Ayundya Nadira adalah seorang istri dan ibu yang bahagia. Pernikahan yang sudah lebih dari 20 tahun mengikat dirinya dengan suami dengan erat.
Pada suatu sore yang biasa, dia menemukan fakta bahwa suaminya memiliki anak dengan wanita lain.
Ternyata banyak kebenaran dibalik perselingkuhan suaminya.
Dengan gelembung kebahagiaan yang pecah, kemana arah pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Andila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Perbedaan yang Sangat Kontras.
Tidak terasa hari sangat cepat berlalu. Kini siang telah berganti dengan malam, terlihat seorang wanita sedang mondar-mandir di dalam rumahnya dengan gelisah.
Sejak keributan yang terjadi siang tadi, Sherly merasa tidak tenang. Apalagi kakaknya mengetahui semua tentang kebenaran Evan, bahkan sang kakak juga marah besar sampai membawa putrinya ke rumah kedua orangtua mereka.
"Sekarang apa yang harus aku lakukan?"
Sherly benar-benar bingung. Sejak tadi dia terus menelepon Evan dan berharap agar laki-laki itu menemaninya, tetapi sampai detik ini panggilannya tidak juga dijawab oleh Evan.
Tidak mau menunggu malam semakin larut, Sherly segera siap-siap untuk pergi ke rumah orang tuanya. Apapun yang terjadi, dia harus tetap menghadapi semua ini karena putrinya sudah berada di sana.
Tepat saat Sherly mengunci pintu rumah, terdengar suara mobil yang masuk ke pekarangan rumahnya membuat dia segera berbalik untuk melihat siapa yang datang.
Wajah yang sejak tadi muram, langsung tersenyum lebar saat melihat sang pujaan hati telah tiba. Dia segera melangkah cepat untuk menghampiri lelaki itu, tentu saja lelaki yang membuatnya buta akan segala-galanya.
"Sayang!" Sherly menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Evan yang siap memberikan pelukan terbaik. "Aku pikir kau tidak akan datang." Dia terisak, sekaligus terharu karena ternyata laki-laki itu tidak meninggalkannya.
"Apa yang kau pikirkan? Apa kau pikir aku akan meninggalkanmu?"
Pertanyaan Evan sungguh tepat sasaran, membuat dada Sherly kian berdegup kencang. Laki-laki itu selalu saja bisa membuatnya berdebar-debar, hingga rasa cinta yang dia punya semakin memuncak.
"Aku takut, Sayang. Papaku pasti akan murka," ucap Sherly akhirnya. Dia yakin papanya akan sangat murka, dan kemungkinan dia tidak akan lagi diakui sebagai anak.
"Kita akan membicarakannya pelan-pelan, bukankah kau bilang mereka akan bahagia jika kau juga bahagia?" tanya Evan. Perilakunya terhadap Sherly dan Ayun memang sangat jauh berbeda, bahkan tekanan suaranya juga berada di garis yang berlawanan.
Sherly mengangguk, tetapi kebahagiaan yang dimaksud bukan dengan cara seperti ini. "Bagaimana kalau mereka meminta kita untuk berpisah?" Ketakutan kembali datang.
"Itu sudah jelas, apalagi saat melihat kemarahan kakakmu siang tadi." Evan menyandarkan tubuh lelahnya ke mobil. Masalah di rumahnya saja belum selesai, sekarang dia masih harus menghadapi masalah di rumah mertuanya.
"Lalu, apa kau akan menurutinya?" Sherly menatap sayu pada laki-laki yang sudah beberapa tahun hidup bersamanya. Menghapus lukanya, sekaligus memberikan cinta yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
"Tidak. Aku sudah memulai semua ini, bagaimana mungkin aku mengakhirinya?"
Sherly menatap Evan penuh haru. Tangannya memeluk lengan laki-laki itu dengan erat dan seperti enggan untuk melepaskan.
"Lalu, apa kau akan meninggalkan mbak Ayun?" Sherly bertanya dengan ragu. Jelas dia harus menanyakan tentang hal ini, karena keluarganya pasti akan bertanya hal sama yang pula.
