Nasib malang dialami oleh gadis muda bernama Viona Rosalina. Karena terlilit hutang yang lumayan besar, Viona dijadikan jaminan hutang oleh orang tuanya. Dia terpaksa merelakan dirinya untuk menikah dengan Dirgantara, seorang pengusaha muda yang terkenal sombong dan juga kejam.
Mampukah Viona menjalani hari-harinya berdampingan dengan pria kejam nan sombong yang selalu menindasnya?
Atau mungkin Viona memilih untuk pergi dan mencari kebahagiaannya sendiri?
Nantikan kisahnya hanya ada di Noveltoon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Ada Apa Dengan Dokter Farhat?
Menjelang siang hari Viona baru keluar dari dalam kamarnya. Dengan berjalan tertatih tatih dia ingin membersihkan kamar Dirgantara plus mencuci pakaiannya yang tentunya sudah menumpuk.
Mendapatkan amanah dari suaminya diminta untuk membersihkan ruangannya tak mungkin diabaikan, karena ia tak ingin lagi ada penyiksaan.
"Aku harus ngajak Sania nggak ya?"
Setibanya di depan kamar Dirgantara ia ragu untuk membuka pintunya.
Dia menatap ke arah kamar Sania yang tertutup. Sebenarnya ia malas untuk berjalan cukup jauh karena area v-nya masih ngilu.
"Sania nggak ada keluar. Dia ada di kamarnya nggak sih? Kalau dia di bawah, aku males mau turun. Benar-benar meresahkan. Rasa sakitnya bakalan hilang sampai kapan sih? Aku nggak bisa aktivitas kalau gini!"
Dengan berjalan perlahan Viona menuju kamar iparnya yang bersebelahan dengan kamarnya. Ia berharap Sania ada di dalam kamarnya.
Ia tak mau ada kesalahpahaman lagi saat memasuki kamar Dirga, ia tak mau Dirga menuduhnya sebagai maling.
"Nia, apakah kamu ada di dalam?"
Viona mengetuk pintu kamar iparnya.
Dari dalam Sania menyahutnya. "Iya, aku ada di dalam. Kakak masuk aja, tidak dikunci."
Mendapatkan izin dari pemiliknya, Viona memutuskan untuk masuk. Kalau bukan karena perintah penguasa di rumah itu, ia malas sekali melakukan apapun hari itu.
"Kakak ada apa? Tadi kamu udah sarapan belum?" tanya Sania yang tengah main game di ponselnya.
Viona menggeleng. Sejak pagi dia memang tidak mengisi perutnya sama sekali. Sangat malas keluar kamar atau sampai menuruni anak tangga.
Ia terpaksa berdiam diri di dalam kamarnya sembari mengisi perutnya dengan segelas air.
"Aku belum sarapan Nia. Aku masih malas buat jalan. Sumpah sekarang aja masih ngilu. Kalau bukan diperintah untuk membersihkan kamarnya, aku juga ogah bertandang. Aku cuma ingin tidur doang."
Sania menanggapinya dengan kekehan. Ia sendiri juga belum mengerti seperti apa rasanya dihilangkan keperawanannya oleh pasangan. Ia berharap dirinya tak seburuk Viona, habis manis sepah dibuang, intinya Dirga tak peduli kalaupun Viona tengah merasakan kesakitan.
"Kalau masih sakit nggak usah dikerjain. Nanti sore atau besok aja. Nanti aku bantu ngomong sama dia. Sekarang mendingan kakak makan dulu. Emangnya nggak lapar? Kalau kakak nggak mau turun, kakak bilang sama aku, biar aku ambilin makanan. Tunggu bentar, aku akan ambilkan."
Begitu baiknya ipar yang satu itu, beda sama ipar ipar yang ada di luar sana. Dia begitu mempedulikan kesehatan kakak iparnya, karena dia tahu, kakak iparnya bukanlah orang yang munafik.
Sebenarnya Viona tak enak hati dilayani oleh adik iparnya, tapi berhubung dia sendiri juga lapar dan butuh tenaga, ia setuju saat Sania membantunya untuk mengambilkan makanan.
Di saat Sania keluar untuk mengambilkan makanan, ia juga keluar kembali ke kamarnya sendiri. Sangatlah tidak sopan jika makan di tempatnya orang lain, meskipun orang tersebut tak mempermasalahkannya.
"Dia tadi masih ngomel-ngomel nggak ya? Apa masih juga menuduh aku yang merayunya? Ck, dasar pria tidak waras! Jelas-jelas dia yang memaksaku, tapi aku juga yang disalahkan. Ngapain juga dia melibatkan dokter Farhat? Memangnya dokter Farhat sudah bicara apa padanya? Aku bahkan tidak pernah bercerita mengenai keburukannya? Ada-ada saja."
Sembari menggerutu, Viona masuk ke dalam kamarnya dan menghenyakkan panggulnya di sofa sembari menunggu Sania yang tengah mengambilkan makanan untuknya.
