NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HANYA CEMBURU

PENTAS seni. Pukul tujuh malam.

Suara musik yang disetel keras keras dari lapangan sekolah terdengar sampai kedalam toilet perempuan. Diluar sana, gemerlap lampu sorot sudah menghiasi hampir setiap sudut panggung besar dengan berbagai hiasan. Semua siswa SMA Artaca—dan yang bukan—terlihat memenuhi lapangan tempat dimana pentas seni akan dilangsungkan kurang dari sepuluh menit lagi.

Rania keluar dari salah satu bilik toilet, ikut berdiri disamping Nara dan Laudy yang tengah mematut diri didepan cermin besar, membenahi riasan mereka. Gadis itu ikut menyimpan tas kecilnya diatas wastafel, mengeluarkan cushion-nya.

“Dress lo oke juga, Ra, nyiapin dari kapan?” Laudy melirik Nara yang tengah merapikan pakaiannya.

“Dibeliin Yesha.” Jawab Nara pendek.

“Biar couple gitu gak, sih?”

Nara mengangguk membenarkan.

Sehari sebelum pentas seni digelar, Yesha mengirimi Nara sebuah dress pendek selutut berwarna navy, lengkap dengan jaket jeans crop berwarna putih dan wedges dengan warna senada. Serasi dengan Yesha yang hari ini mengenakan celana jeans hitam, kaus putih polos, jaket jeans berwarna navy, serta sepatu putih. Lelaki itu sedang check sound sekarang.

“Anjir, sekarang gue tahu kenapa orang orang pada mau jadi pacar Yesha,” Rania geleng geleng kepala, ikut mematut Nara dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Lo niat banget lagi rambut dimodel model begitu, siap siap dari subuh lo?”

Nara membenahi rambutnya yang dibuat sedikit curly, nyengir lebar. “Dari jam empat anjir,” Jawab Nara, mengeluarkan liptint dari dalam tas kecilnya. “Lagian malu maluin gak sih kalau gue dandan seadanya? Pacar gue Yeshaka, minimal pacarnya gak bikin malu.”

Rania dan Laudy sudah sibuk saling menyikut Nara yang berdiri ditengah tengah mereka, menggodanya. “Mentang mentang sekarang ‘pacar Yeshaka’ besok besok berubah jadi princess deh lo.”

“Heh, coba lo rasain gimana lo ngerasa harus sempurna buat ‘disandingin’ sama cowok kayak Yesha!” Seru Nara membela diri.

“Emang? Yaudah tuker asik tuh!”

“PALA LO.” Nara melotot, nyaris menimpuk Rania dengan tasnya.

Rania tertawa, ia hanya bergurau.

“Ran, Jean kayaknya mau tuh sama lo.” Laudy menatap Rania, justru balik menggodanya.

“DIH, DIH, NGARANG.” Rania protes.

“Tiap lo lagi sama Nara dia sering tuh curi curi pandang.”

“Liatin Nara kali! Nara, kan, cakep, sekelas Yesha aja naksir, apalagi Jean?”

Nara sontak menoleh pada Rania. “Heh! Jean sama Yesha tuh sahabatan dari SMP! That’s impossible kalau Jean suka sama pacar sahabatnya sendiri!”

“Nothing’s impossible in this world, Ra,” Kata Rania. “Apalagi mereka sahabatan gitu udah biasa saling berkorban, saling berbagi, tunggu lo diserahin aja sama Yesha.” Rania tertawa, ia sedang bergurau.

“Makin ngaco lo ya.” Nara membenahi tasnya, menyampirkannya di bahu. “Diem deh, Ran, gue lagi PMS jangan bikin gue makin sensi, sakit perut soalnya.”

“Kasian, ayangnya malah sibuk check sound.”

“Gue cepuin ke Jean habis ini, liatin aja.”

