"Kak Zavin kenapa menciumku?"
"Kamu lupa, kalau kamu bukan adik kandungku, Viola."
Zavin dan Viola dipertemukan dalam kasus penculikan saat Zavin berusia 9 tahun dan Viola berusia 5 tahun. Hingga akhirnya Viola menjadi adik angkat Zavin.
Setelah 15 tahun berlalu, tak disangka Zavin jatuh cinta pada Viola. Dia sangat posesif dan berusaha menjauhkan Viola dari pacar toxic-nya. Namun, hubungan keduanya semakin renggang setelah Viola menemukan ayah kandungnya.
Apakah akhirnya Zavin bisa mendapatkan cinta Viola dan mengubah status mereka dari kakak-adik menjadi suami-istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Zavin memandang Viola yang terlihat pucat dan ketakutan. Ia meraih lengan gadis itu dengan lembut, kemudian menariknya ke dalam pelukan hangatnya. "Viola, jangan takut, ada aku di sini." Perlahan, tangannya bergerak mengusap punggung Viola, berharap sentuhan itu bisa meredakan kegelisahan yang tampak jelas di wajahnya.
Viola menghela napas panjang, seolah-olah berusaha menyingkirkan rasa takut yang mulai menguasai dirinya. "Aku ingat sesuatu..." suaranya terdengar lirih, hampir seperti bisikan. "Waktu kecil, aku berdiri di depan panti ini dan menangis sambil memanggil Mama. Aku tidak mau masuk, aku ingin mencari Mama, tapi..." Kata-katanya tiba-tiba berhenti. Ia terdiam, mencoba mengingat lebih banyak, tetapi hanya bayangan samar itu yang menghantam pikirannya.
Zavin semakin mengeratkan pelukannya agar dia lebih tenang. "Sudah, jangan dipaksa untuk mengingat," katanya lembut. Ia terus mengusap punggung Viola, memberikan ketenangan pada Viola. Perlahan, napas Viola mulai teratur, dan ketegangannya berkurang.
Setelah beberapa saat, Viola perlahan melepaskan diri dari pelukan Zavin. "Itu berarti ... Mama memang meninggalkanku di panti ini," gumamnya. Ia melangkah maju dan menatap bangunan panti asuhan yang sudah lama ditinggalkan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Viola berjalan menuju panti dan melewati rumput liar yang tinggi.
"Viola, hati-hati!" Zavin segera menyusul Viola. Ia meraih tangan Viola dan menariknya sedikit ke belakang, mencoba memimpin jalan di antara rerumputan yang tumbuh liar dan tak teratur. Langkah mereka terasa lambat dan berat, namun akhirnya mereka sampai di depan pintu panti yang terkunci.
Gembok tua yang tergantung di pintu itu sudah usang, tertutup karat seiring waktu yang berlalu. Zavin meneliti gembok itu sejenak, lalu ia mengambil batu dari tanah. Dengan beberapa pukulan kuat, gembok itu akhirnya patah dan membiarkan pintu kayu tua itu terbuka dengan suara derit yang nyaring.
Debu-debu beterbangan dari balik pintu, membuat Viola terbatuk-batuk. Hawa dingin dan pengap menyeruak dari dalam bangunan itu, seolah-olah menyimpan sisa-sisa kehidupan yang pernah ada di sana.
"Jadi ... kita masuk?" tanya Zavin, sorotan cahaya dari ponselnya menembus kegelapan di dalam.
Viola menelan salivanya, lalu mengangguk pelan. Meski tubuhnya bergetar ketakutan, rasa penasaran mendorongnya untuk melangkah lebih jauh. Di dalam sana, mungkin ada petunjuk keberadaan orang tuanya.
Dengan hati-hati, mereka melangkah masuk. Barang-barang yang berserakan menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang pernah ada di tempat itu, tetapi sekarang semua telah hancur oleh waktu. Suasana di dalam benar-benar sunyi, hanya suara langkah mereka yang terdengar di lantai yang penuh debu itu.
