Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Merindukan Saat Bersama
Bisma menghirup aroma segar parfum lembut saat Ajeng mengulurkan tangan di sampingnya. Rasa ingin merengkuh tubuh ramping Ajeng tiba-tiba muncul dalam benaknya.
Jantung Bisma berdebar cepat. Ia berusaha menepis pikiran nyleneh yang mulai merasuki akal sehatnya.
“Ade sarapan sama ayah ya .... “ ujar Bisma membalik badan untuk menjauhkan diri dari Ajeng.
Ia tak ingin pikirannya ngelantur kemana-mana. Saat ini saja, bayangan kebersamaan keduanya mulai menari-nari dalam benaknya.
Ajeng menghela nafas kecewa atas penolakan putri kecilnya. Dengan berat hati ia mengikuti langkah Bisma keluar dari pintu samping menuju kursi pojokan yang menghadap taman dan kolam yang berisi ikan hias.
“Siapkan sarapanku seperti biasa. Jangan lupa Lala juga,” ucapan Bisma yang seperti perintah membuat Ajeng dengan berat hati menuruti keinginannya.
Bisma berusaha menahan senyum atas sikap datar yang ditunjukkan Ajeng. Matanya terus mengikuti pergerakan Ajeng yang menghilang di balik pintu. Jemarinya membelai rambut kriwil putri kecilnya yang mengoceh menunjukkan rasa ingin taunya yang besar.
Tak lama kemudian Ajeng muncul bersama seorang karyawannya membawakan semua yang diminta Bisma.
“Sini sayang, sarapan dulu ya. Setelah ini baru kita mandi .... “ kembali Ajeng berusaha mengambil alih Lala dari gendongan Bisma.
Tiba-tiba Bisma merindukan saat-saat seperti ini. Ia ingat bagaimana kelembutan Ajeng dan segala perilakunya yang membangunkan dirinya dan mempersiapkan semua keperluannya.
Kemudian mengurus Lala, menyapihnya dan semua perlakuan Ajeng dalam rumah tangga mereka yang pernah terbina.
“Lala biar sama ayah ya, bunda juga perlu sarapan .... “ Bisma berkata dengan santai seraya mengulurkan nasi goreng ke hadapan Ajeng yang kini duduk di sampingnya.
“Gak usah,” tolak Ajeng cepat, “Saya sudah sarapan.”
“Ayolah, temani aku dan Lala,” Bisma berusaha membujuk Ajeng.
Ia tak ingin melewati pagi yang membuatnya merasa berbeda dari hari-hari yang telah ia jalani sendiri, dengan keluarga kecil yang telah ia lepas karena keegoannya.
Akhirnya Ajeng meminta Mimi salah satu karyawannya untuk mengambilkan roti dan teh hangat. Perasaan sedih hinggap di hatinya melihat perlakuan Bisma pada putri kecil mereka.
Ia berusaha menahan tetesan air mata saat Lala dengan senang hati menerima suapan demi suapan hingga bubur ayam bersih dari tempatnya.
“Wah, ade pintar sekali .... “ ujar Bisma dengan perasaan senang.
Kembali kecupan ia hadiahkan ke kening putrinya. Dari ujung matanya ia melihat Ajeng memalingkan muka atas semua perlakuannya pada Lala. Ia melihat ada sorot kesedihan yang tergambar di mata Ajeng.
“Ayahnya Lala gak perlu melakukan semua ini ....” ujar Ajeng datar berusaha menahan emosi.
Hatinya terasa sakit mengingat semua yang pernah terjadi. Ia tidak ingin kehadiran Bisma membuat Lala merasakan ketergantungan dengan sang ayah. Walau pun Hilman berusaha mendekatkan diri dengan Lala, tapi Ajeng membatasinya. Ia tak ingin Lala menemukan figur ayah pada diri Hilman disaat hatinya belum siap untuk merasakan terluka kembali.
Bisma memandang Ajeng penuh arti. Ia merasakan suara Ajeng yang bergetar. Hatinya merasa tercubit mendengar ucapan Ajeng.
“Bukan maksud saya ingin memisahkan ayah dan anak. Tapi saya tau, anda sibuk. Dan saya tidak ingin Lala jadi bergantung dengan anda.”
Bisma merasa bahwa Ajeng berusaha memberi batasan dengannya. Bahkan percakapan yang terjadi seperti dua orang asing yang baru pertama bertemu.
“Kamu tidak perlu sekaku ini Jeng. Kita bukanlah orang asing,” potong Bisma cepat.
Terus terang ia tidak suka atas sikap yang ditunjukkan Ajeng terhadapnya. Sedangkan pada orang lain Ajeng begitu ramah dan santai
Ajeng tersenyum sinis. Ia menatap Bisma tajam, tiada kehangatan yang Bisma lihat dari sorot mata yang selama ini begitu lembut dan berbinar.
“Kita hanya orang asing sekarang. Kecuali bahwa Lala yang membuat kita pernah dekat. Dan saya tidak bisa menafikan, bahwa kita harus bekerja sama untuk tumbuh kembangnya,” ujar Ajeng penuh penekanan.
