NovelToon NovelToon
Part Of Heart

Part Of Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cinta setelah menikah / Aliansi Pernikahan / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Pihak Ketiga
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dwiey

"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.

"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.

Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tears

Hari sudah menunjukkan pukul 7 malam, setelah berpikir panjang, akhirnya Tari memutuskan untuk menyetujui permohonan Ade yang memintanya untuk datang, sekedar makan dan berbincang bersama pria itu.

Sudah seminggu semenjak terakhir ia bertemu dengan Ade sejak malam itu. Karena Yudha banyak menghabiskan waktu di tempatnya, sepertinya suaminya itu benar-benar ingin menjauhkan Ade darinya.

Dan soal ia yang datang kesini pun, Yudha tidak mengetahuinya. Tari sudah berbohong pada pria itu, mengatakan bahwa ia ingin sendiri malam ini, bahwa ia memiliki pekerjaan yang harus ia selesaikan.

Sekarang Tari berdiri di depan pintu apartemen Ade, ia masih ragu. Pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan tentang apa yang akan terjadi jika Yudha mengetahui ini. Tapi akhirnya, ia menekan bel pintu apartemen Ade.

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan Ade yang berdiri dengan senyum lebar di wajahnya. “Terima kasih sudah datang,” katanya, matanya menatap Tari dengan lembut.

“Kau tau kan aku nggak bisa lama-lama,” Ade menyingkir memberi ruang dan Tari melangkah masuk ke dalam, matanya sekilas menelusuri ruangan itu. Tidak banyak perabotan. Aroma steak yang baru matang tercium di seluruh ruangan.

Ade berjalan ke dapur dan kembali dengan dua piring berisi steak, beberapa sayuran rebus, dan mashed potato. Ia meletakkannya di meja makan yang sudah disiapkan sebelumnya, lalu menatap Tari dengan senyum kecil.

“Kau suka steak kan, aku memasaknya khusus untukmu,” katanya, menggeser kursi untuk Tari.

Tari menatapnya sekilas sebelum akhirnya duduk. “Kau nggak perlu repot-repot melakukan ini,” gumamnya pelan.

Ade tersenyum kecil. “Mana mungkin aku repot. Jika untukmu aku tak keberatan melakukan apapun.”

Tari hanya diam tak menanggapi perkataan Ade, ia mengambil garpu serta pisau untuk mulai makan. Ia memotong sedikit daging dan memasukkannya ke dalam mulut, mengunyah pelan.

Ade memperhatikannya dengan penuh harap. “Rasanya?”

Tari meliriknya, lalu menelan makanannya sebelum menjawab. “Nggak buruk.”

Ade tertawa pelan. “Itu berarti enak, kan? habiskan lah. Ibu hamil kan perlu makan yang banyak.”

Tari hanya mengangkat bahu, memilih untuk fokus pada makanannya.

Sementara mereka makan, Ade mulai bercerita tentang keluarganya. Ia berbicara dengan bersemangat, sesekali tertawa kecil mengingat momen-momen lucu yang pernah ia alami bersama keluarga nya.

“Kau tahu? Karena aku cerita pada Ibuku tentang kita yang bertemu lagi, dia jadi sering menanyakan kabarmu,” katanya, mengaduk mashed potato dengan garpunya.

Tari sedikit terkejut mendengarnya dan menghentikan suapan nya “Ibumu?”

Ade tersenyum samar. “Iya, mungkin karena dulu ibu sudah suka padamu. Dia bilang, kau adalah wanita yang paling cocok untuk dijadikan istriku.”

Tari terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Kau tau itu tak akan pernah terjadi.”

Ade menatap piring nya, tatapan nya sendu. “Aku tau, sepertinya aku datang terlalu terlambat kan ?.”

Hening sejenak di antara mereka. Tari kembali fokus pada makanannya, berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Ia tidak datang ke sini untuk bernostalgia atau mengingat masa lalu bersama Ade.

