Karena latar belakang Shazia, hubungan nya bersama Emran tak direstui oleh orang tua Emran. Tapi adiknya Emran, Shaka, diam-diam jatuh hati pada Shazia.
Suatu hari sebuah fakta terungkap siapa sebenarnya Shazia.
Dengan penyesalan yang amat sangat, orang tua Emran berusaha keras mendekatkan Emran dan Shazia kembali tapi dalam kondisi yang sudah berbeda. Emran sudah menikah dengan wanita pilihan orang tuanya sekaligus teman kerja Shazia. Dan Shaka yang tak pernah pantang menyerah terus berusaha mengambil hati Shazia.
Apakah Shazia akan kembali pada pria yang dicintainya, Emran atau memilih menerima Shaka meski tak cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annami Shavian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengobati luka Shaka
"Ini mba Shazia obatnya." Bi Iyem memberikan obat luka pada Shazia. Tadi sebelumnya, ustad Ramlan telah memberitahu bi Iyem untuk memberikan obat tersebut pada Shazia yang akan mengobati lukanya Shaka.
Shazia tersenyum sebelum menerima obat tersebut." Terima kasih ya, bi," ucapnya lembut.
"Enggih, mba."
"Eeh, bibi mau kemana?" Shazia menahan tangan bi Iyem yang hendak pergi lagi.
"Anu mba. Saya mau masuk lagi. Mau beres-beres," kata bi Iyem.
"Oh gitu. Tapi...." Shazia menyengir kikuk.
Kening bi Iyem mengernyit." Ada apa to, mba?"
"Emangnya Abi Ramlan enggak bilang sesuatu sama bibi?"
"Ada bilang."
"Bilang apa?"
"Bibi disuruh anterin obat luka ke mba Shazia di belakang rumah."
"Cuma itu?"
Bibi Iyem mengangguk.
Shazia terdiam. Bukan nya tadi ustad Ramlan bilang dia akan ditemani sama bi Iyem mengobati luka nya Shaka. Tapi kok....
"Yowis, mba. Bibi tinggal dulu ya."
"Sebentar, bi."
Bi Iyem yang sudah berbalik, kini harus berbalik lagi menghadap Shazia.
"Apa ada yang bisa bibi kerjain lagi, mba?"
"Ee itu, bi. Maaf. Bibi bisa enggak disini sebentar aja, sampai saya selesai mengobati luka nya Shaka," pinta Shazia pada Bi Iyem.
Alis Shaka tertaut mendengar permintaan Shazia pada Bi Iyem. Terus terang ia merasa keberatan jika ada Bi Iyem ditengah-tengahnya dan Shazia.
Bukan tanpa alasan Shazia meminta bi Iyem untuk tidak pergi dulu. Ia tak ingin terjadi fitnah. Karena di halaman belakang hanya ada dia dan Shaka. Sementara lainnya sudah masuk ke dalam rumah, termasuk Emran yang akan bicara dengan ayahnya, ustad Ramlan..
"Enggak apa, Bi. Bi Iyem lanjut kerja aja. Bibi sedang sibuk kan." Shaka yang merasa keberatan pun langsung mengeluarkan jurus andalannya. Pemuda itu dengan suka rela justru meminta bi Iyem untuk pergi.
Shazia melotot pada Shaka yang senyam senyum tak jelas.
"Ish anak ini. Apa dia enggak takut dipukul sama kakaknya lagi." Shazia menggerutu dalam hati.
Shaka hanya menyengir dan kembali melihat pada ponselnya.
"Sebentar aja kok, bi. Satu menit, ya satu menit aja." Shazia masih berusaha membujuk bi Iyem.
"Bibi masuk aja. Pekerjaan bibi masih banyak kan? emangnya bibi enggak takut diomeli sama ratu penguasa rumah ini kalau kerjaan bibi enggak cepat-cepat diselesaikan."
Dan Shaka terus berusaha mengusir bi Iyem sampai menakut-nakutinya.
Bi Iyem garuk-garuk kepala. Sepertinya ia bingung. Yang satu minta ia disini, dan satu lagi minta ia pergi. Lantas, permintaan siapa yang harus ia turuti?
Omelan umi Nuria seketika membayangi fikiran bi Iyem. Kerjaannya masih menumpuk di dapur. Benar kata den Shaka, ia bisa diomelin umi Nuria kalau kerjaannya enggak diselesaikan secepatnya.
"Anu mba. Bibi mau langsung ke dapur aja ya. Pekerjaan bibi belum selesai. Bibi pamit ya mba, den Shaka." Akhirnya bi Iyem memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya dan langsung berlalu.
Shazia menghela nafas melihat kepergian bi Iyem, lalu melirik pada Shaka yang senyam senyum penuh kemenangan. Ada perasaan jengkel pada anak itu.
"Yaudah cepat menghadap sini. Mau aku obati enggak? atau kamu mau mengobatinya sendiri aja." Shazia meluapkan kejengkelan nya pada Shaka dengan bicara agak ketus.
"Mau diobati sama mba Shazia cantik dong biar cepat sembuhnya," balas Shaka diikuti senyuman menggoda. Ia kemudian membenarkan posisi duduknya seperti yang diinginkan Shazia.
Shazia mendengkus kesal."Jangan mulai deh."
Shaka tergelak.