Rania hendak kembali meladeni Nara, tapi urung saat Tasya tiba tiba masuk kedalam toilet, hanya sampai pintunya saja, dia menatap Rania, Nara, dan Laudy. “Udah mulai acaranya, lagi tari grand opening, lo nggak mau nonton Yesha habis ini, Ra?” Tanyanya pada Nara.

“Gila, I forget it, Yesha tampil opening. Bye.” Nara berbalik dan meninggalkan toilet lebih dulu, menuju lapangan dengan segera.

Ratusan orang sudah berkumpul didepan panggung saat Nara keluar dari toilet. Gadis itu melangkah ke sisi lapangan mencari celah jalan untuk sampai ke bangku depan, tempat untuk Nara sudah tersedia disana, Yesha yang menyiapkannya.

Dan sosok lelaki yang baru saja melintas dibenak Nara itu kini tampak raganya beberapa meter dari tempat Nara melangkah. Tepat di sisi kiri panggung, tapi dengan gadis gadis yang menyodorkan bunga dan menyemangati disekitarnya. Langkah Nara terhenti, menatap ke arah Yesha datar. Astaga, sulit membiasakan diri dengan semua ini. Tapi Nara harus bisa, terlalu sering cemburu hanya akan membuatnya lelah.

“Yesha semangat ya!”

“Lo ganteng banget hari ini!”

“Kak Yesha aku bawa poster muka kakak lho! Biar semangat!”

Yesha terlihat tertawa, mengangguk angguk seraya mengacungkan ibu jari ke udara. “Haha, mantap!”

“Kak Yesha jangan nervous ya! Kakak pasti keren dan selalu keren!”

“Tenang! Udah biasa kok!” Jawab Yesha percaya diri. “Tapi nanti pada nonton sampai selesai ya?”

“Siap Kak Yesha!”

“Siap, Sha! Santai aja!”

Nara geleng geleng kepala. Begitu terkenalnya Yesha, begitu diidolakan, begitu ramah pada semua orang.

Seseorang tiba tiba berdiri disamping Nara, ikut menatap ke arah yang sama. “Susah ya ngebiasain diri jadi pacar orang sepopuler itu?”

Nara menoleh, mendapati seorang gadis sepantaran Nara, dengan rambut lurus sebahu berponi tipis. Satu yang bisa Nara tangkap dari parasnya yang disirami lampu sorot didepan gemerlapnya panggung pentas, dia cantik. Dan Nara belum pernah melihatnya.

“Lo Keinarra, kan?” Tanyanya, tersenyum pada Nara seolah mengenalnya sejak lama.

Nara mengangguk. “Lo siapa?”

Gadis itu mengulurkan tangan bermaksud berkenalan, membuat Nara mau tidak mau harus menjabat tangannya sesaat. “Ghayla.”

Nara mengangguk angguk, berusaha mengingat seseorang bernama Ghayla. Dari caranya mengucapkan nama, Nara seharusnya tahu siapa dia. Tapi tidak, Nara tidak mengenal siapapun bernama Ghayla.

“Lo sekolah disini?” Tanya Nara, sebab ia tidak pernah melihatnya di Artaca.

“Dulu, sekarang nggak.”

Nara ber-oh pendek. Mungkin dia pindah sekolah, pikir Nara.

Tepat setelah itu, pandangan mereka bertemu dengan Yesha yang tiba tiba melihat ke arah mereka. Lelaki itu tampak memicingkan mata, menilik siapa yang berdiri bersama Nara, memastikan ia tidak salah lihat. Yesha berpamitan pada fans fans-nya, berjalan meninggalkan kerumunan menuju tempat Nara berdiri.

Melihat Yesha yang berjalan cepat ke arah mereka, gadis disisi Nara yang barusan memperkenalkan diri sebagai Ghayla tiba tiba melangkah pergi, seperti menghindari sesuatu. Tanpa mengatakan apapun dia berlalu begitu saja, entah hendak kemana, membuat Nara menatapnya dengan bingung.

“Kamu ngobrol sama siapa?” Tanya Yesha sesampainya didepan Nara.

