Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
“Nih, Bang!” Habibah meletakkan plastik berisi brownies itu ke atas meja makan, di mana Halim dan Mama Aisyah sedang berbincang.
“Apa ini?”
Habibah cekikikan. “Ngeri juga, Abang! Katanya udah mau nikah, malah mesan sesuatu sama seorang cewek! Mana cantik lagi orangnya! Waduh! Gimana tanggapan calon Istri Abang, ya? Tapi tadi herannya, kok dia malah kayak sedih gitu ya lihat aku?”
Halim mengernyit. “Maksud kamu, tadi yang ngantar seorang gadis, ya? Dia pakai hijab panjang?”
Habibah mengangguk. Sedang Halim langsung membongkar plastik itu.
“Astaghfirullah! Itu Medina, Bah! Calon Istri Abang! Kenapa gak kamu suruh masuk? Dasar calon ipar durhakim!”
Habibah membelalak. “Hah? Jadi itu yang namanya Medina, Bang?”
“Ya iyalah! Jadi siapa? Ya Allah! Pasti dia salah paham ngelihat kamu!” Halim menghembuskan nafas frustasi.
Mama Aisyah melotot pada Habibah. “Kamu, Bah! Kenapa gak ditanya dulu tadi?”
Habibah cengengesan. “Maaf, Ma. Bibah gak tahu kalau itu Medina. Abisnya selama ini Bang Halim gak pernah kasih tahu gimana orangnya.”
Halim mendengus. “Halim keluar dulu, Ma. Medina pasti salah paham!”
Mama Aisyah manggut-manggut. “Iya!”
Halim segera melangkah menuju kunci motor yang tergantung dan keluar rumah. Tak lama deru suara motor terdengar meninggalkan rumah.
“Bibah, temani Mama ke pasar induk, yuk? Ada yang mau Mama beli.”
“Iya, Ma.”
Habibah melirik sekilas ke arah pintu. Ada rasa gak enak yang mengganjal di hatinya.
.......****.......
“Medi kenapa nangis terus?” Bu Widya bingung setengah ampun, melihat Medina pulang-pulang menangis.
Bu Widya menoleh pada Nona untuk meminta jawaban.
“Egh, tadi—“
Nona lalu menceritakan semuanya pada Bu Widya. Bu Widya jadi ikutan sedih. Dia lantas mengusap kepala Medina dan mengusap air matanya.
“Hei, jangan nangis lagi, Nak. Kalau memang kalian gak berjodoh, jangan kamu tangisi seperti ini. Ya, Ibu paham kamu pasti kecewa. Tapi kamu harus bersyukur, Allah udah tunjukkan semuanya sama Medina.”
Medina yang memang begitu kecewa tahu Halim sudah punya Istri, tidak bisa menahan lagi air matanya sesampainya di rumah.
Setelah mendengar ucapan Ibunya, rasa lega luar biasa tiba-tiba menguar di dalam dadanya. Allah Maha Besar, begitu dia ungkapkan rasa syukurnya dalam hati.
Kalau dia tidak mengiyakan pesanan brownies Halim, mungkin dia tidak akan tahu yang sebenarnya.
Medina mengambil tangan Bu Widya dan membawanya untuk menyentuh pipinya. “Maafin, Medi, Bu. Medi baru tahu rasa kecewa ‘tuh gak enak banget kayak gini. Sekarang Medi lega, karena Allah udah kasih jawaban atas keraguan Medi.”
Bu Widya tersenyum. Dia mengusap rambut hitam Medina.
“Alhamdulillah. Sekarang jangan sedih lagi, ya? Ibu mau pergi dulu ke pasar induk.”
Medina mengusap matanya yang sembab. “Ibu ngapain sore-sore gini pergi ke sana?”
“Ada yang mau Ibu beli. Apa kamu mau ikut?”
“Nanti aja bareng gue, Me. Gue sekalian ada yang mau dibeli,” sahut Nona.
“Ya udah! Ibu duluan kalau gitu, nanti kamu nyusul, ya?”
Medina mengangguk, kemudian dia menoleh pada Nona yang sibuk main epep.
“Na, kalau gitu gue sholat dulu, ya?”
Nona mendongak dan menatap sekilas Medina. “Oke, Me! Gue tunggu! Gue maen di ruang tamu!” Nona beranjak dari duduknya dan pergi keluar dari kamar Medina.
