Aku adalah Dara, aku pernah menjalin hubungan dengan Bastian semasa sekolah, tapi karena tidak direstui, akhirnya hubungan kami kandas.
Akhirnya aku menikah dengan seseorang laki-laki lain, Lima tahun kemudian aku bertemu dengan Bastian kembali, yang ternyata sudah menikah juga.
Pernikahanku yang mengalami KDRT dan tidak bahagia, membuatku dan Bastian menjalin hubungan terlarang setelah Lima Tahun.
Salahkah, aku Mendua ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Empat
Matahari pagi memancarkan sinar keemasan yang hangat ke seluruh ruangan, membuat Fanny terbangun lebih awal dari biasanya. Ia meringkuk di atas selimut yang dulunya terasa hangat saat menemani Bastian tidur. Namun kini, selimut itu terasa dingin dan sepi. Dalam hati, Fanny merasakan gelombang keraguan sekaligus harapan.
Ia tahu, hari ini adalah hari yang menentukan. Meski hatinya penuh dengan rasa sakit, Fanny memutuskan untuk memohon pada suaminya agar membatalkan gugatan cerai yang diajukan. Dengan tekad bulat, ia beranjak dari tempat tidur, merapikan diri, dan memasak sarapan untuk keduanya.
Fanny malam tadi tak tidur di kamar Bastian karena suaminya mengunci pintu kamar sehingga dia tak bisa masuk. Mama Erna juga telah memanggilnya untuk membuka pintu tapi pria itu seolah tuli.
Pagi itu, aroma kopi dan roti panggang menguasai dapur. Seperti biasa, Bastian muncul dengan wajah masamnya. Ia duduk di meja makan sambil menunjukkan ketidakpedulian, seolah ia tidak merasakan aroma sarapan yang menggugah selera.
“Selamat pagi, Bas,” ucap Fanny sambil menata piring.
Di dapur hanya ada mereka berdua. Mama Erna memang meminta Fanny untuk membujuk dan meluluhkan hati suaminya itu. Jika dengan paksaan tak bisa membuat dia menuruti keinginanmu, lakukan dengan merayu dan memohon, itu yang dikatakan Mama Erna.
“Pagi,” jawab Bastian singkat, tanpa menatap Fanny.
Suasana di meja makan terasa hampa. Fanny mencoba mencairkan suasana dengan senyumnya, tetapi Bastian hanya mengerutkan kening. Setelah beberapa saat berlalu, Fanny memutuskan untuk langsung mengungkapkan niatnya.
“Bas, aku mau bicara,” katanya dengan suara pelan, berusaha tidak menakut-nakuti suaminya.
“Bisa nanti?” Bastian mengalihkan perhatian, mengunyah roti sebanyak mungkin.
“Tapi … ini penting,” Fanny meraih tangan Bastian, namun ia segera melepaskan genggaman itu.
Akhirnya, Bastian memandang Fanny dengan serius. “Ada apa, Fanny?”
Fanny menghela napas panjang, mengerahkan seluruh keberanian dalam dirinya. “Aku … aku ingin minta maaf. Jika aku bisa membatalkan gugatan cerai itu, aku berjanji akan mengikuti semua omonganmu. Aku tidak akan mengeluh, tidak akan bersikap egois. Aku akan menjadi istri yang lebih baik.”
Bastian menggelengkan kepala. “Fanny, kita sudah membicarakan ini. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan.”
“Ini bukan kebohongan!” Fanny hampir menangis. “Aku mencintaimu, Bas. Aku tahu kita bisa memperbaiki semuanya. Kita masih punya banyak waktu, banyak impian yang belum kita capai bersama.”
“Waktu apa? Kita tak memiliki waktu bersama dan kita bukanlah pasangan yang saling mencintai!” jawab Bastian tegas.
Fanny mengambil napas dalam-dalam. “Kita bisa memulai dari awal. Kita bisa pergi ke tempat yang kita impikan, menyegarkan pikiran, mungkin bisa menumbuhkan cinta kita. Asal kamu membuka hatimu. Beri aku satu kesempatan lagi. Aku akan melakukan apa pun untuk kita.”
Bastian menatap Fanny lama, seakan mencari sesuatu di dalam tatapannya. “Fanny, aku tidak yakin. Dari awal pernikahan ini sudah salah!"
“Kuharap kamu mau mencoba. Aku sudah merawat hati ini dengan baik. Cintaku untukmu tidak akan pernah pudar,” Fanny berkata penuh harap.
