Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 22
POV RAKA
Aku terkejut, tak menyangka ketika seorang juru sita datang ke rumah mengantarkan surat panggilan sidang. Sial memang, ternyata Shanum tidak hanya menggertak. Dia benar-benar menggugat cerai aku. Ini tidak bisa aku terima.
Bingung harus apa? Aku hanya berjalan mondar-mandir di ruang tengah rumah sambil memijit-mijit pelipis. Rasanya sakit sekali kepala ini. Dering ponsel menghentikan tubuhku yang bergerak gelisah untuk melihat siapa yang menelpon.
Shila? Ya ampun, semua ini memang karena dia. Shanum salah paham karena aku membantu Shila diam-diam. Seandainya dia bisa menjaga mulutnya, dan nggak ngomong macam-macam perceraian ini tidak akan terjadi.
"Awas kamu, Shila! Bisa-bisanya kamu ganggu aku di waktu kayak gini." Tanpa sadar aku meremas surat panggilan sidang tersebut.
"Kenapa, Ka? Siapa yang datang tadi?" Mamah muncul dari kamar, keadaannya sudah lebih baik dari pada semalam.
"Apa itu?" Belum sempat menjawab Mamah kembali bertanya ketika melihat remasan kertas di tanganku.
Niat ingin menyembunyikan, tapi tangan Mamah begitu sigap menyambar. Kini, amplop tersebut sudah berpindah ke tangannya. Aku menggigit bibir gelisah, takut hal serupa terjadi seperti malam tadi.
Mata Mamah melebar sempurna, kulihat ia berhenti bernapas beberapa saat lamanya setelah berhasil membuka remasan kertas tersebut. Jangan lagi, Mah. Jangan pingsan.
Mamah mendongak, kedua maniknya merah menyala menatapku. Ia bangkit dari sofa, berdiri dengan dada yang naik turun.
Plak!
Pipiku terasa panas dan perih sekaligus. Belum hilang rasa sakit karena tamparan Papah mertua semalam, sekarang Mamah menambahkan sakitnya lagi. Kenapa semua orang hanya bisa menyalahkan aku saja?
"Kenapa Mamah tampar aku?!" tanyaku berang sambil mengusap-usap pipi yang berdenyut perih.
Rasa asin berbaur dengan ludah di dalam mulut, aku yakin luka semalam terkoyak lagi. Astaga, semua orang memang gila! Bisanya cuma nyalahin aku.
"Kenapa kamu bilang? Ini semua gara-gara kamu! Mamah kehilangan sumber uang gara-gara kamu. Kenapa kamu harus berhubungan lagi sama perempuan nggak tahu diri itu, hah!" bentak Mamah berapi-api.
Bener, 'kan, pasti aku yang disalahin. Padahal, aku udah jelasin sama Mamah di rumah sakit kemarin.
"Kenapa Mamah malah nyalahin aku? Shanum aja yang berlebihan, dia salah paham, Mah." Aku berkilah membela diri. Enak saja aku yang disalahin. Shanum yang nggak bisa jadi istri yang baik, dia terlalu sibuk sama bisnisnya sampai-sampai nggak ngurus suami.
Aku juga merasa dia tidak menghargai aku mentang-mentang memberiku modal untuk mengembangkan usaha. Hanya jumlah yang tak seberapa saja dia sudah besar kepala. Lalu, sekarang Mamah juga menyalahkan aku.
"Iya, emang salah kamu. Mamah udah enak tiap bulan dapat uang dari dia sama orang tuanya. Jadi, nggak susah-susah nungguin dari Papah kamu itu yang nggak jelas keuangannya. Sekarang, dari mana lagi Mamah mau dapat uang kalo kamu pisah sama Shanum. Kamu nggak mikir, Raka. Udah enak punya istri Shanum malah main-main sama mantan kamu itu!"
Mamah meradang, suaranya melengking tinggi dan aku yakin jika ada yang lewat mereka pasti mendengar perdebatan kami. Bahkan, kertas di tangannya dipukul-pukulkan ke dadaku.
Aku semakin frustasi, tidak aku pungkiri memang. Memiliki istri seperti Shanum aku tidak pernah mengeluarkan uang sepeser pun untuknya. Dia menolak dengan alasan agar aku memiliki tabungan terlebih dahulu untuk mengembangkan usaha. Bukankah itu tidak menghargai pemberian suami namanya? Mentang-mentang dia punya penghasilan, lantas tidak membutuhkan uang dari suami.