Ade menyadari perubahan ekspresi Tari, lalu mulai menjalankan rencananya. “Ngomong-ngomong, kau sudah bicara dengan Riana akhir-akhir ini?”

Tari mengangguk, senyuman kecil muncul di wajahnya. “Tentu. Aku sangat bersyukur hubungan kami tidak rusak karena ini,”

Ade menatap datar pada Tari, senyuman sudah hilang dari wajahnya. “Apa kau tak pernah menaruh rasa curiga padanya?.”

Tari terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap Ade dengan ekspresi terkejut. “Kenapa aku harus curiga padanya?.”

Tari menatap Ade dengan kening berkerut. “Apa maksudmu, Ade?” tanyanya sekali lagi.

Ade baru saja akan membuka mulutnya untuk menjawab ketika tiba-tiba bel pintu berbunyi.

Keduanya langsung menoleh ke arah pintu.

Ade dengan cepat mengangkat tangan, memberi isyarat agar Tari diam. Wajahnya berubah serius, seakan ia sudah tau dan memperkirakan hal ini sebelumnya.

“Jika kau ingin tahu maksud perkataanku tadi.... maka dengarkanlah sendiri.”

Tari mengernyit. “Apa maksudmu?”

Ade menatap pintu, lalu kembali menatap Tari. “Sembunyi lah di kamarku, sekarang!.”

Tari membuka mulutnya untuk membantah, tapi ekspresi serius di wajah Ade membuatnya ragu. Ia menatap pria itu sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah pintu apartemen.

Bel berbunyi lagi. Kali ini terdengar cepat menandakan seseorang di luar pulau sudah sangat tidak sabar.

Ade menatapnya dengan ekspresi sendu, suaranya sangat pelan. “Aku mohon, percayalah padaku sekali ini saja Tari,”

Tari menggigit bibirnya, lalu menghela napas dalam. Akhirnya ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kamar Ade. Saat ia masuk, Ade langsung menutup pintu dengan pelan.

Dari dalam kamar, Tari bisa mendengar suara pintu apartemen dibuka.

“Apa sih yang kau lakukan, lama banget buka pintu aja,” suara tinggi seorang wanita yang terdengar dari luar. Tari mengernyit heran. Matanya membesar.

'Riana?,'

Ade tersenyum santai. “Maaf, aku sedang membereskan sesuatu.”

Tari mendekat ke pintu, mencoba mendengar lebih jelas.

“Kau lagi makan?.... Kenapa ada dua piring di sini?” suara itu kembali terdengar, kali ini terdengar curiga.

Tari menahan napas. Jantungnya mulai berdegup kencang. Kenapa ia harus takut Riana tau, itu adalah Riana, sahabat nya. Bukannya orang lain.

"Biasalah, tadi ada pacarku disini. Dia udah pulang" Jawab Ade santai sambil tersenyum kecil.

Ade mulai membereskan piring-piring di meja makan, membawanya ke wastafel.

"Menjijikkan," Ujarnya dengan tatapan tajam.

Riana duduk di sofa, dan memperhatikan Ade yang sedang mencuci piring di wastafel.

"Obatnya sudah siap kan?"

Ade menutup keran air, lalu berbalik menatap Riana datar. “Sudah, tapi kau tetap yakin ingin menggugurkan kandungan Tari?,” tanyanya sambil menyandarkan tubuhnya ke wastafel.

Tari berdiri mematung di balik pintu kamar, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Riana mengangkat alis, menyilangkan tangan di dadanya. “Tentu saja, kenapa juga aku harus ragu.”

Ade tersenyum getir, lalu berjalan mendekati meja makan. “Dulu kau juga yang menggugurkan anak kami, dan sekarang kau ingin mengulanginya lagi?”

Tari menahan napas. Hatinya berdebar kencang, kedua tangannya mengepal erat. Berbagai pertanyaan dan spekulasi buruk mulai muncul di kepalanya.