“Ghayla.” Jawab Nara seadanya.

“Ghayl—” Yesha seolah teringat sesuatu yang penting, tiba tiba mengangkat wajah dan mengedarkan pandang ke tempat dimana gadis tadi pergi, mencarinya.

Nara menyentuh lengan Yesha. “Kenapa? Kamu kenal dia?”

Yesha tidak menjawab, masih sibuk mencari.

“Sayang.” Panggil Nara, menggoyangkan lengan Yesha. “Yeshaka!”

Yesha mengerjap, sadar akan sesuatu, ia kembali menatap Nara.

“Kenapa? Kamu nyari siapa, sih?” Nara mengulang pertanyaan.

“Kamu gak tahu siapa Ghayla?”

Nara menggeleng polos. “Nggak kenal. Katanya dulu dia sekolah disini, kamu kenal dia ya?”

“Ghayla—”

“Yesha!”

Yesha sontak menoleh mendengar suara panggilan itu. Nara ikut melihat ke arah yang sama, seorang panitia mengisyaratkan Yesha agar kembali ke posisinya didekat panggung. Sebentar lagi gilirannya naik.

Yesha mengangguk, ada sesuatu yang lebih penting sekarang daripada membahas Ghayla. “Kita ngobrol lagi nanti ya.”

Nara mengangguk.

Yesha hendak berlalu, namun tangannya ditahan oleh Nara tiba tiba. “Kenapa lagi?” Tanya Yesha.

Nara tersenyum manis, lalu mendaratkan satu kecupan singkat di pipi kiri Yesha. “Inget kamu punya pacar sekarang. Semangat, sayang.”

Kedua sudut bibir Yesha tertarik sempurna, tangannya terulur mengacak puncak kepala Nara pelan. “Iya inget kok. Makasih, cantik, nanti aku bales lho ya.” Setelahnya Yesha berlari kecil menuju panggung, melambaikan tangan pada Nara.

Nara terkekeh. Dasar.

Tapi setelahnya senyum Nara memudar. Mendadak dibenaknya terlintas sesuatu.

Ghayla?

Sepertinya benar. Gadis yang tadi menyapa Nara adalah Giselleya Ghayla.

...***...

Panggung cukup besar yang di pasangi lampu sorot di setiap sudutnya itu mulai menunjukkan gemerlapnya saat seluruh lampu disekitar lapangan di padamkan. Gemuruh tepuk tangan dan sorak sorakan penonton memenuhi setiap sudut, ketika sang MC baru saja menyebutkan nama Yeshaka sebagai penampilan selanjutnya.

Para gadis mulai menjerit jerit histeris saat lelaki dengan penampilan casual itu naik keatas panggung dan menyapa penonton. Yesha duduk di kursi tinggi ditengah panggung yang telah di sediakan. Microphone berwarna biru miliknya sendiri lengkap dengan penyangganya sudah berdiri menunggu di depan Yesha. Sebuah gitar akustik berada di pangkuannya sebagai alat musik yang akan ikut mengiringi penampilan Yesha malam ini.

“Ra! Gila ganteng banget anjir!” Rania berdecak kagum tanpa berbohong. “Sumpah Yesha kacau!”

“Heh! Cowok gue!” Tegur Nara. Ia dan teman temannya duduk di barisan depan, bertepuk tangan menatap kagum ke arah panggung. Kedua mata Nara berbinar, ia dengan jelas dapat melihat aura yang di keluarkan Yesha saat berada diatas panggung sana seolah menegaskan bahwa lelaki itu terlahir untuk menjadi bintang. Bagaimana cara Yesha berjalan naik dengan percaya diri, duduk nyaman tanpa gugup seolah panggung itu adalah rumahnya. Sudah seharusnya lelaki itu berada diatas sana untuk menjadi pusat perhatian.

Rasa kagum, bangga, dan terpesona itu bercampur menjadi satu dalam diri Nara. Ia hampir masih tidak percaya bahwa lelaki yang berdiri penuh pesona diatas panggung itu adalah kekasihnya. Lelaki yang diinginkan semua orang itu adalah miliknya. Yesha nya Nara.