Medina mengangguk, lalu turun dari ranjang menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Rasa segar menyelimuti diri Medina setelah berwudhu. Hati yang panas karena kecewa, mendadak mencair seketika.
Medina segera menunaikan sholat ashar. Setelah selesai, tiba-tiba Nona tergopoh-gopoh masuk ke kamarnya.
“Me,” panggilnya pelan.
Medina yang tadinya hendak membuka mukena, mendadak mengernyit. “Ada apa?”
“Di luar, ada Pak Halim.”
Medina mengangkat kedua alisnya. Dengan malas dia keluar untuk menemui Halim. Tak lupa Nona sebagai pendampingnya.
Halim yang tadinya tegang, langsung tersenyum lega ketika melihat Medina keluar dari dalam rumah untuk menemuinya.
Medina yang tak sengaja melihat senyuman Halim, langsung menatap objek lain.
Halim berdiri dari duduknya. Dia menatap sendu Medina.
“Dek. Abang—“
Medina menunduk sekilas. Kemudian dia berdiri berhadapan dengan Halim tanpa bertatapan mata.
“Sebaiknya, cukup sampai di sini sandiwara Pak Halim sama Medi.”
Halim mengerutkan kening. “Maksud Adek apa? Abang ke sini, Cuma mau tanya apa salah Abang? Adek selama ini—“
Belum lagi selesai Halim bicara, Medina sudah mengangkat tangannya sebelah.
“Cukup, Pak Halim. Medi tegaskan, diantara kita ini gak ada apa-apa. Pak Halim udah punya kehidupan sendiri, jadi jangan ganggu kehidupan Medi.”
Halim geleng-geleng kepala. Dia benar-benar tidak mengerti maksud Medina. “Adek, Adek ini bicara apa?”
Medina menghela nafas. “Kita gak akan pernah menikah, Pak. Medi gak mau ganggu kehidupan Pak Halim yang udah bahagia. Sekarang, silakan Pak Halim pulang. Sampai kapanpun, status kita Cuma sebagai Guru dan Murid. Gak lebih!”
Halim semakin tidak mengerti. Tapi kata-kata Medina barusan, seperti sebuah pisau tajam yang telah menusuk hatinya. Mata Halim terasa panas.
“Assalamualaikum,” ucapnya pelan. Dengan langkah gontai dia meninggalkan rumah Medina.
Setelah Halim pergi, Medina bolak-balik beristighfar dan menghela nafas.
Nona yang dari tadi hanya berperan sebagai manekin, menghampiri Medina dan mengusap bahunya.
“Me, lu gapapa ‘kan?”
Medina tersenyum dan menggeleng. “Gue gapapa, Na. Bentar, ya? Gue siap-siap dulu.”
Medina lalu masuk kembali ke dalam rumah, sedang Nona menatap iba sahabatnya itu.
“Hem, kasihan lu, Me.”
.......****.......
Sesampainya di rumah, halim berjalan sempoyongan masuk ke rumah. Kaki-kakinya seperti jelly yang tidak bisa menapak dengan benar.
Saat masuk, Halim melirik pada barang-barang hantaran yang sudah susah payah Mamanya siapkan.
Halim tak bisa lagi menahan kesedihannya. Air mata hangat turun dari kedua matanya. Dia menunduk dan bahkan sempat terisak hingga bahunya terguncang.
Halim pergi ke kamarnya. Dia lupa kalau belum sholat ashar. Mengingat itu, Halim segera beranjak untuk menunaikan sholat.
Siap berdoa sehabis sholat pun, Halim lagi-lagi menangis. Dadanya begitu sesak.
“Kenapa sesakit ini, Ya Allah?”
Halim pernah merasakan sakit saat ditinggal nikah kekasihnya dulu. Tapi kenapa diputuskan Medina lebih sakit lagi rasanya?
Halim mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
“Kayaknya, lebih baik aku gak usah nikah. Setiap niat baikku, pasti dibalas dengan rasa sakit.”
Halim tersenyum tipis. “Maafkan hamba, Ya Allah. Mungkin hamba masih kurang baik sebagai manusia, hingga gak pantas bersanding dengan seorang gadis sebaik Medina. Baiklah! Mungkin Medina gadis terakhir yang tertambat di hatiku. Aku gak akan pernah mau berpikiran untuk menikah lagi. Lebih baik aku melajang seumur hidup.”