Riana mengernyit, memasang wajah kesal “Aku nggak punya waktu untuk bicara tentang masa lalu. Aku nggak peduli bagaimana caranya, yang penting dia kehilangan anak itu. Aku nggak akan membiarkan dia merebut posisi ku.”

Ade menunduk, sorot matanya terlihat sendu. “Aku hanya merasa kasihan pada Tari,”

Riana mendengus. “Kasihan? Dari semua orang kau lah yang paling tak pantas mengatakan itu.”

Di balik pintu, Tari perlahan duduk dan bersandar pada pintu. Air mata nya sudah mengalir dengan derasnya tanpa suara.

Ade memejamkan mata dan menghembuskan nafasnya. “Kenapa kau selalu menyalahkan Tari dan bukannya memang kau sering bermain di belakang suamimu itu. Kau kan tak hanya membuka kaki mu untukku saja.”

Riana terdiam sesaat, lalu tersenyum sinis. “Lalu apa urusannya denganmu. Dan soal Yudha, kau tak perlu ikut campur. Lagian dia bahkan tergoda dengan Tari dengan waktu sesingkat itu, jadi aku tak perlu sepenuhnya merasa bersalah.”

Tari menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan suara isakannya.

Ade tertawa kecil, menggelengkan kepalanya. “Jika dibandingkan dengan kelakuanmu, seperti langit dan tanah kan.”

Riana mendesah, lalu menatap Ade dengan tatapan tajam. “Heh, jangan menghakimiku. Kau pikir gigolo sepertimu lebih baik dariku.”

"Aku nggak bilang bahwa aku lebih baik darimu, tapi setidaknya aku tak pernah menghilangkan nyawa seseorang, ah nggak koreksi. Nyawa bayi yang bahkan belum lahir itu.”

Tari merasa seluruh tubuhnya melemah, tak memiliki tenaga. Tangannya gemetar, kepalanya terasa berputar. Semua kenyataan yang di dengarnya saat ini terasa menghujam jantungnya.

"Cukup berbicara soal keburukan kita masing-masing, aku datang kesini bukan untuk pengakuan dosa," Riana bangkit dan menghampiri Ade yang masih diam di tempatnya.

Riana mengalungkan kedua tangannya pada leher Ade dan mulai menciumnya dengan penuh nafsu.

Ade yang awalnya hanya diam, dengan cepat melepas ciuman itu saat dirasakannya tangan Riana mulai melepas celana yang dikenakannya.

"Hentikan!" Ade mencengkram sebelah tangan Riana dengan kuat.

Riana sedikit meringis karenanya, lalu menatap Ade dengan heran, biasanya pria ini akan selalu menyambutnya dan dengan senang hati melakukannya dengannya.

"Kenapa? Apa kau sudah puas melakukan nya dengan pacarmu?," Tanya Riana dengan senyum menggoda.

Ade melepaskan tangan Riana dan mengalihkan pandangannya. "Aku nggak mod untuk ini sekarang,"

Riana mendengus, dan berjongkok. Menurunkan tiap lapis celana yang dipakai oleh Ade. Mulai memasukkan milik Ade yang sudah tegak kedalam mulutnya.

Di dalam kamar, Tari memejamkan mata dan mulai menutup masing-masing telinganya. Berharap suara menjijikan yang didengarnya menghilang dari kepalanya. Suara erangan itu semakin terdengar, mengisi seluruh ruangan yang sunyi. Tari berulang kali mengatur napasnya naik turun, mencoba mempertahankan kesadarannya.

Apa yang pernah kulakukan padamu Riana? Apa semua kebaikanmu selama ini palsu? Apa kau sebegitu membenciku, hingga membuatmu ingin menghancurkan ku sampai ketitik terendah ku.

1
Martin victoriano Nava villalba
Wah bahasanya keren banget, bikin suasana terasa hidup.
Cô bé mùa đông
Jujur, bikin terharu.
Jenni Alejandro
Makin nggak sabar buat nunggu kelanjutan ceritanya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!