Tatapannya tertuju pada sprei merah muda yang terdapat bercak darah yang sudah mengering. Ia ingat betul semalam, pisang Ambon milik suaminya berkali-kali menyeruduk kuat sampai menjebolkan selaput tipis miliknya.
"Kakak, ayo cepat makan. Ini barusan aku anterin. Biasanya kalau pagi kakak yang siapin sarapan, dan makanan kakak sangatlah enak, jadi ketagihan aku dibuatin makanan oleh kakak. Ini rasanya agak beda kak, makhlum .., bibi yang bikin sarapan."
Sania berniat meledek pembantunya yang tidak begitu enak membuat makanan, tapi berhubung dia sendiri tak bisa memasak, tak ada salahnya makan makanan buatan pembantunya.
Dulu masih ada almarhumah ibunya, hampir setiap hari makan masakan ibunya, jarang sekali pembantu menyiapkan makanan, kecuali ibunya sedang sakit atau sedang bepergian.
"Yaudah nggak papa, jangan meledek masakan bibi. Bibi memasaknya dengan penuh cinta, kalau saja kakak nggak sakit tentunya tidak mungkin kakak malas-malasan seperti ini. Ini aja masih punya tanggungan disuruh nyuci dan membersihkan kamarnya Tuan menir," celotehannya dengan diselingi senyuman tipis.
Viona langsung menikmati sarapannya dengan lahap. Perutnya saja sudah keroncongan sejak pagi, tapi berhubung ia tak bisa beraktivitas, ia putuskan untuk diam dan meminum air putih yang memang dia sediakan di nakas.
Sania diam-diam masih penasaran dengan kakak laki-lakiny yang tiba-tiba datang ke kamar Viona dan melakukan one night stand dengan istrinya. Sangatlah mustahil bagi pria tengil plus jutek itu berhubungan intim dengan seseorang yang dianggapnya sebagai musuhnya.
"Kakak, ini sedikit kepo aku ya? Gimana bisa bang Dirga masuk ke kamarmu dan mengajakmu bercinta? Apa kau tak mengunci pintunya?" tanya Sania.
Gadis itu penuh harap Viona mau memberikan penjelasan mengenai suaminya yang super duper jutek tiba-tiba meminta jatah padanya.
Uhuk ... Uhuk ...
Viona tersedak dan langsung meraih air di gelas.
Ia yang berusaha untuk melupakan kejadian semalam, kini diingatkan kembali oleh iparnya.
"Kakak kalau makan pelan-pelan dong! Nggak usah terburu-buru. Lagian aku sabar buat nunggu sampai kau selesai makan."
Benar-benar tidak peka. Sania tidak mengerti apa yang tengah bersarang di otak kecilnya.
Sungguh malu, gemas, jengkel campur aduk menjadi satu saat ia harus bersikap seperti wanita murahan di depan suaminya sendiri. Di situ Dirga bahkan menuduhnya yang sudah merayunya hingga kejadian yang tak diinginkan itu terjadi.
Buru-buru Viona menghabiskan makanannya dan ingin segera bercerita pada iparnya mengenai kejadian malam itu. Ia juga ingin meminta pendapat dari Sania langkah apa yang harus ditempuh untuk kedepannya.
"Nia, jujur aku tidak tenang semenjak kejadian tadi malam. Dia kayaknya marah besar sama aku. Padahal di situ posisi aku nggak salah, Nia. Dia datang ke kamarku, menggedor-gedor pintu. Waktu itu aku sudah tertidur, karena merasa terganggu aku bangun dan langsung membukanya. Aku pikir itu kamu, tapi ternyata dia sudah berdiri di depan pintu dengan kondisi berantakan. Dia dalam kondisi mabuk, Nia. Bahkan dia meracau kalau aku aku memintanya untuk segera diceraikan agar aku bebas dan bisa menikah lagi dengan dokter Farhat. Ini benar-benar gila! Bisa-bisanya dia berpikir buruk mengenai aku. Bahkan aku tidak pernah bicara apapun padanya ataupun dokter Farhat. Entahlah ... Aku jadi pusing dengan ucapannya."
Sania terbengong dengan mulutnya menganga. Ia yakin sekali telah terjadi perselisihan antara Dirga dengan dokter Farhat hingga membuat Dirga meracau tak jelas. Tapi apa yang dipermasalahkannya hingga mereka bermusuhan? Ia tidak yakin Viona bercerita pada Farhat mengenai sisi buruk suaminya?
'ini aneh ..., benar-benar aneh. Memangnya apa yang dikatakan oleh dokter Farhat pada bang Dirga hingga membuatnya marah? Aku harus mencari tahu kebenarannya.'
Hai dear sahabat setia author..., gimana nih, masih penasaran dengan kelanjutannya nggak? Yuk ikuti terus perjalanan Viona dalam menghadapi kemelut rumah tangganya, jangan lupa tinggalkan jejak ya guys, vote, like dan komennya, thanks 💞 💞