkirim pesan dengan pacarnya.
Sial, aku cemburu hanya karena membayangkan saja.
Mobil terparkir di basement sebuah Gedung. Devan tidak langsung keluar, dia masih menatap Leava yang diam saja selama perjalanan. Membuat dia tidak bisa lagi menahan diri. Devan menarik tangan Leava agar gadis itu langsung menoleh padanya.
"Kamu kenapa? Seperti sedang menghindariku?" ucap Devan dengan menatap matanya lekat.
Leava terdiam dengan jantung berdetak kencang. Dia mencoba untuk membalikan tubuhnya, namun Devan langsung menahan bahunya. Memegang kedua bahu Leava dan menguncinya.
"Tuan, saya hanya sedang tidak mood bicara saja. Lagian kenapa juga saya harus menghindari anda? Memangnya ada masalah apa diantara kita? Kan kita memang tidak ada masalah" ucap Leava dengan memalingkan tatapannya, tidak ingin saling bertatap langsung dengan Devan.
Devan terdiam, memang benar jika mereka tidak mempunyai masalah apapun. Tapi, tetap saja Devan merasa jika Leava sengaja menghindarinya sekarang ini.
"Aku tidak suka kau diamkan seperti ini!" tekan Devan.
Leava terdiam sejenak, tatapannya masih menunduk. Sangat tidak ingin menatap langsung mata Devan, karena dia yakin pendiriannya akan goyah. Dia menghembuskan nafas pelan sebelum berani berkata lagi.
"Tuan, saya punya urusan pribadi saya sendiri. Yang terkadang merusak mood saya. Jadi, saya diam juga tidak melanggar aturan sebagai Sekretaris anda 'kan? Memangnya saya harus terus bicara tidak jelas. Kalaupun ada pekerjaan dan ada yang ingin saya bicarakan, saya pasti bicara"
Leava melepaskan tangan Devan yang berada di bahunya, langsung berbalik dan membuka pintu mobil. Leava segera keluar dari mobil. Berdiri diam dengan memegang dadanya yang sesak. Setetes air mata langsung meluncur begitu saja yang segera dia usap kasar dengan punggung tangannya.
"Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Perasaan ini terlanjur ada, dan aku tersakiti sekarang" gumamnya pelan.
Sementara di dalam mobil, Devan masih begitu terkejut dengan ucapan Leava barusan. Dia mengusap wajah kasar. "Kau bukan hanya Sekretaris yang membahas pekerjaan saja denganku. Seharusnya kau sadar akan itu"
Devan memukul kemudi, kesal sendiri dengan keadaan saat ini. Dia menghembuskan nafas kasar. Mencoba menenangkan diri, tidak seharusnya dia bersikap seperti itu pada Lea. Karena pastinya gadis itu akan kebingungan, sementara mereka memang hanya sebatas Atasan dan bawahan saja.
Devan keluar dari mobil, menghampiri Leava yang masih berdiri diam menunggunya. "Ayo masuk, jangan cemberut seperti itu. Nanti orang-orang mengira aku sudah melakukan hal buruk padamu"
Leava hanya mengangguk saja, kali ini dia tidak menolak ketika Devan menggandeng tangannya.
Bersambung