“Selamat malam semuanya.” sapa Yesha lewat microphone.

“MALAM YESHAA!” Balas semua orang serempak.

“Langit malamnya cantik banget dari panggung ini,” Yesha menatap hamparan bintang yang bertabur di langit ibu kota. Kemudian matanya beralih pada gadis cantik yang duduk di barisan depan, tersenyum hangat. “But no, this girl is the most beautiful, apalagi kalau senyum kayak gitu, iya gak, Ra?”

“CIEEE!” Semua orang bersorak, spontan mencari sosok ‘Ra’ yang di sebutkan Yesha itu duduk di sebelah mana.

“DUH, PLEASE ANJIR.” Nara menunduk malu. Bisa bisanya Yesha melibatkan dirinya tanpa izin. Nara kan jadi salting setengah mati. Rania dan teman temannya tertawa puas melihat itu.

Sebelah tangan Yesha terangkat ke udara, lalu musik mulai mengalun merdu seolah ia yang mengendalikan panggung ini. Intro dari lagu Honesty milik Pink Sweats terdengar, kemudian Yesha berucap sesaat sebelum memulai bait pertama lagu. “Hei Kei,”

Nara kembali mendongak pada panggung dengan wajah merona, membalas panggilan Yesha dengan senyum.

“This song is for you. Te quiero.”

“AAAA!”

“TE QUIERO YESHA!”

Jeritan para gadis yang mengerti maksud dari ucapan Yesha itu justru membuat Nara nge-blank sesaat. Ia melongo, mengapa Yesha mendadak menggunakan bahasa latin dan membuat Nara harus bengong dulu? Dia tidak mengerti.

“Te quiero apaan Ra??” Tanya Laudy.

“RA! TE QUIERO APAAN EMANG?” Jean bertanya dengan teriakannnya dari bangku barisan sebelah kanan Nara.

“Te quiero apaan dah?” Rania ikut menoleh pada Nara.

Nara merogoh ponselnya dari dalam slingbag.

“TE QUIERO APAAN RA?”

“BERISIK ANJIR! NTAR DULU GUE LAGI TRANSLATE.” balas Nara seraya berdecak. Tanpa gadis itu sadari bahwa diatas panggung Yesha menahan tawa melihat Nara malah sibuk men-translate ucapannya.

Nara mematung setelah berhasil menerjemahkan ucapan Yesha lewat ponselnya. Ia tersenyum lebar, percayalah bahwa dalam hatinya ia tengah menjerit sekarang. Jika tidak punya malu mungkin Nara akan berjingkrak dan blingsatan kesana kemari saking saltingnya. Gadis itu mendongak lagi pada panggung. “Yesha!”

Perlahan tapi pasti Yesha menoleh pada sumber suara samar yang memanggil namanya diantara banyaknya teriakan.

Nara melempar senyum terbaiknya. “I love you too.” katanya tanpa suara.

Kedua sudut bibir Yesha tertarik sempurna, ia lalu mendekat pada mic, kemudian suara merdunya sukses membuat semua orang yang ada terhanyut, menikmati suara merdu itu menyapa indra pendengaran mereka.

Rania melongokkan kepala mengintip ponsel Nara dan membaca terjemahan dilayar. Detik selanjutnya gadis itu spontan menutup mulut. “ANJIR! BISA BISANYA!”

She said, “baby i’m afraid to fall in love,

Cause what if it not reciprocated?”

I told her, “don’t rush girl don’t you rush,

Guess it all the game of patience”

 

She said, “what if i dive deep?

Will you comin’ after me?

Would you share your flaws with me?

Let me know” Yeah.

 

I told her thinking is all wrong

Love will happen when it wants

I know it hurts sometimes but don’t

Let it go...

Yesha beralih menatap Nara, kemudian mengambil napas, membalas senyuman hangat gadis itu untuknya.

