Jika tak percaya adanya cinta pada pandangan pertama, Rayyan justru berbeda, karena semenjak melihat Mbak Tyas, dia sudah langsung menjatuhkan hati pada perempuan cantik itu.
Dan dia Rayyan Asgar Miller, yang jika sudah menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan cepat.
"Ngapain masih ngikutin? Kan tadi udah aku bayarin minumannya tah!?"
"Bayarannya kurang Mbak!" Rayyan menyengir lalu menunjukkan sebelah pipinya. "Kiss sepuluh kali dulu, baru aku anggap impas."
"Astaghfirullah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DB DUA BELAS
"Eeeeh, pengantin baru..." Ibu ibu yang belanja sayur segera menoleh ke arah di mana Tyas baru saja tiba dengan senyumannya.
Tyas masih harus mengadakan tahlilan yasinan yang ke dua hari makanya dia datang pagi pagi untuk belanja bahannya.
Tyas juga akhirnya terpaksa memakai uang yang Rayyan berikan. Nafkah pertama dari Rayyan yang semalam tidur di kamarnya sendirian karena Tyas terpaksa harus tidur di kamar Dimas saking takutnya pada pemuda itu.
Konyol memang, tapi Tyas belum ingin bersentuhan dengan Rayyan. Orang yang sampai detik ini masih asing baginya.
"Gimana malam pertamanya, Yas?" Satu ibu ibu cengengesan bertanya, Tyas hanya membalasnya dengan tersenyum kecil.
Satu ibu lagi menimpalinya. "Suaminya ganteng, pasti Tyas nggak mau udahan."
Semua orang tertawa, kecuali satu ibu ibu yang di ujung. Dia ibunya Laras yang masih sepupu dari Bapaknya Tyas.
Justru Wanita bernama Gendhis itu menarik sudut bibirnya ke atas. "Heleh, percuma suami ganteng kalo pengangguran!"
Tyas diam saja, dia memang tak pernah mau meladeni omongan orang. Apa lagi Gendhis yang tiada hari tanpa mencemoohnya.
"Emangnya suami ganteng kamu itu beneran nganggur tah, Yas?!" tanya ibu di sisi Tyas.
Tyas bingung harus menjawab dengan kata apa, dia sendiri belum cukup mengenal Rayyan jujur saja. Karena sebenarnya masih banyak yang perlu Tyas tanyakan pada suaminya.
Salah satunya ya ini, siapa Rayyan, orang tua Rayyan, di mana tinggalnya, dan bekerja apa juga lain sebagainya. Akan tetapi Tyas tak berani menanyakan hal itu.
Pertama mereka belum lama mengenal, dan kedua Tyas sedari awal tidak terlalu tertarik dengan kehidupan Rayyan. Wong dia ini mau menikahi Rayyan karena permintaan Bapak.
Walau akhirnya, dia penasaran dengan pemuda tampan itu. Kenapa Rayyan punya uang banyak, kenapa Rayyan bermata hijau, yang sebelumnya dia kira hanya softlens.
Kenapa Rayyan berkulit putih jernih, dengan tampilan yang khas anak kota. Karena meski pakaian Rayyan lebih mirip anak urakan, tidak bisa dibohongi jika pesona Rayyan tak biasa.
"Lah, terus gimana nanti hidup kalian, Yas?"
"Ya Tyas lah yang kerja!" Gendhis terkikik karena membayangkan Tyas menafkahi dua pemuda sekaligus, suami dan adiknya setelah kepergian Ridwan.
"Ganteng si ganteng, tapi kayaknya suami Tyas hasil hubungan gelap sama majikannya di luar negeri, makanya tampangnya bule."
Mata hijau Rayyan yang membuat semua warga setuju dengan asumsi Gendhis. Sebab di Indonesia termasuk langka wajah dengan pahatan seperti suami Tyas.
"Yang ini Bude," ucap Tyas. Dia memberikan seluruh belanjaan yang sedari tadi dia pilih kepada penjualnya. "Berapa semuanya?"
Semua orang melirik penasaran, Tyas membawa beberapa lembar uang merah. Dan membayar belanjaan sebesar 700 ribu rupiah.
Kalau memang suami Tyas pengangguran, lalu uang yang Tyas pegang itu dari siapa? Sebab mereka semua tahu, Tyas ini sedang tidak bekerja.
Namun, mereka semua hanya menyimpan pertanyaan julid mereka dalam batin saja.
"Oya, Yuk!" Gendhis bicara keras sebelum Tyas pergi. Dia sengaja ingin memberikan informasi terbaru terkait anaknya. "Laras bentar lagi mau nikah loh!"
Info yang membuat para ibu ibu tersebut terkaget karena Laras baru lulus SMA. "Eh, kok mendadak? Sama siapa nikahnya?"
"Ervan lah, kalau Laras seleranya tinggi, dia cari yang sudah mapan, yang sudah bisa diajak bahagia bersama!" sombong Gendhis.