Aku merasa harga diriku diinjak-injak di sini. Berbeda dengan Shila yang selalu bergantung padaku. Aku selalu dibutuhkan saat bersama dirinya. Merasa dihargai sekecil apapun uang aku beri. Bersamanya aku merasa nyaman, dan menemukan kebahagiaanku sendiri.
"Mamah lupa, ya, Raka punya toko besar sekarang. Mamah nggak akan kehilangan sumber uang. Raka akan buktikan sama Shanum kalo Raka bisa sukses tanpa bantuan dia." Aku mencoba merayu Mamah agar berhenti mengomel dan menyalahkan aku.
Mamah terdiam, sudah melihat sendiri sebesar apa tokoku sekarang. Bahkan, pelanggan yang datang tak pernah surut. Selalu banyak dan datang dari berbagai tempat. Ia terdiam, tercenung beberapa saat lamanya. Mungkin sedang mengingat-ingat tempat usahaku itu.
"Beneran kamu bisa ngembangin usaha kamu itu tanpa Shanum?" tanya Mamah dengan nada suara yang dipelankan.
Aku membingkai kedua bahunya, tersenyum menatap kedua manik itu. Masih merah, tapi sudah terlihat lebih tenang.
"Mamah tenang, aja. Raka punya usaha sekarang, mobil juga punya. Kita nggak akan kekurangan, Mah."
Namun, Mamah menepis tanganku kasar, menatapku dengan mata yang kembali memanas.
"Tapi Mamah nggak lupa yang dibilang Shanum semalam kalo toko kamu itu hampir bangkrut sekarang. Nggak ada barang yang mau dijual, nggak ada pemasukan, emangnya ke mana uang yang kamu dapat selama ini? Shanum juga bilang kalo kamu nggak pernah kasih uang sama dia!"
Suara Mamah kembali meninggi. Astaga, aku lupa kalo semalam Shanum sudah membeberkan semuanya. Aku tertegun, mencari alasan supaya amarah Mamah mereda. Aku tidak mau disalahkan sendirian. Enak saja.
"Shanum nggak bener semuanya, Mah. Uang Raka, ya, sama dia. Siapa lagi emangnya yang megang uang Raka? Setiap bulan Raka kasih uangnya sama Shanum. Masalahnya, kalo Raka minta buat beli barang, Shanum selalu menolak dan bilang kalo uang itu Raka pake buat hal lain. Percaya sama Raka, Mah. Raka ini anak Mamah," kilahku sengaja mengkambinghitamkan Shanum dalam masalah ini.
Mamah kembali terdiam, matanya masih menatapku. Mungkin dia mencari kebenaran seperti yang dilakukan orang-orang. Ayo, Raka, kamu bisa berakting. Mamah pasti percaya sama kamu.
"Terus kalo uang kamu sama dia gimana cara kamu ngembangin usaha lagi? Ke mana kamu mau cari tambahan modal? Makanya, kamu rayu Shanum dulu supaya dia berubah pikiran nggak jadi gugat cerai kamu!" usul Mamah yang sangat mustahil.
Shanum tidak akan pernah berubah pikiran apalagi mencabut gugatan dari pengadilan.
"Papah dan Mamah pasti bisa bantu Raka kasih modal tambahan. Mamah, 'kan, punya tabungan. Shanum selalu kasih uang sama Mamah tiap bulannya. Nggak mungkin habis, 'kan?"
Aku yakin uang yang diberikan Shanum dan orang tuanya tidaklah sedikit. Mamah pasti menyimpannya untuk diri sendiri. Bahkan, Papah tidak tahu menahu mengenai uang tersebut.
"Kenapa kamu malah ngungkit-ngungkit uang Mamah? Itu uang Mamah pribadi," tegas Mamah menolak membantuku.
Aku menghela napas, mencoba merayu Mamah agar mau memberikan uang tabungannya padaku.
"Mah, Raka cuma pinjem. Nanti kalo usaha Raka udah maju, Raka ganti. Bahkan, Raka tambahin tiap bulannya. Raka cuma mau buktiin sama Shanum kalo Raka mampu mengembangkan usaha tanpa bantuan dia. Mamah bantu Raka, ya!"
Aku memelas padanya, kalo bukan sama Mamah sama siapa lagi aku minta bantuan. Mamah terlihat ragu, tak percaya pada apa yang aku katakan. Aku hanya ingin membuat Shanum menyesal.
"Mamah nggak yakin kamu bisa balikin uang Mamah apalagi nambahin."
"Mah, please! Raka mohon!"