Cause i want you

Cause i want you

Cause i want

I want you

 

Cause i want you

Cause i want you

Cause i want

I want you

Nara tertawa kecil mendengar nyanyian Yesha terus mengalun merdu hingga mencapai bait akhir dan lelaki itu mengakhirinya dengan suara falsetto yang indah. Gemuruh tepuk tangan dan teriakan menggema, memenuhi seantero Artaca saat Yesha menyelesaikan lagu pertama yang di bawakannya dengan sempurna. Hampir semua orang meneriakkan namanya, Yesha tersenyum percaya diri, melambaikan tangan pada semua orang lalu memberi hormat. Kemudian ia membawa langkahnya turun dari panggung.

Dan saat itu Nara ikut berjalan keluar dari kerumunan penonton menuju backstage. Terburu buru ia melewati orang orang bahkan sesekali menabrak mereka. Hingga saat langkah Nara baru menapak di lantai backstage, ia melihat lelaki itu berbalik pada Nara, tersenyum hangat seperti biasa. Mereka sama sama saling berjalan menghampiri, Nara berjinjit merangkul leher Yesha dan lelaki itu balas merengkuh tubuh mungil kekasihnya, Menyurukkan kepalanya pada bahu Nara, mencium wangi manis khas gadis itu yang selalu membuat Yesha rindu.

“Thank you,” Ucap Nara. “I think i’ll be the happiest girl as long as with you Yeshaka...”

Yesha tersenyum, mengangguk. “Stay with me ya, Ra, aku pastiin gak akan ada kesedihan yang datang dalam hidup kamu selama aku ada.”

...***...

Pentas seni masih berlangsung ramai saat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dan sepertinya akan terus berlanjut setidaknya hingga hampir tengah malam nanti. Sementara Nara sudah tidak bisa menahan kram di perutnya. Efek menstruasi hari kedua selalu sukses membuatnya seperti merasa disiksa. Beberapa kali ia terlihat mengaduh di bangku penonton, tapi tidak semua orang sadar akan itu, sibuk menikmati jalannya acara.

Nara menepuk pundak Rania yang duduk disampingnya, membuat sang empu menoleh. “Gue ke UKS ya, sakit perut gue.”

Rania sepertinya baru sadar Nara sejak tadi memegangi perutnya, ia menatap Nara dengan cemas. “Lah elo lagi PMS kenapa nggak bilang dari tadi?”

“Nggak, nggak apa apa kok, sakit dikit doang, istirahat juga nanti sembuh sendiri.”

“Yaudah gue anterin ke UKS—”

“Nggak usah, gue bisa sendiri, lo disini aja. Nanti kalau Yesha nyariin, bilang gue di UKS gitu, lagi istirahat aja, jangan dibilangin perut gue kram.”

Rania menggernyit. “Lah kenapa?”

Nara menghela napas, menipiskan bibir malas menjelaskan. Rania seperti tidak tahu Yesha saja. Nara tergores sedikit saja lelaki itu paniknya seperti Nara tertikam sepuluh pisau.

Melihat ekspresi Nara, Rania langsung mengerti maksudnya. Gadis itu manggut manggut. “Iya suka alay gimana gitu, kan, pacar lo.”

“Yaudah gue ke UKS dulu.”

“Hati hati, Ra, kalau ada apa apa kasih tahu gue.”

“Oke.”

Nara berdiri meninggalkan bangkunya, mencari jalan keluar dari kerumunan ditengah lapangan menuju lorong sekolah yang tak kalah penuh. Gadis itu berbelok ke kiri, lorong disana sepi, suara keramaian penampilan panggung dan sorakan penonton tertinggal dibelakang, terdengar samar. Nara menatap lorong yang malam ini terlihat terang, hiasan terlihat disana sini. Tidak seram walaupun Nara sendirian sepanjang lorong menuju ruang UKS.

