Abigail, seorang murid Sekolah Menengah Atas yang berprestasi dan sering mendapat banyak penghargaan ternyata menyimpan luka dan trauma karena di tinggal meninggal dunia oleh mantan kekasihnya, Matthew. Cowok berprestasi yang sama-sama mengukir kebahagiaan paling besar di hidup Abigail.
Kematian dan proses penyembuhan kesedihan yang tak mudah, tak menyurutkan dirinya untuk menorehkan prestasinya di bidang akademik, yang membuatnya di sukai hingga berpacaran dengan Justin cowok berandal yang ternyata toxic dan manipulatif.
Bukan melihat dirinya sebagai pasangan, tapi menjadikan kisahnya sebagai gambaran trauma, luka dan air mata yang terus "membunuh" dirinya. Lalu, bagaimana akhir cerita cinta keduanya?
© toxic love
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 : Berusaha Mendekatimu
Grace menuang teh ke dalam gelasnya, sebuah ritual pagi yang menenangkan. Senyum tipis terukir di wajahnya saat cahaya fajar menyinari ruangan. Udara pagi yang segar dan secangkir teh hangat, baginya, adalah anugerah yang patut disyukuri. Beberapa menit lagi, dia akan duduk di teras, menikmati secangkir tehnya sambil menantikan kedatangan putranya.
"Tante, di mana Damian?" Aurel, kekasih Justin, memasuki rumah dengan aura dingin yang menyelimuti dirinya. Dia tampak tak peduli dengan aturan rumah tangga, terus menerobos penjaga keamanan demi bertemu dengan Grace.
"Kenapa, Aurel?" tanya Grace, nada suaranya menunjukkan kekhawatiran.
"Mabuk lagi, dia maksa nyetir sendirian. Kalau dia nabrak orang terus masuk penjara lagi bagaimana? Aku sih males banget dia berurusan lagi dan lagi sama pihak kepolisian. Emang ngga ada kapoknya itu anak!" Aurel berbicara dengan nada yang tajam, seolah menyalahkan Grace atas perilaku nakal Justin.
Grace menghela nafas. Ingatannya tertuju pada masa lalu, saat dia dan suaminya, John, terlalu keras mendidik Justin. Mereka selalu menuntut kepatuhan dan kesempurnaan dari putranya. Namun, seiring waktu, Grace menyadari, mereka telah mengabaikan perasaan Justin. Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga tidak sempat memberikan perhatian yang cukup pada putranya.
"Grace, John, apa kalian membenci aku?" Suara Justin kecil bergema di telinganya, mengingatkannya pada masa ketika Justin masih berusia beberapa tahun.
"Aku sudah bercerita perihal Justin. Sifatnya memang sangat berubah sesaat aku dan John pulang dari luar negara. Mungkin kami mengira, Justin hanya merajuk!" Grace mengucapkan kata-kata itu dengan nada penyesalan. "Sikapnya semakin kesini, semakin dingin. Semakin susah diajak untuk bercerita. Salah kami sendiri selalu mengabaikannya dahulu. Mungkin ini yang harus kami berdua tuai. Justin memupuk amarahnya sejak dulu, dari rasa kesepian!"
"Tante, aku sama sekali ngga nyalahin Tante. Lingkungan yang juga punya pengaruh besar membawa Justin ke titik ini. Jujur, sesungguhnya aku ingin menangis ketika tetesan alkohol masuk ke tubuh Justin." Aurel berbicara dengan nada yang lebih lembut. Dia mencoba menjelaskan situasi yang sedang dihadapi Justin dan mengungkapkan perasaannya.
"Tapi kamu selalu membiarkan dia untuk terus minum?" Grace mengeluh, mencoba mencari penyebab dari masalah yang terjadi.
Aurel menggeleng pelan. Setiap kali di rumah, Justin selalu menyusahkan. Dia sering berulah, menyetir mobil dengan sembarangan, meminum alkohol berlebihan, dan melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya sendiri. Namun, Aurel takut untuk menentang Justin. Dia takut kehilangan kekasihnya.
"Turun!" Aurel berkata dengan tegas, wajahnya menunjukkan kecewaan yang mendalam. Dia ingin memukul wajah Justin, ingin menghukumnya atas perbuatan buruknya.
"Sayang..." Justin berbicara pelan, suaranya terdengar kacaunya. "Bersihkan mulutmu, bau alkohol!" Aurel berkata dengan suara yang terdengar kesal.
"Bacot banget sih?" Justin terlihat kikuk, seolah terkejut dengan ucapan Aurel. Dia berjalan pelan ke arah sofa, tubuhnya terhuyung-huyung.
"Oh iya, aku lupa!" Justin bergumam, menarik napas dalam-dalam. Dia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja dan menekan nomor Abigail. Aurel telah menghilang ke toilet bar, meninggalkan Justin sendirian dengan kekacauan pikirannya.
"Hallo sayang!" suara Justin terdengar berat dan ngantuk. "Hm, aku jemput ya? Kita jalan hari ini?"
Di seberang sana, Abigail menjawab dengan nada khawatir, "Suara kamu terdengar berat, Justin. Kamu kenapa?"
"Ehm, oh iya, aku baru bangun tidur. Terus kangen pengen dengar suaramu!" Justin mencoba bercanda, namun suaranya tetap terdengar tak menentu. Abigail tersipu, dia menyukai cara Justin berbicara.
