Seseorang itu akan terasa berhaga, manakala dia sudah tak lagi ada.
Jika itu terjadi, hanya sesal yang kau punya.
Karena roda kehidupan akan terus berputar kedepan.
Masa lalu bagai mimpi yang tak bisa terulang.
Menggilas seluruh kenangan, menjadi rindu yang tak berkesudahan.
Jika ketulusan dan keluasan perasaanku tak cukup untuk mengubah perasaanmu, maka biarlah ku mengalah demi mewujudkan kebahagiaanmu bersamanya, kebahagiaan yang telah lama kau impikan. -Stella Marisa William-
Sungguh terlambat bagiku, menyadari betapa berharganya kehadiran mu, mengisi setiap kekosongan perasaanku, mengubah setiap sedihku menjadi tawa bahagia, maaf kan aku yang bodoh, maafkan aku yang telah menyia nyiakan perasaan tulusmu -Alexander Geraldy-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3
Ruang makan siswa usai latihan pagi.
Stella membawa nampan berisi makanan miliknya, ke sebuah meja di sudut ruangan, dia sedang ingin sendiri karena harus belajar untuk ulangan di jam pertama, Stella nampak sibuk dengan buku yang ada dihadapannya, tanpa peduli suara ramai di sekitanya, bahkan ia sengaja menutup telinganya dengan headphone agar konsentrasinya tak terganggu.
Stella terkejut, ketika tiba tiba di hadapannya ada nampan milik orang lain yang hanya berisi 3 buah apel dan segelas fresh milk.
Stella menengadahkan wajahnya, Alex yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya nampak tersenyum kearahnya.
"Boleh bergabung, temanku temanku sudah sarapan duluan,"
"Boleh banget kak," jawab Stella.
Alex pun duduk dihadapan Stella, namun gadis itu nampak tidak terganggu dengan kehadiran Alex, dia kembali membaca bukunya, Alex pun tak terlalu peduli dengan apa yang dilakukan Stella, dia hanya sibuk mengunyah apel sementara matanya terus mengawasi apa yang dilakukan Stella.
Sadar tengah di perhatikan, Stella pun mengangkat wajahnya, "Ada apa kak?"
"Kalau kamu begini terus, kapan sarapanmu selesai?, 30 menit lagi sekolah di mulai,"
Stella melongok jam di pergelangan tangannya, betapa terkejutnya ia manakala melihat jarum panjang sudah bertengger di angka 7, sementara sarapannya nyaris belum di sentuh.
Stella pun melepas headphone dan menutup bukunya, kemudian mulai makan dengan terburu buru, "Pelan pelan saja makannya," tutur Alex.
Gadis itu pun menurut, dan mulai mengunyah makanannya perlahan. "good girl," Alex mengacungkan jempol nya, "ada ulangan?" Tanya Alex.
Stella yang tengah sibuk mengunyah, hanya mengangguk, "Jam pertama," jawabnya setelah makanannya masuk ke tenggorokan.
"Kakak hanya sarapan itu?" stella menatap nampan milik Alex, yang hanya berisi apel dan segelas fresh milk.
"Pencernaan ku hanya bisa menerima ini setiap pagi," jawabnya.
Stella mengangguk faham, mereka pun menyelesaikan sarapannya tanpa berbincang lagi, Setelah selesai Stella dan Alex pun beranjak meninggalkan meja makan, syukurlah keduanya sudah memakai seragam lengkap jadi tak perlu kembali lagi ke asrama.
Sampai di depan ruang makan, Alex berbisik di telinga Stella, "Sore nanti aku keluar, apa kamu mau ikut keluar?"
Stella terbelalak, bagaimana bisa mereka memiliki rencana yang sama, baru saja Stella hendak mengatakan keinginannya, dan Alex bahkan sudah mengatakan nya lebih dulu.
Stella mengangguk sebagai jawaban.
"Oke, pulang sekolah di tempat kemarin yah," Ujar Alex.
"Oke kak,"
Stella tersenyum lebar, kemudian mereka pun berpisah jalan, Stella keruangan kelas 1 dan Alex ke ruangan kelas 3.
Begitulah hari hari mereka, usai latihan pagi, sarapan dan bersiap ke sekolah, tentu membosankan, sudah jadi rahasia umum, tahu sama tahu, jika para siswa yang di karantina sering melompat keluar asrama, dan menjadi kesepakatan tak tertulis untuk tidak saling melaporkan atau buka suara. toh pelakunya bukan hanya satu atau dua orang, tapi hampir semua.
Aaaahh dasar anak muda, tak bisa di beri aturan, prinsip mereka adalah, aturan itu dibuat bukan hanya untuk di patuhi, tapi juga untuk di langgar.