Rasa kram itu membuat langkah Nara limbung. Gadis itu mengaduh, sebelah tangannya memegangi perut, sementara satu lainnya berpegangan pada tembok, menahan agar tubuhnya tidak jatuh ke lantai. Menahan rasa sakit itu membuat lutut Nara rasanya gemetar. Selalu begini setiap bulan, tapi Nara masih belum bisa menahan sakitnya apalagi membiasakan diri.

UKS tinggal beberapa meter lagi didepan sana, pintunya sudah terlihat tidak dikunci. Nara hanya perlu memaksakan tubuhnya sedikit lagi agar bisa berbaring dan istirahat. Tapi lagi lagi langkah Nara limbung, nyaris jatuh ke lantai.

“Ra?” Suara seseorang terdengar dari arah belakang. Disusul derap langkah cepat pemilik suara itu ke arah Nara. “Lo nggak apa apa?”

Nara menoleh, menghentikan langkah. “Lo ngapain disini, Je?”

Jean menatap Nara cemas, refleks memegangi lengannya. “Tadi kata Rania lo sendirian ke UKS, dia nyuruh gue nyusulin lo takut lo kenapa napa.”

“Gue nggak apa ap—aduh!” Rasa sakit itu kembali menyerang.

“Heh.” Jean memegangi kedua lengan Nara, membantunya berdiri dengan seimbang. “Yesha dimana?”

Nara menggeleng, ia juga tidak tahu Yesha dimana.

Jean berdecak, bingung. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Jelas tidak ada siapapun disekitar mereka. “Sorry banget, nih, gue lancang, tapi gue kasian banget liat lo.”

Nara belum sempat mencerna ucapan Jean. Belum bisa menebak kemana maksudnya, saat tiba tiba lelaki itu menyelipkan lengannya diantara lekukan lutut Nara dan disekitar pinggangnya, menggendong gadis itu ala bridal style, membuat Nara nyaris memekik kaget.

“Je! Lo ngapain?!”

“Lo mau nyampe di UKS sekarang apa nanti subuh kalau jalan lo kayak kepiting cedera begitu?”

“Tapi nanti kalau—”

“Nanti gue bilang ke Yesha, bila perlu gue sujud sambil minta maaf.”

Jean benar. Nara hampir tidak bisa melanjutkan langkah menuju UKS saking sakit perutnya. Ia menelan ludah kasar, tidak ada pilihan lain. Lagipula Jean hanya bermaksud membantunya, tanpa ada alasan lain.

Hingga sesampainya didalam UKS, saat Jean baru menyimpan tubuh Nara diatas ranjang yang ada, pintu UKS kembali dibuka oleh seseorang dengan terburu buru, sontak membuat Jean dan Nara menoleh ke arah yang sama.

Yesha mendekat, tiba tiba menjauhkan tubuh Jean dari sisi ranjang tempat Nara dengan sedikit kasar, kedua matanya sarat akan rasa tidak suka. “Makasih. Tapi gue nggak suka lo pegang pegang cewek gue.”

Nara membelalak. Ia kaget sekali, jantungnya tiba tiba berdetak kencang. “Yesha…”

Jean menghela napas, berusaha mengerti. “Gue cuma kasian Nara sendirian, kesakitan disana—”

“Lo boleh keluar sekarang.” Yesha ‘mengusir’ Jean.

Tidak mau berdebat. Jean memilih pergi dari UKS begitu saja.

Nara yang sudah setengah berbaring kembali menarik tubuhnya untuk duduk, berusaha mengabaikan rasa sakit diperutnya setelah melihat Yesha yang sepertinya akan marah malam ini.

“Telepon aku apa susahnya, sih? Hape kamu mati?” Tanya Yesha datar. Nyaris tanpa ekspresi, membuat Nara merinding.

“Nggak.” Geleng Nara takut takut.

“Terus? Nggak ada kuotanya? Perlu aku isiin sekarang?” Yesha mengeluarkan ponselnya.

“Nggak usah, aku punya kuota.” Cegah Nara.

