Demi menghindari kejaran para musuhnya, Azkara nekat bersembunyi di sebuah rumah salah-satu warga. Tanpa terduga hal itu justru membuatnya berakhir sebagai pengantin setelah dituduh berzina dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Shanum Qoruta Ayun, gadis malang itu seketika dianggap hina lantaran seorang pemuda asing masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan bersimbah darah. Tidak peduli sekuat apapun Shanum membela diri, orang-orang di sana tidak ada satu pun yang mempercayainya.
Mungkinkah pernikahan itu berakhir Samawa sebagaimana doa Shanum yang melangit sejak lama? Atau justru menjadi malapetaka sebagaimana keyakinan Azkara yang sudah terlalu sering patah dan lelah dengan takdirnya?
•••••
"Pergilah, jangan buang-buang waktumu untuk laki-laki pendosa sepertiku, Shanum." - Azka Wilantara
___--
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 - Pertama Dan Terakhir
Faktanya, kecupan sekilas yang dia dapatkan dari sang istri tidak benar-benar berhasil membuat Azkara tenang. Beberapa saat di awal memang berhasil, tapi begitu berdiri tepat di hadapan Papa Evan, Azkara tetap ciut juga.
"Mau menjelaskan sendiri atau papa yang bertanya?"
Gleg
Azkara menelan salivanya pahit, pertanyaan pembuka yang terlontar dari bibir sang papa terdengar amat mengerikan. Padahal hanya pertanyaan biasa, tapi untuk saat ini pertanyaan tersebut terdengar menakutkan.
Susana ruang kerja papanya sudah begitu mencekam, ditambah raut wajah yang punya ruangan tak kalah seram. Jadi jangan tanya kenapa bulu kuduk Azkara sampai meremang.
"Ehm, kau bisu, Ka?"
"Ti-tidak, Pa."
"Kalau begitu bicara, istrimu saja mampu menjelaskan di depan keluarga ... kenapa kau kalah?" tanya Papa Evan sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja.
Mengikuti pergerakan jarum jam yang lagi-lagi terdengar menakutkan di telinga Azkara. "Jelaskan apa lagi, Pa? Bukankah Shanum sudah menjelaskan secara rincinya?"
Berlagak santai walau hatinya tak karu-karuan, Azkara berusaha mengimbangi sang papa walau memang hingga detik ini belum pernah bisa.
Saat ini saja, begitu mendengar jawaban putranya pria itu berdecih dan sukses membuat Azkara makin ketar-ketir. "Mungkin karena aku tidak meminta dengan spesifik, aku hanya berserah diri dengan jodoh pilihan-Nya ... sampai tepat di malam lailatul qadar, Mas Azka datang ke rumah dan aku anggap sebagai jawaban atas doa-doaku."
"Singkat cerita kami akhirnya menikah atas persetujuan Abi walau belum lama saling mengenal."
Lagi, perasaan Azkara makin tidak bisa diutarakan tatkala papanya mengulangi ucapan Shanum di ruang makan. Sembari menatap nanar tanpa arah, dan senyum tipis di wajahnya.
"Atas persetujuan Abi, kami menikah walau belum lama mengenal," ulang Papa Evan seolah tengah menganalisis makna dari ucapan menantunya.
"Iya, memang benar Abi yang menyetujui kami untuk menikah, Pa," sahut Azka masih memberanikan diri untuk bicara.
"Ha-ha-ha ... disetujui menikah, dipaksa atau terpaksa menikah?" tanya Papa Evan kembali melayangkan tatapan tak terbaca ke arah putranya.
"Di-dipaksa, Pa." Azkara menyerah kalah, ini adalah akhir dari usahanya berlagak santai.
"Dipaksa?"
"Hem, dipaksa."
"Siapa yang memaksa?" tanya Papa Evan lagi sembari terus memainkan jemari di atas meja.
Layaknya tengah mewawancarai anak TK demi mencari kejelasannya. Satu keluarga besar mungkin bisa terkecoh, tapi tidak dengannya. Mau sehalus apapun Shanum menyampaikan, Papa Evan tetap mampu menarik inti dari masalah itu sesungguhnya.
"Katakan saja, Papa hanya bertanya."
"Orang-orang di sana," jawab Azka lagi, sadar jika memang tidak ada apa-apanya pria itu memilih untuk mengakui apa yang terjadi sebenarnya.