Zavin mulai merasa gelisah. Keringat dingin muncul di dahinya. Suasana gelap dan pengap di dalam panti itu mengingatkannya pada kenangan buruk penculikan yang pernah menimpanya. Tapi, ia berusaha keras menahan semua itu. Saat ini, yang paling penting adalah melindungi Viola.
Zavin menghentikan langkahnya di depan sebuah ruangan. "Sepertinya ini kantornya," gumamnya pelan, matanya menelusuri interior yang penuh debu. Ruangan itu dipenuhi meja-meja kayu tua, rak-rak yang hampir roboh, dan beberapa loker berkarat.
Ia berjalan mendekati jendela yang tertutup rapat, membuka kuncinya dengan sedikit usaha, lalu menggesernya perlahan. Cahaya matahari langsung menerobos masuk dan menerangi ruangan yang sebelumnya redup. Udara segar juga mengalir dan mengusir aroma pengap yang sudah lama bertahan.
Di sisi lain, Viola sedang memeriksa deretan buku-buku yang tersusun tak rapi di atas rak. Tangannya terulur, mengambil salah satu buku yang terlihat lapuk. "Buku ini penuh data anak-anak panti," katanya pelan, membuka halaman-halaman yang sebagian besar sudah usang.
Zavin mengernyit dan memungut sebuah buku lain dari lantai yang hancur terkena rayap. Begitu ia mengangkatnya, debu-debu bertebaran di udara dan membuatnya terbatuk. "Bukunya sudah banyak yang dimakan rayap," keluhnya, sambil meletakkan buku yang nyaris tak berbentuk itu ke meja.
Viola melenguh panjang, rasa frustasi terlihat jelas di wajahnya. Pencarian itu terasa sia-sia. "Aku rasa tidak ada petunjuk apa pun di sini. Semua ini sudah terlalu lama. Bahkan, pengurus panti yang dulu saja sudah hilang tanpa jejak."
Zavin mengangguk. "Kita masih bisa cari info lain. Mungkin saja panti ini pindah dan buka dengan nama baru," ujarnya, mencoba memberi harapan. Saat ia hendak melangkah pergi, kakinya secara tak sengaja menendang sesuatu di bawah meja. Suara benda kayu yang terjatuh membuatnya menoleh.
Zavin membungkuk dan melihat sebuah kotak kayu kecil yang berdebu tergeletak di lantai. Penasaran, ia mengambilnya dan membuka penutupnya perlahan. Di dalamnya, tersimpan beberapa foto lama yang usang dan sebuah kalung dengan liontin kecil. “Viola, lihat ini.”
Viola mendekat, matanya terbelalak saat melihat kalung itu. Tangannya bergetar ketika ia mengambilnya dari kotak. "Viola? Ini milikku," katanya terkejut. Kemudian ia mengambil foto yang buram dan memicingkan mata, mencoba mengenali gambar di dalamnya. "Tapi fotonya sudah tidak jelas … Apakah ini Mama?"
"Aku bisa perbaiki foto ini nanti." Ia kembali memasukkan barang-barang itu ke dalam kotak dan menutupnya rapat. "Sekarang, lebih baik kita keluar dari sini."
Zavin menggandeng tangan Viola dan membawanya keluar dari panti asuhan itu. Mereka melewati semak belukar yang merambat di sepanjang jalan dan pagar yang sudah lapuk berkarat.
Langkah mereka berhenti saat melihat empat pria yang sedang bersandar di mobil Zavin.
Jantung Viola berdegup dengan kencang. Ia bersembunyi di belakang Zavin karena merasa takut.
Salah satu dari mereka melangkah maju, dengan senyum miring di wajahnya. "Akhirnya kamu mengingatnya, Nona Viola ...."
Thanks Mbak Puput
Ditunggu karya selanjutnya ❤️
perjuangan cinta mereka berbuah manis...
Semoga cepat menghasilkan ya, Zavin
semoga cepat diberi momongan ya ..
udah hak Zavin...
😆😆😆