“Terus kenapa?”

“Aku kira kamu masih sibuk,” Jawab Nara cepat. “Habis dari backstage tadi kamu bilang tunggu kamu yang hubungin aku duluan, ya aku kira kamu masih ada urusan, makanya aku nggak berani hubungin kamu duluan.” Jelasnya berusaha membela diri.

“Sesibuk apapun aku pasti selalu aku luangin waktu kalau kamu butuh sesuatu, Kei. Apalagi urusan kayak gini, kamu baik baik aja jauh lebih penting buat aku.” Balas Yesha.

“Kamu cemburu Jean bantuin aku?”

“Aku marah.”

Nara tertegun, menatap Yesha tidak mengerti. “Jean sahabat kamu lho, lagipula niatnya baik, dia mau bantuin aku, harusnya kamu bilang makasih sama dia.”

“Aku udah bilang makasih tadi.” Sahut Yesha cepat. Lelaki itu mengatur napasnya sesaat, menormalkan emosinya. Yesha duduk ditepi kasur, mendekat pada Nara, meraih kedua tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. “Iya, aku cemburu. Aku nggak suka dia harus sampai gendong gendong kamu segala. Tapi aku nggak marah sama Jean, apalagi sama kamu. Aku marah sama diri aku sendiri.”

Tatapan mata Nara melunak, tapi tetap tidak paham kenapa Yesha justru marah pada dirinya sendiri. “Kenapa?”

“Karena ngerasa nggak berguna aja buat kamu. Kemana aku saat kamu butuh aku? Kenapa aku gak bisa ngerti kalau dalam kondisi kayak gini kamu bisa sakit kapan aja? Seharusnya aku selalu ada, selalu siap sedia sewaktu waktu kamu butuh, sejujurnya urusan aku juga gak sepenting itu sampai aku lupa mastiin kamu selalu baik baik aja. Kenapa harus cowok lain yang ada buat kamu? Seharusnya aku, Kei. Aku marah sama diri aku sendiri.”

Nara termangu. Kedua matanya tiba tiba berair, hatinya benar benar terenyuh mendengar penuturan itu. Nara jadi merasa bersalah kenapa ia tidak menghubungi Yesha lebih dulu dari siapapun. Kenapa tidak pada Yesha saja ia meminta bantuan. Kenapa harus membuat lelaki yang begitu peduli padanya ini cemas sekaligus cemburu.

Yesha mengecup kedua punggung tangan Nara lembut, menatap sang gadis penuh sayang. “Maafin aku ya, maaf bikin kamu kesakitan sendirian.”

Nara tersenyum tulus, air matanya jatuh. “Maaf udah bikin kamu cemburu, seharusnya aku ngasih tahu kamu lebih dulu.”

Yesha menyeka air mata Nara, mengelus permukaan wajahnya lembut. “Jangan nangis dong, aku sedih liatnya…”

Nara menggeleng, lantas berhambur ke pelukan Yesha, rasa sakitnya benar benar hilang saat itu juga. Hampir tidak tersisa. Begitu baiknya semesta mempertemukannya dengan lelaki sepengertian Yesha. Nara bersumpah tidak akan membuat Yesha-nya cemburu lagi mulai detik ini.

“Pulang aja yuk? Kita beli coklat yang banyak.” Ajak Yesha.

Mereka mengurai pelukan, Nara mengangguk mendengar salah satu hal favoritnya disebutkan. “Mau beliin aku coklat?”

Yesha mengangguk, merapikan rambut panjang Nara dengan jemarinya.

“Beneran?”

“Iya sayang.”

“Sama chiki boleh?”

“Boleh dong.”

“Kalau es krim boleh?”

Yesha terkekeh, Nara selalu terlihat menggemaskan dimatanya. “Iya boleh sayang, semuanya buat kamu.”

Nara tersenyum senang, suasana hatinya jauh membaik dan rasa sakitnya mendadak tidak terasa. “Timakaci ya pacal aku yang baik.” Ucapnya meniru suara anak kecil, memasang puppy eyes semanis mungkin.

