Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Melindunginya adalah Harga Mati
Setelah keheningan yang panjang, akhirnya Faldo membuka mulut. “Jadi, lo rela diperlakukan kayak gini cuma buat dia?” suaranya rendah, hampir seperti berbisik.
Alastar mendongak, matanya menatap lurus ke arah Faldo tanpa keraguan. "Ini bukan soal rela atau nggak, Faldo. Ini soal gimana gue nggak bisa tinggal diam. Kalau gue nggak ngelakuin sesuatu, siapa lagi yang bakal nolong dia?"
Faldo menggeleng, frustrasi. "Tapi, Star, ini tuh nggak masuk akal. Lo bukan malaikat. Lo punya hidup lo sendiri. Lo nggak bisa terus-terusan jadi tameng buat orang lain."
Falleo, yang sedari tadi diam, menyandarkan tubuhnya ke dinding rooftop. "Faldo bener, Star. Gue ngerti lo peduli sama Kayana, tapi ini kayak lo nyari masalah buat diri lo sendiri."
Alastar tersenyum tipis, tapi senyuman itu lebih menyerupai seringai pahit. "Kalian tahu apa yang gue pikirin waktu gue lihat dia semalam? Gue cuma mikir, 'Kenapa nggak ada orang yang berani ngelawan buat dia?' Kayana itu nggak pernah minta tolong, tapi jelas banget dia butuh bantuan."
Barram menyilangkan tangan di depan dada, matanya tajam menatap Alastar. "Tapi gimana kalau orang yang nyakitin dia malah ngelakuin hal yang lebih parah lagi? Lo pikir dia bakal aman kalau lo terus ikut campur?"
Alastar terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada berat. "Kalau gue harus ambil risiko, gue bakal ambil risiko itu. Gue nggak peduli sama diri gue selama dia punya kesempatan buat keluar dari situasi kayak gitu."
Keheningan menyelimuti mereka. Angin di rooftop terasa menusuk, seakan menggambarkan suasana hati mereka yang serba tak pasti.
Faldo akhirnya mendesah, memijit pelipisnya. "Lo keras kepala banget, Star. Gue nggak ngerti kenapa lo kayak gini."
"Karena nggak ada yang pernah ngelakuin ini buat gue," jawab Alastar pelan, suaranya nyaris bergetar. "Dulu, waktu gue di posisi dia, gue cuma bisa berharap ada yang peduli. Sekarang gue nggak mau jadi orang yang cuma lihat dan nggak ngelakuin apa-apa."
Jawaban itu membuat keempat sahabatnya terdiam. Mereka tahu Alastar bukan tipe orang yang gampang terbuka soal masa lalunya, tapi kali ini, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat mereka merasa harus menghormati keputusannya, sekeras apa pun itu.
Di sisi lain, di tempat lain, Kayana sedang berdiri di depan pintu kelas , menatap kosong ke luar. Hatinya gelisah sejak pagi, dan entah kenapa, bayangan Alastar terus menghantui pikirannya.
Dia mengingat kejadian semalam, bagaimana Alastar tiba-tiba muncul di tengah kekacauan, melindunginya tanpa ragu meskipun dia tahu itu akan membawa masalah besar.
"Kenapa dia ngelakuin itu buat gue?" gumam Kayana pelan. Dia tahu Alastar bukan tipe orang yang peduli pada siapa pun kecuali lingkaran kecilnya, jadi tindakannya semalam benar-benar membuatnya bingung.
Dia menghela napas, lalu mengambil ponselnya. Tangannya gemetar saat dia mengetik pesan singkat untuk Alastar.
"Star, gue butuh ngomong sama lo."
Pesan itu dikirim, dan Kayana hanya bisa berharap Alastar mau menjawab.
Di rooftop, Alastar yang sedang duduk di lantai, memandang ponselnya ketika pesan dari Kayana masuk. Dia membaca pesan itu sekali, lalu dua kali, sebelum akhirnya memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku tanpa memberi jawaban.
Alarick, yang memperhatikan gerak-geriknya, langsung menyadari ada sesuatu. "Itu pesan dari siapa?" tanyanya.
"Kayana," jawab Alastar singkat.
"Kok lo nggak bales?" tanya Barram.
Alastar menggeleng. "Nggak sekarang. Gue butuh waktu buat ngatur pikiran gue dulu sebelum ketemu dia."
Falleo melipat tangan di depan dada, menatap Alastar dengan penuh perhatian. "Lo yakin nggak ada yang mau lo omongin sama kita, Star? Mungkin kita bisa bantu."
"Lo bantu gue dengan nggak nanya terlalu banyak," jawab Alastar, senyumnya tipis tapi matanya menunjukkan rasa terima kasih.
****
Sore itu, setelah selesai jam pelajaran tambahan, Alastar akhirnya memutuskan untuk menemui Kayana. Mereka bertemu di taman belakang sekolah, tempat yang jarang dikunjungi orang.
Kayana sudah menunggu di sana, duduk di bangku kayu dengan wajah penuh kecemasan. Ketika Alastar datang, dia langsung berdiri, tapi tak tahu harus berkata apa.
Mereka berdiri dalam keheningan untuk beberapa saat sebelum akhirnya Kayana bicara lebih dulu. "Star, gue nggak tahu gimana caranya bilang ini, tapi... gue nggak pernah minta lo buat ngelakuin apa yang lo lakuin semalam."
Alastar mengangguk pelan. "Gue tahu. Tapi lo juga nggak perlu minta. Gue ngelakuin itu karena gue mau, bukan karena lo minta."
"Tapi lo jadi korban, Star. Lo kena cambuk... cuma karena gue," kata Kayana, suaranya terdengar hampir pecah.
Alastar menatapnya dengan tatapan lembut yang jarang dia tunjukkan pada siapa pun. "Gue nggak peduli, Kay. Yang penting lo aman."
Kayana menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. "Lo nggak ngerti, Star. Ini cuma akan bikin semuanya jadi lebih rumit. Kalau mereka tahu lo terus-terusan ikut campur, mereka nggak akan berhenti sampai lo hancur."
Alastar tersenyum tipis, lalu duduk di bangku kayu itu. Dia menatap ke arah langit, seolah mencari jawaban. "Gue udah terbiasa sama rasa sakit, Kay. Tapi lo... lo nggak harus ngerasain apa yang gue rasain."
Mendengar itu, air mata Kayana akhirnya jatuh. Dia tak mampu lagi menahan perasaannya. "Lo nggak perlu ngelakuin ini buat gue, Star. Gue nggak mau lo jadi korban."
Alastar menoleh, menatapnya dengan mata yang penuh kejujuran. "Kay, gue cuma pengen lo tahu satu hal. Selama gue masih di sini, gue nggak akan biarin siapa pun nyakitin lo lagi. Jadi, lo nggak perlu takut."
Kayana terisak, lalu duduk di sebelah Alastar. "Gue bener-bener nggak ngerti kenapa lo mau ngelakuin ini buat gue, Star."
Alastar hanya tersenyum, lalu menepuk bahunya pelan. "Kadang, kita nggak perlu alasan buat nolong orang lain. Kita cuma perlu tahu kalau itu hal yang benar buat dilakukan."
Keheningan kembali menyelimuti mereka, tapi kali ini, ada perasaan lega yang mulai merayap di hati Kayana. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa tidak sendirian.
Dan di saat itu juga, Alastar menyadari bahwa apa yang dia lakukan bukan hanya tentang melindungi Kayana, tapi juga tentang menebus masa lalunya sendiri.