Begitu pun Alex dan Stella, setelah tak sengaja bertemu di luar gerbang asrama, dan kedua kalinya mereka janjian, ketiga dan seterusnya seakan menjadi candu bagi mereka, padahal mereka hanya bersama ketika keluar pagar, kemudian berpisah di persimpangan sesuai tujuan masing masing, tak ada yang kepo ingin bertanya, kamu mau apa, atau kemana, atau bertemu siapa, itu terserah seolah olah tak ingin mencampuri privasi masing masing.
...✨✨✨...
Baru beberapa saat yang lalu Stella berusaha memejamkan mata, dari depan terdengar suara mobil Alex, Stella pun beranjak pergi dari kamar yang ia tempati bersama Alex, kini dia muak dengan suaminya, bahkan jijik membayangkan dirinya berbagi tempat tidur dengan Alex.
Setelah malam sebelumnya Stella mendapati fakta menyakitkan, semangat hidupnya seolah pudar begitu saja, Stella merasa cinta dan perhatian nya selama ini tak pernah dihargai, bahkan mungkin selama ini Alex tak mengharapkan keberadaan nya, sungguh hatinya terasa sakit jika mengingatnya.
Stella sengaja memeluk salah satu putranya, kemudian berpura pura terlelap, suara pintu kamar dibuka jelas masih terdengar di telinga nya.
Dengan langkah pelan Alex masuk ke kamar, Penampilannya sudah tidak serapi ketika dia berangkat kerja pagi tadi, kini kemejanya sudah acak acakan, lengan nya sudah di gulung hingga ke siku, dan dasi sudah menggantung tak beraturan.
Netranya menatap hampa kearah tempat tidur, rasanya aneh bila sepulang kerja ia tak melihat Stella di tempat tidur mereka, 'pasti sedang di kamar si kembar' pikirnya.
Benar saja, ketika ia membuka pintu penghubung kamar mereka, Alex mendapati Stella sedang tertidur memeluk Andre, Alex duduk bersila di lantai, kedua telapak tangannya menyangga wajahnya, lama ia menatap wajah wanita yang sudah 2 tahun ini mendampingi dirinya.
Stella seperti medan magnet yang sangat kuat, hingga mampu menariknya semakin dekat, bahkan ketika kedua orang tua nya menjodohkan nya dengan wanita ini, Alex hanya mengangguk setuju, ia sendiri tak pernah tahu kenapa ia bisa menyetujui perjodohan tersebut, padahal ia memiliki gadis lain yang sangat ia cintai.
Namun jika harus memilih, dia tak ingin kehilangan Stella, tapi bila harus merelakan kekasihnya ia pun tak sanggup, Alex mengakui dirinya sungguh egois, padahal ketika ia menikah dengan Stella, gadis itu berbesar hati meninggalkan kekasihnya, hingga kini Alex masih terus dihantui perasaan berdosa pada istrinya.
Alex menggendong Andre ke pelukannya kemudian memindahkan putra kecilnya itu ke box bayi, setelah memastikan putranya aman, Alex ikut berbaring di sisi istrinya, entah mengapa hari ini perasaannya tak enak, dipeluknya wanita itu erat erat, walaupun ia belum mampu menghadiahkan cinta untuknya, namun Alex sungguh sangat menyayangi istri dan anaknya.
Tak lama Alex pun ikut terlelap, tapi tidak dengan Stella, jika selama ini dia sangat menikmati pelukan suaminya, kali ini tubuhnya seakan menolak, perasaannya untuk pria itu tak lagi sama, Stella benar benar menahan dirinya untuk tidak membalas pelukan Alex, bahkan setelah Alex terlelap Stella memilih kembali kekamar mereka dan tidur seorang diri.
Keesokan paginya, Aktivitas kembali berjalan seperti biasa, walaupun rasa sakit masih mendera hati dan perasaannya, tapi Stella masih menyiapkan segala kebutuhan suaminya, baju kerja dan sarapan pagi, hanya bedanya, tak ada lagi senyum yang menghiasi wajahnya, atau bahkan sapaan lembutnya ketika Alex bergabung di meja makan, semuanya datar, dengan malas Stella menghabiskan sarapannya, karena ini satu satunya waktu terbaik sebelum si kembar bangun, karena jika mereka bangun, Stella bahkan tidak lagi memiliki waktu untuk sekedar menikmati makanan.
"Apa kamu sakit?" Alex bertanya khawatir, karena sikap istrinya tak seperti hari hari sebelumnya, pria itu meletakkan punggung tangannya di kening Stella, 'tidak demam' pikirnya.
"Tidak, aku baik baik saja," Stella menepis tangan Alex.
Entah mengapa Alex tak suka ketika Stella menepis tangannya. "Tidak, aku tahu kamu tak baik baik saja, ada apa hem?" Alex mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada istrinya.
Stella mengembuskan nafasnya pelan, "baiklah jika kamu memaksa, aku akan mengatakannya," Stella kembali meletakkan sendoknya di piring, kemudian dia mengepalkan tangannya dibawah meja, "Ayo kita berpisah,"
Duaaaarrrr ...