Yesha tertawa, mengacak puncak kepala Nara gemas. “Iya bayii!”

...***...

“Ini bantal kompresnya, dipake kalau perutnya sakit lagi. Ini coklat coklat kamu sama kawan kawannya, terus ini minuman pereda nyerinya, jangan lupa dihabisin. Oke bayi?”

Nara menatap semua barang didalam kantong plastik yang dibawakan Yesha sampai ke kamarnya. Ia jelas bisa melihat lima batang coklat besar ada diantara tiga snack besar, marshmallow, dan lima buah es krim, serta beberapa susu kotak strawberry dan sebotol minuman pereda nyeri. Tak lupa sebuah bantal kompres baru lengkap dengan charger-nya. Sesuai kemauan Nara, semuanya sudah tersedia didepan matanya.

“Tadi kamu turun buat beli semua ini?” Tanya Nara.

Hari ini Yesha khusus membawa mobil karena acara pentas seni yang digelar malam hari. Juga karena Nara bersamanya, ia tidak mau Nara masuk angin. Dan tadi saat perjalanan Yesha berhenti di salah satu supermarket katanya hendak membelikan Nara coklat. Sebuah coklat sudah Nara terima saat Yesha kembali dari supermarket. Tapi ia tidak tahu bahwa ada yang lainnya di bagasi belakang.

“Ada satu lagi yang belum aku kasih, hampir lupa soalnya.” Yesha beranjak dari sisi tempat tidur Nara, berjalan cepat melewati pintu kamar yang terbuka, entah hendak kemana.

Lima menit kemudian lelaki itu kembali, tapi hampir seluruh tubuhnya terhalangi oleh sebuah boneka beruang raksasa diantara kedua lengannya. Yesha membawa masuk boneka itu dengan susah payah, menyimpannya disamping Nara yang kini membelalak dengan mulut menganga tidak percaya.

“Apalagi ini?” Tanya Nara.

Yesha bergumam pendek, tengah mengingat ngingat sesuatu. “Kayaknya waktu itu kamu pernah minta boneka beruang yang segede kamu gak, sih? Kalau gak salah.”

“Ya tapi, kan, aku bercanda.”

Yesha melongo sebentar, lalu ber-oh panjang seolah baru diberi tahu sesuatu yang tidak disadarinya. “Aku kira serius.”

“Aduh, ini beneran kamu beli?”

“Masa aku nyolong? Kamu mau pacaran sama kriminal?”

“Gak gitu maksudnya.” Nara menepuk dahi. “Kamu habis berapa banyak buat beli semua ini?”

“Kamu gak perlu mikirin itu, uang jajan aku bahkan masih sisa banyak banget kalau kamu minta boneka itu sepuluh lagi sekalipun.”

Nara tertegun. Astaga, ia lupa kalau uang yang dimiliki Yesha jauh lebih banyak dibanding kamus bahasa inggris triliunan kata yang Nara punya di meja belajarnya. Tapi tetap saja, semua ini terlalu banyak untuk Nara.

“Aku senang kalau kamu senang sayang,” Yesha tersenyum, mengusap kepala Nara lembut. “Kalau bisa rasanya pengen aku kasih dunia dan seisinya buat kamu, supaya kamu senang. Jadi aku mau kamu simpen bonekanya, biar bisa kamu peluk pas bobo kalau lagi kangen aku. Ya?”

Hening sesaat.

Nara menatap Yesha lekat. “Kamu bakal terus sama, kan, Sha?”

Yesha tersenyum, mengangguk yakin. “Gak ada yang bisa ngerubah aku ke kamu, Kei. Gak akan ada.”

Malam itu Nara percaya. Terlalu percaya hingga ia lupa bahwa bumi yang dipijakinya pun berputar.

Terlalu percaya hingga Nara lupa, bahwa dirinya dan Yesha pun hanyalah manusia biasa.

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!