"Permisi, Bude!" Tyas pamit sebelum hatinya semakin sakit mendengar ibunya Laras bercerita tentang Ervan. Gendhis hanya menarik ujung bibirnya dengan sinis.
Tyas melirik ke pertigaan jalan, di mana Rayyan menunggunya dengan sebelah kaki tertekuk dan menyandarkan punggung pada tiang listrik.
Setengil itu Rayyan di mata Tyas, merokok, juga berwajah acuh seperti tak ada takutnya pada preman sekitar. Tampilan Rayyan, benar benar berbeda sekali dengan image Ervan di lingkungan ini.
Sebelum jadi gunjingan warga. Tyas segera menyatroni suaminya, matanya lalu beralih pada Ervan yang baru saja turun dari mobil hanya untuk menegurnya.
"Yas!"
Tyas melirik Rayyan yang menatapnya sedikit tajam tak seperti biasanya. Tyas ingat ketika Rayyan memukuli Wira dan temannya, Tyas takut kalau Rayyan juga melakukan hal yang sama pada Ervan saat ini.
Jadi, Tyas lebih memilih melewati Ervan tanpa menegurnya kembali. Walau dalam hatinya, Tyas ingin mengucapkan selamat atas rencana pernikahan Ervan dengan Laras.
Namun, ketakutan akan Rayyan yang mungkin bisa mencelakakan Ervan membuat Tyas hanya memendam penasarannya dalam hati.
"Mbak! Mbak Tyas!" Baru saja Rayyan ingin meraih plastik keresek yang dibawa Tyas, Dimas lebih dulu menyambarnya.
Pemuda itu antusias sekali meraih belanjaan Tyas untuk diambil alih. Senyuman Dimas membuat Tyas mengerutkan keningnya.
"Dimas..." Dimas memang tidak banyak menangis sedari kemarin, tapi melihat wajah bahagia Dimas, Tyas sedikit penasaran.
"Mbak! Cepetan pulang, Mbak!" Dimas terlihat berapi api sekali, Ervan juga masih menyimak mereka dari kejauhan.
"Kenapa?" tanya Tyas.
"Ada kiyai dari pesantren Darul Muttaqien yang mau ketemu sama, Mbak Tyas!" jawab Dimas bersemangat.
"Ngapain mereka?" Tyas memang pernah mondok di pesantren tersebut, tapi itu dulu ketika dia masih cukup kecil, dan sekarang, seingat Tyas, dia tidak lagi mengenal siapa pengurus pesantren tersebut.
Lagi pula, ada urusan apa seorang pengurus pesantren menemui Tyas? "Dimas dapet beasiswa Mbak, Dimas bisa sekolah sama mondok gratis di sana!" senang Dimas.
Tyas ternganga, dia memang sedari lama ingin memenuhi keinginan adiknya agar bisa mondok di pesantren itu. Tapi, keuangan Tyas tidak pernah cukup.
Sehingga berita ini benar- benar membuat Tyas bahagia meski mereka sedang dalam kondisi berkabung. "Kamu beneran, Dimas?"
"Beneran, Dimas sama Fakhri yang dapat, Dimas nggak sendiri, Mbak!" Dimas tak pernah melupakan senyumnya, karena itu salah satu cita- citanya selama ini.
Bisa menimba ilmu di pondok pesantren yang terkenal bagus di Jawa Tengah. Ternyata selalu ada begitu banyak hikmah dibalik naas yang menimpa mereka.
Rayyan tersenyum- senyum, ternyata bahagia itu sederhana, karena bisa melihat senyuman tulus Tyas dan Dimas saja sudah cukup menyenangkan.
Sebenarnya Rayyan yang menghubungi pesantren Darul Muttaqien untuk membawa Dimas dan Fakhri. Tyas mungkin takkan mengira jika suaminya ini masih keturunan dari pemilik pesantren tersebut.
Dimas sempat cerita jika dia ingin menjadi muridnya Kiyai Zainy. Sekarang mungkin sudah sepuh, tapi cukup terkenal di mana- mana.
Dimas lalu beralih pada Rayyan. "Mas, nanti kalo Bapak sudah tujuh hari, Mas Rayyan boleh ajak Mbak Tyas ke Jogja, Dimas mau mondok!" ujarnya.
"Beres!" Rayyan merangkul adik ipar nya, sedang Tyas sudah mendahului mereka.
Hal yang membuat Ervan kemudian berani membegal jalan Rayyan dan Dimas. "Bisa kamu kasih makan ke Tyas? Di mana tinggal mu? Jogja?" tanyanya meremehkan.
Rayyan gatal, ingin sekali meninju lelaki itu, tapi sabar, dia sudah tahu di mana Ervan mencari nafkah selama ini. "Kita lihat saja nanti," jawabnya.
itu kata om opik
itu juga yg ak alami
skrg tertawa
bebrapayjam lagi cemberut
lalu g Lma pasti nangis