"Maaf, Fanny. Jika kata-kataku ini akan menyakitkan bagimu. Tapi aku harus jujur. Aku tidak pernah mencintaimu. Kamu tak pernah ada dihati ini. Jika aku paksakan, akan membuat kamu makin terluka. Keputusan yang aku ambil ini juga demi kebaikan kamu. Mungkin dengan aku melepaskan ikatan ini, kamu bisa mendapatkan pria yang mencintai kamu dan menerima kamu apa adanya."
“Tapi kita bisa sama-sama berusaha! Kita sudah bersama selama ini. Mungkin masalah yang kita hadapi hanyalah satu titik dalam perjalanan cinta kita,” cegah Fanny, tidak ingin menyerah.
Bastian menghela napas. “Kadang, berjuang itu harus berani melepaskan.”
Fanny merasa terpuruk. Ia memahami perasaannya, namun tidak bisa membiarkannya mendominasi. Dia tak ingin melepaskan Bastian, tapi apa mungkin dia bisa mempertahankan jika pria itu terus keukeh ingin berpisah.
Fanny terdiam. Ia merasakan pedih di dadanya. “Jadi ini keputusanmu? Meninggalkanku tanpa mengupayakan jalan lain?”
“Ya,” kata Bastian, suaranya mantap. “Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku tidak akan kembali.”
Dari kejauhan, terdengar suara pelan mobil berlalu dan derak suara pintu mengikuti setiap kalimat yang terucap antara keduanya. Fanny merasa seluruh dunia bergetar. Kakinya terasa berat. Dia tahu itu adalah Mama Erna, dia sengaja pergi memberikan ruang waktu untuk keduanya.
“Bas, tolong … jangan lakukan ini. Kita berhak untuk berjuang. Kita sudah begitu jauh. Apa kamu benar-benar ingin mengakhiri semuanya?” Fanny memohon, suara bergetar.
“Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Cinta tidak cukup untuk mengubah segalanya. Aku berhak untuk bahagia, begitu juga kamu,” Bastian dengan suara yang lebih lembut namun tetap tegas.
“Bagaimana jika kebahagiaan kita bisa ditemukan dalam kebersamaan kita nanti?” Fanny bersikap penuh harap meski dalam hati, ia sudah merasakan kegagalan.
“Maaf, Fanny. Tapi cinta itu tak ada di hati ini," jawab Bastian dengan penekanan di akhir kalimatnya, tak memberikan ruang bagi harapan.
Fanny menunduk. Air matanya mulai mengalir. Dikenang atau tidak, hubungan mereka telah mengalami banyak perjalanan. Bastian adalah pria impiannya, suami tercintanya yang tidak ingin dibagikannya pada siapapun. Namun saat ini, dia harus rela melepaskan sesuatu yang justru belum pernah dia genggam.
Bastian berdiri dari duduknya dan meninggalkan Fanny begitu saja. Dia sadar apa yang dia lakukan ini sedikit keterlaluan, tapi dia harus tegas. Jika terselip sedikit saja rasa kasihan dia tak akan bisa melepaskan lagi.
Bastian telah membawa semua berkas. Hari ini dia akan mengajukan gugatan cerai walau mamanya tak setuju.
Setelah kepergian Bastian, Fanny akhirnya luruh juga ke lantai. Sekuat apa pun dia menahan agar tak kecewa, tapi tetap saja menyakitkan baginya mendengar keputusan pria itu. Dia telah berusaha mendapatkan pria itu, apakah sekarang dia harus rela melepaskan? Tanya Fanny dalam hatinya.
Duhai hati, kamu baik-baik saja'kan? Tidak seharusnya aku pertanyakan itu. Menangis saja. Tak apa menangislah. Kadang tak baik menahan emosi yang seharusnya dikeluarkan. Namun, jika bisa jangan sampai ada yang tahu kamu menangis. Mencintai sendiri itu memang tak pernah berakhir manis, tapi jika kita mau mengambil bagian untuk berprasangka baik pada Allah. InsyaAllah akan manis meskipun tak bersama dia yang kamu idamkan selama ini. Barangkali di bagian bumi sana ada seseorang yang mendoakan kamu meskipun tak tahu namamu.
"Aku mengenalmu tak sengaja, mencintaimu secara tiba-tiba dan harus melupakan kamu secara terpaksa. Aku sudah berusaha memilikimu walau dengan paksaan. Apakah aku harus mengikhlaskan'mu kali ini setelah usahaku mendapatkan kamu begitu sulitnya? Memilikimu saja belum sempat, bagaimana caranya aku mengikhlaskan kamu?" tanya Fanny pada dirinya sendiri dengan terisak.
sukses selalu mama reni😍😍😍😍😍
aduh maaf Mak Lom smpt ke cono sibuk..mm🙏🙏🙏ntr saya kejar bap deh mak