Kehamilan merupakan sebuah impian besar bagi semua wanita yang sudah berumah tangga. Begitu pun dengan Arumi. Wanita cantik yang berprofesi sebagai dokter bedah di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Ia memiliki impian agar bisa hamil. Namun, apa daya selama 5 tahun pernikahan, Tuhan belum juga memberikan amanah padanya.
Hanya karena belum hamil, Mahesa dan kedua mertua Arumi mendukung sang anak untuk berselingkuh.
Di saat kisruh rumah tangga semakin memanas, Arumi harus menerima perlakuan kasar dari rekan sejawatnya, bernama Rayyan. Akibat sering bertemu, tumbuh cinta di antara mereka.
Akankah Arumi mempertahankan rumah tangganya bersama Mahesa atau malah memilih Rayyan untuk dijadikan pelabuhan terakhir?
Kisah ini menguras emosi tetapi juga mengandung kebucinan yang hakiki. Ikuti terus kisahnya di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon senja_90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tukang Ghibah (SUDAH REVISI)
Setelah melepas kepergian suami tercinta untuk mengais rezeki, Arumi masuk ke dalam rumah. Namun, baru menaiki anak tangga yang ketiga menuju kediamannya, kaki jenjang itu terhenti tatkala mendengar suara penjual sayur keliling berteriak menjajakan dagangannya.
"Sebaiknya aku berbelanja dulu. Selagi ada penjual sayur keliling. Kebetulan persediaan sayuran dan lauk pauk mulai menipis di lemari es," gumam Arumi. Lalu, ia menuruni kembali anak tangga itu. Berjalan keluar rumah, berbaur dengan ibu-ibu komplek yang sedang berbelanja.
"Selamat pagi semua," sapa Arumi ramah kepada para tetangganya yang kebetulan berbelanja di abang sayur.
"Selamat pagi, Bu Dokter," sahut para tetangga hampir bersamaan.
"Tumben, Bu Dokter yang belanja. Biasanya Tini yang diminta belanja. Memangnya ART Bu Dokter ke mana?" tanya Bu Ahdan.
"Mbak Tini ada di dalam rumah, Bu, sedang mengurus pekerjaan lain."
"Oh, saya kira ART Bu Dokter sedang bermalas-malasan di dalam kamar sambil main handphone. Zaman sekarang 'kan banyak ART yang bekerja tidak di bawah naungan yayasan seenaknya saja kalau bekerja. Main handphone, berselancar di sosial media, bergosip bahkan tidur di saat jam bekerja. Aduh, sungguh merepotkan sekali!" ucap Bu Sandra dengan nada menyindir.
Bu Sandra sengaja menyindir Arumi sebab ia menaruh dendam akibat salah satu pekerja terbaik di rumahnya tiba-tiba saja mengundurkan diri dan lebih memilih untuk bekerja di rumah Arumi.
Satu tahun setelah menikah, Mbak Tini memutuskan untuk berhenti bekerja di rumah Bu Sandra karena majikannya terdahulu merupakan tipe majikan yang bawel, pelit dan semena-mena. Membuat Mbak Tini yang berasal dari kampung merasa tidak betah diperlakukan tidak selayaknya pekerja pada umumnya.
Untung saja saat itu Arumi mau menerima Mbak Tini bekerja di rumahnya. Sejak saat itu, Bu Sandra dendam pada wanita yang berprofesi sebagai dokter bedah di salah satu rumah sakit terbaik di Jakarta.
Arumi tersenyum sambil menatap Bu Sandra. "Alhamdulillah, Mbak Tini bukan tipe ART seperti itu. Dia rajin dan tidak pernah bermalas-malasan di saat jam kerja." Wanita itu melirik ke arah Mbak Tini yang saat itu sedang menyapu jalanan di depan rumah Arumi. "Lihat! Saking rajinnya sampai-sampai jalanan umum saja dia sapu. Padahal itu bukan tugasnya, bukan!" jawab Arumi santai sambil memilih sayuran serta lauk pauk untuk persediaan selama beberapa hari ke depan.
Merasa kesal karena semua perkataannya ditepis oleh Arumi membuat Bu Sandra tersulut api emosi. Ia mencari celah untuk menjatuhkan lawannya. Sebuah ide cemerlang terlintas di benak wanita itu
"Oh ya, Bu Dokter. Saya sudah lama tidak melihat Bu Naila datang ke rumah ini. Apakah hubungan di antara kalian baik-baik saja?"
Seketika raut wajah Arumi berubah menjadi murung. Senyuman yang sedari tadi terlukis di bibir wanita itu hilang tergantikan oleh awan kelabu. Dengan bibir bergetar, ia berkata, "Baik-baik saja kok, Bu. Mama tidak datang ke sini karena sedang sibuk."
Pupil mata Bu Sandra melebar dengan sempurna. Ia tersenyum sinis ke arah Arumi. "Sibuk apa? Perasaan saya Bu Naila tidak pernah sibuk loh. Kemarin ketemu saya di toko kue langganan. Saya tanya, kok jarang main ke rumah Pak Mahes. Kalian tahu jawabannya apa?" tanya wanita itu sambil melirik satu persatu ibu-ibu komplek yang sedang berbelanja.
"Bu Naila bilang, untuk apa main ke rumah Mahesa. Toh di sana tidak ada yang dituju."
"Rumah Mahesa sepi seperti kuburan. Tidak ada teriakan, tangisan dan suara tawa anak-anak. Jadi, dia malas kalau harus mengunjungi anak dan menantunya." Bu Sandra tersenyum puas karena berhasil membalikan keadaan.
