Kamu pernah bilang, kenapa aku ngga mau sama kamu. Kamu aja yang ngga tau, aku mau banget sama kamu. Tapi kamu terlalu tinggi untuk aku raih.
Alexander Monoarfa jatuh cinta pada Rihana Fazira dan sempat kehilangan jejak gadis itu.
Rihana dibesarkan di panti asuhan oleh Bu Saras setelah mamanya meninggal. Karena itu dia takut menerima cinta dan perhatian Alexander yang anak konglomerat
Rihana sebenarnya adalah cucu dari keluarga Airlangga yang juga konglomerat.
Sesuatu yang buruk dulu terjadi pada orang tuanya yang ngga sengaja tidur bersama.
Terimakasih, ya sudah mampir♡♡♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dipindahkan?
"Bagian lapangan agak berat. Kamu harus lebih menjaga kesehatan," pesan Zerina sambil melangkah di samping Rihana.
"Iya bu."
Zerina menahan mulutnya untuk ngga bertanya tentang hubungan Rihana dengan Alexander. Dia ngga mau dikatain bos kepo.
Dalam hati ada rasa kagum dan terselip sedikit iri. Gadis biasa seperti Rihana bisa mendapatkan perhatian seorang Alexander Monoarfa.
Aurora bisa dia lewati. Hebat.
Putri bos mereka yang seperti bidadari itu bisa dikalahkan Rihana. Melihat reaksi Alexander waktu itu, terlihat mereka memang memiliki hubungan istimewa. Tapi laki laki yang paling banyak ditaksir dan dipuja itu malah memilih menggandeng Rihana di depan mata mereka.
Zerina melirik Rihana yang berjalan di sampingnya dengan seksama. Baru kali ini dia memperhatikan pegawainya dengan detil. Apalagi pegawai yang masih baru saja diangkat perusahaan mereka.
Gadis ini juga cantik walau penampilannya cukup sederhana. Tidak ada brand bermerek yang melekat di tubuhnya. Rasanya kalo Zerina ngga merasa halu, Zerina seakan melihat ada bayangan bosnya pada wajahnya.
Huufftt, Zerina membuang nafasnya kesal.
Ada ada saja pikirannya.
Hanya karena isi kepalanya penuh dengan dugaan bos besarnya terlibat akibat pemindahan Rihana, malah otaknya jadi miring.
Bisa bisanya dia memiripkan wajah bosnya dengan Rihana.
Mereka pun sampai di depan ruangan staf lapangan.
Belum pintu itu diketok, malah sudah terbuka.
Rihana tersenyum saat melihat Agus, Yadi dan Dino yang berdiri bersama pegawai lainnya.
Dalam hati bersyukur karena ada yang sudah dia kenal di tempat barunya ini.
Ruangan ini lebih luas. Tapi ngga ada pembatas. Mereka seakan akan hanya singgah saja di ruangan itu. Hanya ada meja letter U yang berisi banyak kursi. Juga ada lemari loker untuk menyimpan barang barang pribadi mereka.
Zerina tersenyum pada sesosok laki laki paruh baya yang juga tersenyum saat melihat kedatangannya.
"Mau langsung ke lapangan, pak?" sapa Zerina sopan.
"Iya. Oh ya, ini yang namanya Rihana?" tanya Pak Zuher sambil menatap Rihana dengan dahi berkerut.
Dipikirnya yang bernama Rihana seorang perempuan yang tampak kuat dan tangguh untuk bekerja di bawah teriknya sinar matahari.
Tapi ternyata sangat jauh sekali dari bayangannya.
Gadis ini lebih cocok tetap bersama Zerina. Di ruangan yang full AC.
"Iya, Pak. Rihana ini Pak Zuher," kata Zerina mengenalkannya.
Rihana pun mengangguk hormat pada Pak Zuher yang sudah bisa tersenyum padanya. Mencoba menyingkirkan banyak pertanyaan dan keraguan dalam pikirannya.
"Simpan dulu barangmu di loker," perintahnya yang diangguki Rihana.
Walau bingung, Rihana pun langsung memasuki ruangan yang nantinya akan menjadi tempat kerjanya.
Dino berinisiatif mengantarnya.
"Bukannya kamu satu ruangan dengan Puspa dan Winta?" tanya Dino sambil menjejeri langkahnya di samping Rihana.
"Tadinya."
Dino ingin melanjutkan pertanyaannya, tapi ditahannya karena dia harus cepat membantu mencarikan loker kosong buat Rihana.
"Simpan aja barang berhargamu di loker. Bawa air mineral, topi, kaca mata, masker. Kamu sudah pake sunbloks?" cerewet Dino.
Oh iya.
Rihana teringat pembicaran mereka tentang jumlah spf yang terdapat pada sunbloks. Dia akan bekerja di bawah terik matahari.
"Sudah," jawabnya ragu. Tadi pagi dia mengolesnya tipis saja.