Evan terdiam. Mulutnya ingin berkata iya, tetapi entah kenapa dia tidak bisa mengeluarkan suaranya. Apakah karena dia masih belum bisa mengambil keputusan?
"Sayang." Sherly memegang kedua pipi Evan, memaksa laki-laki itu agar menatap kedua manik matanya yang basah. "Maaf, aku tau jika aku tidak seharusnya menanyakan semua itu. Tapi, tapi keluargaku pasti akan menanyakannya. Dan, dan-"
"Aku mengerti," Evan menjawab dengan cepat. Sepertinya dia memang harus segera mengambil keputusan.
Jika ditanya, jelas Evan ingin memiliki keduanya. Bukan karena dia juga mencintai Ayun, tetapi karena selama ini dia sudah hidup bersama dengan wanita itu. Dia mengakui bahwa selama ini Ayun mengurusnya dan semua keluarga dengan baik, itu sebabnya dia tidak merasa repot dan bisa bebas bersama dengan Sherly.
Namun, saat ini Evan benar-benar harus mengambil keputusan. Apalagi Ayun sudah membuat keributan di rumahnya, dan mencoba untuk membuat kedua anak mereka memihak pada wanita itu.
"Aku sudah mencoba untuk membicarakannya secara baik-baik, tapi kau menolak dan malah membuat keributan. Jadi kau lihat saja, Ayun. Aku akan membuatmu keluar dari rumah tanpa membawa siapapun, karena Ezra dan Adel adalah anak-anakku."
Evan mengepalkan kedua tangannya dengan erat, tentu saja dengan niat yang membara yang harus segera dia wujudkan.
"Sayang!" Sherly kembali memanggil karena tidak lagi mendengar suara Evan.
Evan mengerjapkan mata membuat lamunannya terhenti. "Kau tidak perlu khawatir, aku akan mengurus masalah itu. Ayo kita pergi, keluargamu pasti sudah menunggu!"
Sherly mengangguk dengan helaan napas kasar, mereka segera masuk ke dalam mobil dan berlalu pergi dari tempat itu.
Pada saat yang sama, Nindi sedang duduk berduaan dengan sang papa yang sudah berumur sekitar 70 tahunan. Mereka sedang berada di ruang baca sang papa, karena tidak ingin ada yang mencuri dengar pembicaraan mereka.
"Ada apa, Nak? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Abbas, ayah kandung Nindi.
Nindi menghela napas kasar. Tidak sampai hati rasanya menyampaikan kabar tentang Sherly, tetapi dia tetap harus mengatakannya.
"Ada sesuatu yang tidak benar terjadi dalam rumah tangga Sherly, Pa. Dan aku baru mengetahui kebenarannya hari ini," ucap Nindi dengan lirih membuat gurat wajah laki-laki tua itu berubah.
"Apa maksudmu, Nak? Bukankah selama ini rumah tangga adikmu baik-baik saja?"
Nindi menganggukkan kepalanya. "Benar, Pa. Keluarga mereka memang baik-baik saja, tapi keluarga orang lain hancur karena perbuatannya." Dia lalu menceritakan semua yang telah Sherly lakukan, sekaligus tentang identitas Evan yang sebenarnya.
Abbas yang mendengar cerita sang putri seketika langsung tersulut emosi. Wajahnya memerah dengan rahang mengeras, wajah yang sudah di penuhi keriput tetapi tetap terlihat tampan itu terlihat sangat menyeramkan.
"Sungguh aku sangat terkejut saat mengetahui semua itu, Pa. Dan, dan hatiku terluka saat melihat istri dan anaknya Evan," ucap Nindi dengan terisak pilu setelah selesai menceritakan semuanya.
Abbas mencoba untuk menahan emosinya di hadapan Nindi, dia lalu merangkul tubuh sang putri yang masih menangis.
"Jangan menangis, Nak. Papa pasti akan menyelesaikan semuanya, mereka harus mendapat konsekuensi dari apa yang sudah mereka lakukan."
•
•
•
Tbc.