Bisma masih menyimak perkataan Ajeng. Padahal ia ingin merasakan kehangatan yang ditunjukkan selama ini selama mereka masih bersama. Tapi Ajeng telah berubah. Hanya dalam waktu enam bulan, tiada lagi keramahan dan kelembutan yang ditampakkan Ajeng. Semua berubah kaku, seperti awal pertama mereka dipertemukan hingga dijodohkan.
“Lala sama bunda sekarang ya. kita mandi dulu. Ntar jalan sama om Dimas .... “ nada lembut Ajeng kembali membujuk Lala yang kini turun perlahan dari pangkuan sang ayah.
Bisma kembali menatap Ajeng lekat. Sementara yang dipandang mukanya datar tanpa perasaan. Ia tidak mengerti dengan perasaannya saat ini yang mendadak melow. Raganya ingin tinggal dan kembali merasakan kehangatan sikap Ajeng dalam melayaninya seperti dulu.
“Mbak.... “ suara bass menghentikan keheningan yang terjadi.
“Dimas .... “ Bisma menyapa mantan adik iparnya yang sudah lama tidak ia lihat.
“Eh, ada mas Bisma .... “ dengan perasaan tak nyaman Dimas mengulurkan tangan pada laki-laki yang telah membuat saudaranya terluka.
Tapi ia berusaha menahan emosi, Ajeng telah mengingatkannya untuk tidak mendendam atas semua perlakuan Bisma. Karena masalah hati tidak bisa dipaksakan. Itulah yang membuat Dimas berusaha menjadi dewasa untuk melindungi kakak dan ponakannya.
“Permisi,” tanpa menoleh padanya Ajeng membawa Lala berlalu dari hadapannya.
Senyum terbit di wajah cantik putri kecilnya yang melambaikan tangan dalam gendongan sang bunda.
“Da da yayah .... “ suara kenes Lala membuat perasaan Bisma yang tadinya nelangsa hangat kembali.
Ia buru-buru menghapus setetes air mata yang tanpa sadar meluncur di pipinya. Ia tidak tau apa yang harus ia perbuat. Ajeng telah membuat jurang pemisah yang tinggi. Padahal ia baru saja merasakan kebahagiaan sesaat yang membuat paginya menjadi hangat setelah sekian lama menjalani kesendirian.
“Apa kabarmu?” setelah menetralisir perasaannya tatapan Bisma kembali pada Dimas yang masih berdiri di hadapannya.
“Baik mas,” saut Dimas datar.
“Duduk dulu, kita ngopi .... “ ajak Bisma.
“Gak usah mas. Saya masih banyak kerjaan,” Dimas menolak dengan halus.
Ia tidak ingin berbasa-basi dengan orang yang sudah melepas ikatan kekeluargaan dengan saudara perempuan satu-satunya yang ia miliki. Walau pun Ajeng tak pernah bercerita padanya, tapi Dimas tau kesedihan yang dialami kakaknya.
Dapat ia lihat, saat pertama-tama mereka pindah dan menempati rumah baru tempat usaha Ajeng sekarang, meninggalkan semua kemewahan yang dimiliki Bisma, betapa mirisnya kondisi Ajeng.
Setiap pagi matanya bengkak memerah saat menyiapkan sarapan untuknya. Tiada lagi obrolan hangat di pagi hari, hanya sekedar untuk saling bertukar cerita tentang aktivitas masing-masing. Ajeng yang dulunya hangat dan perhatian, kini pendiam dan kaku. Dimas berusaha memahami situasi yang terjadi.
Kini disaat Ajeng telah berdamai dengan semua yang terjadi, mantan kakak iparnya tanpa permisi datang mengganggu suasana yang mulai kondusif. Tapi melihat perlakuan Ajeng pada Bisma membuat Dimas yakin, bahwa kakaknya telah mengambil sikap yang tepat, dan ia lega untuk semua.
.................
Bisma belum beranjak dari duduknya. Para jamaah yang mengikuti salat Jum’at mulai bergerak satu persatu. Hanya di rumah Allah ini ia mendapat ketenangan selain di rumah mama tentunya.
Ibnu pun telah disuruhnya pulang. Ia masih ingin merenung akan masa depannya yang masihg menggantung.
Perasaan membara yang pernah ia rasakan untuk Deby secara perlahan mulai menghilang. Walaupun perempuan muda itu tidak goyah, bahkan dengan beraninya mendatangi ke rumah dinasnya di malam hari.
Sedapat mungkin ia membatasi diri. Berhubungan pun karena ada urusan pekerjaan yang membuatnya harus terlibat bersama Deby dan tim nya yang lain.
Kedekatan nya dengan Lala se bulanan ini telah menumbuhkan energi baru di hatinya. Walau pun dengan segala penolakan yang ditunjukkan Ajeng tak membuat Bisma bergeming.
Melihat sikap Ajeng yang dingin tak bersahabat malah ia semakin tertantang untuk mendekat. Moodnya akan meningkat setelah bertemu sang mantan yang di matanya semakin memikat.