"Baru bangun ya? Kamarmu berisik sama suara musik!" Abigail menanyakan dengan nada penasaran.
Justin menoleh ke arah mesin pengeras suara yang berbunyi keras. "Oh iya, biasa namanya juga cowok. Ngga bisa tidur kalo belum yang namanya karokean."
"Oke, makasih Justin. Kalau gitu, sebentar ya? Aku siap-siap dulu!" Abigail pamit dan mematikan telepon.
"Siap, sayang!" Justin menjawab dengan senyum lebar.
O0O
"Siapa itu?" tanya Clara, suaranya terdengar datar dan dingin. Hmm, sepertinya dia tengah bersedih
"Justin, Kak. Pacar baru aku!" Abigail menjawab dengan senyum yang mengembang, mencoba menghibur kakaknya.
Tatapan Clara menunjukkan kekhawatiran dan kekecewaan. Suasana hatinya sedang buruk. Dia mematikan ponselnya dengan kasar, menghentikan panggilan dari Gerald, mantan suaminya.
"Sudah cukup Ger? Sudah cukup kamu mengusik aku?" Clara berkata dengan nada yang tegas dan tegas. Dia berdiri di kamarnya, di lantai atas, tetap merasa terancam oleh kehadiran Gerald.
"Gerald, kamu udah ngambil Carl dari aku. Sekarang kamu mau ngambil aset kekayaanku termasuk butik yang ku bangun atas kerja kerasku. Kenapa kamu mau ngambil semuanya dari aku, Ger?" Clara menyalak, amarahnya meledak saat ingatan tentang kehilangan putrinya dan usaha kerasnya yang terancam hilang muncul di pikirannya.
Dia ingin menangis, namun seketika dia mendengar suara manis Carletta, putrinya, "Mama, aku kangen banget!" Pipi chubby, kulit yang halus, mata dan senyuman manisnya terbayang di pikirannya.
"Carletta!" Clara memanggil dengan keras. Pertahanannya runtuh, air mata mengalir deras di pipinya.
"Abigail!" Eliza mencari dukungan dari putrinya. "Mantan kakak ipar mu ingin mengambil aset rumah dan butik milik kakakmu, Clara. Dengan syarat, jaminannya adalah Carletta. Keponakan kamu satu-satunya!"
Abigail terkejut, raut wajahnya menunjukkan kemarahan yang mendalam. Dia tidak terima, Gerald datang lagi, datang untuk menghancurkan hidup kakaknya.
"Ibu mau minta tolong Yeon, tapi Ibu merasa sudah cukup merepotkan dia!" Di ruang tamu, Abigail memeluk ibunya erat, sesaat dia berucap lirih, "Maafkan Abigail, Bu!"
"Iya, tidak apa-apa sayang!" Eliza mengelus pelan rambut Abigail.
Abigail menangis, air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Dia merasa kecewa dan tak berdaya. Segala kesedihan dan kekecewaan menyerbu hatinya, menciptakan rasa tak menentu.
"Kenapa semua ini bisa terjadi lagi, Bu?" Abigail berbisik, suaranya terdengar gemetar. Dia merasa tak mengerti mengapa hidupnya terus dipenuhi oleh kehilangan dan kekecewaan.
Eliza memeluk putrinya erat, mencoba menenangkannya. "Ayahmu sangat menghormati kami! Matthew sangat mencintai kita! Tapi mengapa?" Eliza berkata dengan nada sedih, menceritakan tentang pria-pria yang pernah menempati hati Abigail. "Orang baik, Tuhan memanggilnya dengan cepat."
Abigail menangis lebih keras lagi, rasa sakit menyerbu jiwanya. Dia merasa tak berdaya menghadapi ujian yang terus menyerang hidupnya. Dia merasa terjebak dalam lingkaran kesedihan yang tak berujung.
Beberapa saat kemudian, Abigail mendapat panggilan dari Justin. Namun dia menolak untuk berbicara dengannya melalui panggilan suara. "Chat aku aja ya! Aku lagi ada masalah!" Pesan itu dikirim dengan singkat.
Justin mendapat pesan dari Abigail. Dia mengetahui Abigail sedang berada dalam kesulitan. Walaupun dalam keadaan mabuk, Justin bertekad untuk menemui Abigail. Dia menyetir mobilnya dengan cepat, berharap bisa menenangkan Abigail dan membantu menyelesaikan masalahnya.
Sesampainya di rumah Abigail, Justin tidak menanyakan apa-apa. Dia hanya meminta Abigail untuk menemuinya di luar rumah, berkencan di dalam mobilnya.
"Kenapa kamu?" Abigail bertanya dengan nada dingin. Dia bisa melihat kekasihnya tidak baik-baik aja. Wajahnya tampak pucat, matanya merah, dan bau alkohol tercium dari napasnya.
"Aku baik-baik aja, cumaー" Justin berkata dengan suara yang bergetar.
"Cuma apa?" Justin bertanya dengan lantang, "Beri tahu aku!" Dia menekan kata-katanya dengan tegas.
Senyum Abigail memudar. Dia sedikit takut dengan Justin. Apakah dia masih bisa bersikap sebagai laki-laki yang baik di hadapan pasangannya?
"Kakaku!" Abigail akhirnya mengungkapkan perasaannya, matanya tertuju pada Justin, mencari keberanian untuk menceritakan masalah kakaknya.