"Aku ngomong beneran lho, mba. Enggak sekedar gombalin Mba. Mba Shazia emang cantik banget kok. Mba tahu enggak. Mba itu wanita tercantik di dunia ini setelah ibuku."
Shazia termangu mendengar kata-kata Shaka. Tak menampik jika dalam hati kecilnya, ia tersipu mendengar pujian Shaka. Tapi lebih dari itu, ia merasa kagum karena Shaka masih memuji ibunya.
Itu artinya, Shaka benar-benar menyayangi umi Nuria dan menghormatinya. Tapi kenapa umi Nuria seolah tak sayang pada Shaka?
"Ehem. Kamu masih sekolah, ka?" Shazia mengalihkan pembicaraan sembari membuka tutup obat luka.
"Sekolah !" ucap Shaka. Keningnya mengernyit.
"Iya sekolah. Emang ada yang salah dari pertanyaan ku?"
"Enggak ada sih. Tapi apa iya anak sekolahan punya kumis dan jambang kayak aku?"
Shazia segera menutup mulutnya yang ingin mengeluarkan ledakan tawa. Anak ini selain genit bisa ngelawak juga. Tapi jika dipikir-pikir benar juga kata Shaka. Mana ada anak sekolahan yang memiliki kumis dan jambang. Bisa-bisa nya ia bertanya demikian saking bingungnya mau ngomong apa.
"Aku ini masih kuliah, mba. Bukan masih sekolah." Shaka menyambung kalimatnya.
Shazia manggut-manggut dengan bibir membentuk huruf O. Membuat Shaka terpana melihat bibir Shazia yang menggemaskan. Sementara yang punya bibir tak sadar jika bibirnya sedang dijadikan objek khayalan Shaka.
"Kuliah dimana?" Tanya Shazia yang merasa semakin penasaran. Meski penampilannya seperti anak berandalan, rupanya Shaka ini seorang mahasiswa.
Shaka terkesiap begitu sadar.
"Eee di...." Shaka garuk-garuk rambut sambil mikir.
"Jawabnya susah amat," kata Shazia seraya melirik Shaka melalui ekor mata.
"Universitas Juanda, Ya universitas Juanda." Shaka akhirnya menjawabnya dengan perasaan ragu.
Shaka tahu Shazia lulus dari kampus yang sama. Oleh karenanya, Ia takut Shazia mencari tahu tentangnya di kampus tersebut. Rata-rata anak kampus mengenalnya sebagai mahasiswa ber-image jelek. Ia sering kali di skorsing dengan berbagai masalah. Tapi masih beruntung hanya di skorsing, tak sampai di DO.
"Ishh Shaka. Lu mikir nya kejauhan banget. Mana mungkin calon kakak ipar lu mencari tahu tentang lu ampe kampus. Siapa elu Shakaaa." Shaka mensugesti dirinya sendiri dalam hati.
"Ehem. Sudah semester berapa?" Tanya Shazia.
"Empat," jawab Shaka.
"Baru empat. Setua ini baru semester empat !!!!!" Ucap Shazia yang kaget dan tak menyangka. Badan gede tinggi tegap, berjambang, berkumis rupanya masih bocah yang di perkirakan baru berusia dua puluh tahun. Jadi Shaka enam tahun lebih muda dari Emran, dan empat tahun lebih muda darinya.
Shaka terbengong mendengar Shazia mengatakan ia tua dan tak pantas baru semester empat.
"Kok ngatain aku tua sih !"
"Iya, kamu terlihat tua. Enggak cocok sama umur mu yang masih unyu-unyu. Coba deh kamu pangkas rambut mu yang gondrong ini. Kumis sama jambang mu cukur juga biar sesuai sama umur."
Kenapa calon kakak iparnya ini jadi ngatur-ngatur masalah penampilannya? Apa dia se-perhatian itu. Ah, Shaka....come on jangan ge'er.
"Enggak ah. Malas." Shaka menolak Saran Shazia mentah-mentah dengan bibir dikerucutkan.
"Ya udah. Aku enggak maksa."
"Kalau nanti aku pangkas rambut, kumis dan jambangku, aku takut mba Shazia akan jatuh cinta sama aku."
Shaka berbicara dengan begitu santainya. Seolah tanpa beban, dan tanpa rasa takut. Padahal, ia sudah di tonjok oleh Emran gara-gara menyinggung soal jatuh cinta.
Pupil mata Shazia sontak membulat sesat sebelum ia akhirnya menghela nafas panjang. Ada-ada saja calon adik iparnya yang tengil ini. Mana mungkin ia bakal jatuh cinta sama bocah kayak dia. Apa lagi dia adiknya Emran. Itu mustahil.
"Okey. Sekarang angkat sedikit dagu mu." Shazia yang sadar tujuan utamanya untuk mengobati luka Shaka bukan sekedar mengobrol pun langsung memberi arahan pada Shaka.
Shaka menurut melakukan apa yang di perintahkan Shazia.
Saat Shazia mengobati bibir Shaka dengan posisi saling berhadapan, saat itu pula Shaka menatap lamat-lamat wajah cantik Shazia dari dekat hingga ia terhanyut ke dalam khayalan indah nya.
Tanpa Shaka dan Shazia sadari, Emran memperhatikan interaksi keduanya dengan tangan terkepal.