Halim melepas kopiah, lalu berdiri untuk melipat sajadah dan menyimpan di tempatnya. Kemudian dia memilih untuk rebahan, dan akhirnya tertidur.
......***......
Medina menghampiri Ibunya di dekat parkiran.
“Bu.”
Bu Widya menoleh. “Udah datang, Me? Nona mana? Gak ikut kita sekalian?”
Medina menggeleng. “Dia langsung pulang tadi, Bu. Mungkin ada urusan di rumahnya.”
Bu Widya manggut-manggut. “Ya udah, ayo!”
Bu Widya berjalan duluan, sedang Medina mengekor.
“Memangnya Ibu mau beli apa?”
“Ibu mau cari mukena sama gorden jendela. Ah! Di sana tokonya!”
Bu Widya menggenggam tangan Medina menuju toko mukena di seberang jalan.
“Ke toko mukena dulu, Bu?”
“He-em.”
“Bu, Medi lihat-lihat yang di situ, ya?”
Bu Widya mengangguk. “Iya. Ibu di sana, ya?”
Bu Widya melihat-lihat mukena yang dia inginkan. Tidak perlu harga mahal, yang penting terasa nyaman saat dipakai sholat.
Karena toko ini agak luas-dan Bu Widya sibuk melihat-lihat, jadi dia tidak sadar sudah bersenggolan dengan orang lain.
“Ah, maaf,” ucap Bu Widya sembari berjongkok membantu mengambil barang belanjaan yang jatuh.
“Gak apa-apa.”
Bu Widya berdiri hendak menyerahkan barang terjatuh tadi, tapi tiba-tiba dia tercengang.
“Kak—Kak Aisyah?”
Mama Aisyah menyipitkan matanya. “Eh, Dek? Dek Wid? Benar ini kamu?”
Bu Widya manggut-manggut. “Iya, Kak. Ini Widya.”
Mama Aisyah berbinar, dia menghambur memeluk Bu Widya.
“Ya Allah, Dek. Kita udah lama gak jumpa. Kamu sehat ‘kan?”
“Alhamdulillah sehat, Kak. Ah, Kak! Kita duduk dulu, yuk?” Bu Widya menunjuk kursi panjang dekat dengan ruang ganti baju.
Karena di toko ini tidak hanya menjual mukena saja, baju gamis juga tersedia. Makanya tersedia ruang ganti.
Bu Widya dan Mama Aisyah terlibat obrolan panjang yang hangat. Sesekali mereka tertawa lebar.
Mereka berdua dulu adalah teman sepermainan. Mereka juga tetangga.
Aisyah sudah menganggap Widya seperti Adiknya sendiri. Mereka berpisah ketika Aisyah kuliah di luar kota dan dipinang pengusaha kaya dan terkenal.
“Kak Aisyah kok bisa di sini?”
“Aku ke sini mau beli mukena untuk barang hantaran anakku, Wid.”
“Oh, ya? Anak Kakak udah mau nikah?”
Aisyah mengangguk. “Iya! Anakku yang sulung. Dia kerja di SMK dekat sini. Dia juga dapat gadis cantik di sini.”
“Jadi maksud Kakak, Anak Kakak nemukan calon Istrinya di sini, ya? Wah, bagus ‘dong kalau gitu, Kak.”
“Hehe, iya! Kepincut gadis sini dia. Dia itu muridnya Halim di sekolah. Masih kelas XI. Orangnya cantik dan sholehah.”
Widya mengernyit. “Halim? Nama anak Kakak, Halim? Guru matematika di SMK merah putih, bukan?”
Kedua alis Aisyah terangkat. “Kok kamu tahu, Dek?”
......***......
Assalamu'alaikum, Pembaca aku yang manisnya melebihi simpel sirup. Hehe.
Gimana dengan cerita ini? Semakin menarik kah? Atau semakin bikin greget?
Ah, pokoknya, Insya Allah, aku berusaha buat cerita ini semenarik mungkin.
Pesan penting : Sehabis baca, ringankan tangannya untuk klik jempol ya? Harus like pokoknya! Aku maksa nih! 🤣🤣
Dah lah, ya? Cengap-cengap akoh kasih kata sambutan yang panjang kali ini. Oke lah kalok gitu.
Selamat membaca pembaca akoh yang manis2 😁🤟🏻❤️💐