"Ayo, berangkat," ujar Dino sambil menyerahkan tas punggung kecil yang sudah diisinya dengan perlengkapan yang dia katakan tadi.
"Makasih," ucap Rihana tulus sambil mengunci lokernya. Ngga nyangka Dino akan cukup peduli padanya. Padahal mereka baru beberapa kali bertemu dan itupun ngga pernah mengobrol.
"Sama sama," balas Dino sambil melihat Rihana menyinpan kunci lokernya di saku pada tas punggungnya.
"Ayo," ajaknya sambil berjalan di depan Rihana yang mengikutinya tanpa mengeluarkan suara.
Ternyata Bu Zerina sudah pergi saat Rihana dan Dino bergabung dengan yang lainnya.
Pak Zuher pun mengenalkannya pada sepuluh pegawai yang ada di situ. Ada lima pegawai baru termasuk Agus, Yadi dan Dino. Ada dua orang perempuan yang sudah senior. Rihana menjadi perempuan ketiga dalam rombongan itu.
*
*
*
Siang ini begitu panas dan terik. Walaupun sudah menggunakan helm proyek, kaca mata dan masker, tetap saja Rihana merasa panas matahari menyentuh kulitnya. Ngga ada tempat berteduh yang memadai.
"Panas banget, ya," tegur Mira, salah satu senior perempuan sambil mendekatinya.
"Iya, kak," senyum Rihana di balik maskernya.
"Sebentar lagi kita makan di sana," tunjuk Mira pada sebuah kafe.yang ngga jauh dari situ.
"Iya, kak."
Rihana baru tersadar kalo dia belum menghubungi Alexander. Memberitahukan kalo dia ngga bisa ikut makan siang bersama dengannya.Dia segera mengambil ponselnya dan terkejut karena ngga ada jaringan di ponselnya.
"Di sini agak susah jaringannya ," jelas Mira yang melihat kebingungan di wajah Rihana.
"Ooh."
Mereka sekarang berada di luar kota.
Semoga Alexander ngga mencarinya, harapnya dalam hati.
"Hati hati ya, di sini banyak benda berbahaya," kata Mira mengingatkan.
"Ya kak, makasih."
Rihana merasa ada yang basah di maskernya. Dia pun segera menariknya ke bawah sedikit untuk melihatnya.
Dia terkejut saat menyentuhnya. Ada warna merah di sana.
Dia mimisan.
Untung maskernya hitam. Jadi ngga terlihat kalo itu darah.
Jantungnya berdebar aneh. Rihana segera memalingkan wajahnya. Untungnya Kak Mira ngga curiga, dia terus saja berjalan di depannya.
Rihana agak panik karena darah yang keluar dari hidungnya ngga mau berhenti. Dia pun meraih sapu tangannya sambil membuang masker penuh darah itu ke dalam saku tas punggungnya.
Rihana cepat memakai masker baru sambil dia terus menekan sapu tangannya di bawah hidungnya.
Berhentilah. Tolong berhenti, harapnya agak panik.
Mendadak bayangan mamanya terlintas begitu saja di kepalanya.
Mamanya yang membekap hidungnya dengan saputangan yang penuh darah.
*
*
*
Alexander menatap kesal pada ponselnya
Dia sudah berada di dekat ruangan Rihana.
Tadi dia dan Herdin mengantarkan rincian biaya untuk proyek yang ditanganinya bersama perusahaan Om Dewan.
Tapi Rihana tetap saja ngga bisa dihubungi
Alexander melihat beberapa pegawai yang sudah keluar dari ruangan perancangan teknik sambil menajamkan matanya.
Dimana dia? batinnya tetap ngga melihat Rihana.
Tapi dia melihat gadis yang selalu bersama Rihana. Dan gadis itu mendekatinya bersama temannya.
"Mencari Rihana, Pak?" tanya Puspa memberanikan diri di bawah tatapan heran dan iri teman temannya.
"Ya."
"Rihana tadi pagi dipindahkan ke bagian lapangan," lapor Puspa pelan.
Kening Alexander mengernyit Hampir saja dia berseru kaget.
"Mungkin sekarang dia masih di lokasi. Saya juga ngga bisa menghubunginya," jelas Puspa lagi.
"Katanya daerahnya susah sinyal," tambah Winta lagi karena melihat ekspresi datar Alexander.
"Terima kasih."
Setelah mengatakan itu, Alexander membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.
Apa ini perbuatan Om Dewan?
Om Dewan marah?
Batin Alexander diliputi tanda tanya dan perasaannya menjadi cemas tiba tiba.
Seingatnya Rihana ngga tahan dengan udara pamas. Waktu mereka masih SMA, tiap mereka upacara, Rihana pasti berada di bagian paling belakang. Tempat yang cukup teduh bersama beberapa teman mereka yang betugas sebagai anggota UKS.
Sekarang dia malah meninjau proyek?
Matahari lagi terik teriknya.
Alexander sangat merasa cemas akan keadaan Rihana.