Tanpa ditanya lagi, Azka menceritakan kronologi lengkap sejak awal hingga pada akhirnya terpaksa menikahi Shanum malam itu.
Merasa percuma jika masih ditutup-tutupi dan diperhalus dengan cara apapun di hadapan Papa Evan, Azka dengan polosnya mengakui tindakannya dari A sampai Z. Termasuk saat dia mengancam Shanum dengan bellati di ambang pintu hingga berakhir masuk ke dalam kamar.
.
.
"Sudah kuduga," gumam Papa Evan di akhir setelah mendengar pengakuan gila dari putranya.
Papa Evan memijat pangkal hidungnya. Bukan terkejut, tapi hanya tidak habis pikir. "Azkara ...."
"Iya, Pa? Kenapa?"
"Kau belum lupa empat aturan utama sebagai pria yang Papa ajarkan bukan?" tanya pria menatap putranya dalam-dalam.
"Ingat," jawab Azkara dengan begitu mantap.
"Oh iya? Coba sebutkan."
"Jangan memanfaatkan kelemahan perempuan."
"Hem, lalu?"
"Jangan semena-mena pada perempuan."
"Lanjut?"
"Jangan kasar pada perempuan."
"Satu lagi," sahut Papa Evan sekali lagi.
"Jangan pernah sekalipun menyakiti perempuan karena harga diri seorang pria akan jatuh saat dia menyakiti perempuan," ungkap Azkara tanpa keraguan karena keempat hal terebut memang sudah hapal di luar kepalanya.
"Bagus!! Kau masih ingat rupanya," puji Papa Evan seketika berhasil membuat Azkara tersenyum tipis.
Bangga? Tentu saja, pujian papanya adalah sesuatu yang langka. Dan, kini Azkara mendapat pujian yang belum apa-apa sudah membuatnya besar kepala.
Merasa papanya tidak marah, Azkara seketika menghela napas lega. Di luar dugaan, pria itu beranjak dari kursi kebanggaannya dan datang untuk mendaratkan bogem mentah tepat di wajah sang putra hingga terhuyung dibuatnya.
"Papa?" Azkara menatap ke arah sang papa tak percaya.
Pukulan yang diberikan bukan bercanda, tapi berkali lipat lebih dari dari pukulan musuhnya. Azkara gemetar tatkala Papa Evan mendekat dan meraih kerah kemejanya.
"Dimana otakmu sampai berani mengancam seorang perempuan, Azkara?!!" tanya Papa Evan dengan wajah merah padam lantaran menahan amarah.
Membayangkan bagaimana Azkara mengancam nyawa Shanum dengan bellati super tajam yang selalu Azkara asah jika hendak dibawa itu, Papa Evan benar-benar naik pitam.
"Aku tidak sampai menyakitinya, Pa sumpah!! Aku cuma menakut-nakuti saja, itu juga terpaksa karena jika tidak dengan begitu Erlangga dan teman-temannya bisa membunuhku!!"
"Ada saja alasanmu, minta tolong baik-baik apa susahnya?" tanya Papa Evan gemas sendiri, ingin memukul lagi tapi memar lama di wajah putranya masih ada.
"Sudah kukatakan terdesak, Papa mana sempat minta tolong baik-baik ... yang ada di suruh nunggu abinya pulang," jelas Azka sangat masuk akal yang membuat Evan menyerah.
Dia melepaskan cengkramannya, sedikit kasar tapi tidak bermaksud menyakiti. "Pertama dan terakhir, jangan coba-coba menyakiti istrimu lagi," tegas Papa Evan yang seketika Azkara angguki.
"Keluar sana!!"
Tidak ingin semakin emosi, pria itu meminta Azkara untuk segera pergi dari hadapannya. Sepeninggal Azkara pergi, Evan kembali menghempaskan tubuhnya di kursi sembari memejamkan mata dan mengusap wajahnya kasar.
"Beruntung saja putri Habsyi yang kau temui Azkara ... kalau orang lain, bisa jadi sudah dirajam," gumam pria itu menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian dia hembuskan secara perlahan.
.
.
- To Be Continued -
...Hallow, maaf terlambat🔥 Selamat hari senin, jan lupa lempar vote-nya buat Azkara ya penduduk bumi 🔥...
...Sesuai janji, hari ini Author akan up 3, tunggu untuk siang dan sore ya pemirsa😚...
kanebo kering manaaaa
gak boleh num-num