Ucapan Bu Sandra sontak membungkam mulut Arumi. Perkataan yang terlontar dari bibir wanita itu sukses membuat hati Arumi sakit bagaikan ditusuk oleh ratusan anak panah.
"Saya kalau jadi Bu Naila pun malas berkunjung ke rumah anak dan menantu jika di sana tidak ada cucu. Lebih baik di rumah bisa istirahat, arisan atau nongkrong bareng temen-temen geng sosialita," celetuk Bu Farida.
"Benar juga ya! Kita 'kan datang ke rumah anak-menantu ingin bertemu dengan cucu. Namun, kalau di rumah itu tidak ada cucu untuk apa jauh-jauh berkunjung," timpal Bu Karin.
Itulah sebagian kecil kalimat yang terucap dari bibir para ibu-ibu komplek. Mereka seolah bekerjasama untuk menjatuhkan mental Arumi.
Bu Ahdan selaku istri dari pak RT melirik ke arah Arumi. Timbul rasa iba dalam diri wanita paruh baya itu. "Sudah, Ibu-Ibu, hentikan! Sebaiknya kita belanja. Kasihan Abang sayur sudah menunggu kita terlalu lama."
Usai berbelanja, Arumi masuk ke dalam rumah. Rumah yang selama hampir lima tahun ini menjadi tempat wanita itu menaung dari panas terik sinar matahari dan melindunginya dari guyuran air hujan yang membasahi bumi.
Ketika kaki jenjang itu melangkah masuk ke dalam rumah, suasan hening. Tidak ada suara teriakan anak-anak yang memekikan gendang telinga. Tidak ada suara tangisan bayi yang meminta sang ibu untuk menina-bobokan. Yang ada hanya suara dentingan piring kotor yang bersumber dari dalam dapur.
Netra wanita itu memandangi sebuah frame foto yang tergantung di dinding ruang tamu. Ada foto Arumi dan Mahesa tersenyum bahagia. Dia dan suami tercinta mengenakan pakaian pengantin begitu indah dan sangat mewah.
"Benar kata Ibu-Ibu komplek, rumah ini akan terasa sepi apabila tidak ada suara anak-anak," gumam Arumi.
Kemudian, tatapan wanita dalam balutan dress tanpa lengan dengan rambut panjang hitam tergerai menerawang jauh. Seolah jiwanya tersesat ke dalam sebuah dimensi lain yang dia sendiri pun tidak menyadari itu. Tanpa sadar seulas senyum tipis tersungging di bibir mungil wanita itu. Perlahan, cairan bening kristal mengalir begitu saja tanpa meminta izin terlebih dulu kepada sang empunya.
Melihat majikannya meneteskan air mata, membuat Kartini atau yang biasa dipanggil Mbak Tini menghampiri. Wanita yang bekerja sebagai ART di rumah itu berencana membersihkan debu dan kotoran yang menempel pada jendela. Namun, niatan itu diurungkan kala melihat Arumi berdiri dengan pikiran menerawang seraya memandangi foto pernikahan.
'Kasihan sekali Bu Arumi, setiap kali memandangi foto itu air matanya pasti menetes. Entah sampai kapan penantian wanita baik itu berakhir. Aku sungguh tak tega melihat Bu Arumi selalu termenung,' batin Mbak Tini.
Dia tahu bagaimana tersiksanya batin seorang wanita yang tak kunjung diberikan keturunan. Rasanya sangat menyakitkan, lebih parah dari pada ditusuk sembilu atau pun disayat oleh sebilah pisau.
Tidak ingin Arumi terus larut dalam kesedihan, Mbak Tini berjalan dengan sangat hati-hati dan berhenti di samping majikannya itu. "Bu Arumi!"
Suara serak Mbak Tini mengembalikan kesadaran Arumi. Wanita yang berprofesi sebagai dokter bedah di salah satu rumah sakit bertaraf internasional itu mengusut sisa genangan air di sudut mata, lalu menoleh ke sumber suara. "Ada apa Mbak? Butuh sesuatu?" tanyanya dengan suara tercekat.
"Tidak Bu, saya hanya ingin membersihkan pigura itu saja," ucap Mbak Tini. Tangan wanita itu membawa kemoceng serta di bahunya tersampir lap microfiber.
"Ya sudah, kamu lanjutkan pekerjaan! Saya ke kamar dulu. Kalau butuh sesuatu, langsung ke lantai atas saja!"
Mbak Tini mengangguk. "Baik, Bu!"
Arumi berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua, letak kamar utama berada. Hati wanita itu terasa sedikit lebih membaik setelah menangis. Meskipun tidak memberikan jalan keluar tetapi setidaknya senyuman kini merekah kembali di bibir wanita itu.
"Ah ... lebih baik aku bersiap-siap untuk bertemu kedua sahabatku. Daripada terus larut dalam kesedihan yang tak kunjung usai." Arumi merentangkan tangan ke samping seraya menghirup napas dalam.
"Lagipula, bukankah tadi Mas Mahes memintaku untuk tidak terlalu memikirkan soal keturunan. Toh dia akan tetap mencintaiku selamanya."
Arumi berusaha untuk tidak memedulikan ucapan mertua dan orang lain. Dia yakin, suatu hari nanti Allah akan menitipkan seorang malaikat kecil dalam rahim wanita itu.
TBC
.
.
.