Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Interview
"Mas?" panggil Nara ketika keduanya telah kembali ke kamar untuk menikmati udara pagi dari balkon. Keduanya duduk berdampingan di kursi rotan dengan meja kecil di sudut balkon.
"Kenapa?" jawab Arjuna masih fokus pada tablet di tangannya.
"Aku sudah dapat pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah," ungkap Nara hati-hati hingga membuat gerakan tangan Arjuna terhenti. Suaminya itu menoleh, menatap profil samping Nara dengan pandangan lekat.
"Kenapa harus bekerja sih?" tanyanya lembut.
Helaan napas pelan pun terdengar dari Nara. Matanya beralih menatap pohon besar yang tumbuh di seberang jalan, dengan dedaunan yang berguguran karena tertiup angin. Membuat jalanan aspal di bawahnya kotor dan berserakan.
"Aku butuh pengalihan, Mas. Aku pikir jika bekerja menjadi editor bisa membuatku terhibur," jawab Nara menjelaskan dengan logis.
"Namun, apakah pekerjaan ini tidak akan menganggu tugas kamu sebagai seorang istri? Mas tidak mau menuntut kamu harus begini dan begitu. Apapun yang membuat kamu nyaman tanpa meninggalkan kewajiban, Mas akan dukung," ucap Arjuna pada akhirnya.
Nara pun tersenyum lega. "Tidak akan kok, Mas. Anggap saja sambilan. Sekalian aku healing baca novel yang akan aku revisi. Kebetulan juga, aku bekerja di sebuah penerbitan khusus novel-novel," jawab Nara dengan yakin.
Pada akhirnya, Arjuna mengangguk menyetujui. "Apapun yang membuat kami bahagia, Mas akan dukung."
Keduanya pun berada dalam situasi hening beberapa saat. Hingga hembusan napas bisa Nara dengar dengan baik.
"Mas?" "Ra?"
Keduanya tertawa ketika sadar berucap hampir bersamaan. "Mas dulu kalau begitu, " ucap Nara setelah tawanya mereda.
Arjuna mengangguk. "Nanti siang temani Mas ke kantor ya?" pintanya lembut sambil mengelus kepala Nara yang tertutup hijab.
Nara mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum menjawab permintaan sang Suami. "Justru itu yang sedang ingin aku bahas. Sepertinya, hari ini aku tidak bisa ikut Mas karena harus interview ke kantor penerbitan. Doakan, semoga lancar dan diterima ya, Mas," ucap Nara pada akhirnya.
Arjuna langsung memanyunkan bibirnya. "Untuk besok dan lusa?" tanyanya lagi.
"Aku bisa kok. Kan cuma hari ini. Kalau diterima, akan diberitahu melalui email." Nara tersenyum sambil menatap mata sang Suami guna meyakinkan keraguannya.
Beruntung, Arjuna mengangguk menyetujui.
...----------------...
"Selamat siang, Pak," sapa Nara ketika memasuki ruang pemilik kantor penerbitan. Dia mencoba menghilangkan rasa gugup yang sedang menderanya. Bagaimanapun, ini adalah pengalaman pertama Nara melamar pekerjaan.
Seseorang yang sedang duduk membelakangi pintu itu memutar kursi rodanya agar hingga membuat Nara bisa melihat wajah dari pemilik perusahaan itu.
"Siang," jawabnya singkat lalu merentangkan satu lengannya, mempersilahkan Nara duduk. Nara pun mengangguk dan mengambil posisi duduk tepat di hadapan orang nomor satu di perusahaan tersebut.
"Nama kamu Inara Alfathunnissa. Lulusan sarjana sastra. Saya sudah baca keseluruhan dari biodata kamu, dan saya cukup penasaran apakah setelah lulus kamu belum pernah bekerja?" tanya pria yang mungkin usianya sekitar tiga puluh lima tahunan.
"Benar, Pak. Setelah lulus, saya memilih untuk membantu ayah saya bekerja di perkebunan. Beberapa tahun kemudian, saya dipinang oleh seseorang dan memutuskan untuk menikah," jelas Nara dengan yakin. Dia tidak ingin atasannya itu ragu.
"Oh, sudah menikah. Saya pikir masih lajang." Ada raut terkejut yang ditunjukkan pria di depannya. Nara tersenyum dan mengangguk membenarkan.
"Sudah. Tetapi, saya bisa pastikan jika status saat ini tidak memengaruhi kinerja saya sebagai editor di perusahaan Bapak," ucap Nara lagi dengan percaya diri.
Pria di hadapannya menganggukkan kepala beberapa kali. "Baiklah. Kamu diterima," jawab beliau yang membuat Nara bersorak dalam hati dengan bibirnya yang tak berhenti tersenyum.
Nara tidak habis pikir jika proses penerimaan sebagai editor di perusahaan sebesar itu hanya membutuhkan waktu beberapa menit interview. "Terimakasih banyak, Pak. Akan saya buktikan jika saya mampu menjalani setiap tugas yang Bapak berikan." Nara berucap sambil menunduk hormat.
"Sebelumnya, bolehkah saya bertanya nama Bapak? Rasanya lucu bila ditanya siapa pemilik perusahaan tempat saya bekerja tetapi tidak tahu mamanya," ucap Nara tersenyum tipis.
"Kamu bisa panggil saya Bagas. Mengenai cara kerja kamu, bisa ditanyakan kepada asisten saya," ucap beliau yang segera mendapat anggukan dari Nara.
"Baik, Pak. Terimakasih banyak."
Sekitar tiga jam Nara berada di perusahaan Harsa Publisher, dia mulai memahami sistem bekerja di sana. Ya. Nama penerbit tempat Nara bekerja adalah Harsa Publisher. Pendirinya adalah Bagas Setiaji, orang yang beberapa jam lalu men interview Nara.
Setelah waktu menunjukkan pukul empat sore, Nara memutuskan untuk pulang. Ketika tiba di lobi kantor, ada sebuah mobil mewah yang berhenti tidak jauh dari Nara berdiri. Merasa tidak mengenali pemilik mobil, Nara fokus kembali pada ponsel untuk memesan taksi online.
Hingga suara klakson dari mobil di depannya, kembali mengurungkan kegiatan Nara. Kaca dari pintu mobil itu terbuka lalu menampakkan sosok Bagas yang menyembulkan kepala.
"Kamu? Sini!" titah beliau yang membuat Nara mengernyit bingung. Nara heran kalimat itu ditujukan untuk siapa. Kepala Nara celingukan barangkali menemukan orang selain dirinya di sana. Namun, nihil. Hanya ada Nara seorang.
"Saya, Pak?" tanya Nara sambil menunjuk dirinya sendiri. Ketika Bagas mengangguk, Nara pun melangkah beberapa meter hingga tiba di samping mobil.
"Ya, Pak? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Nara sedikit bingung.
"Kenapa belum pulang?" tanya beliau datar.
"Nih, sedang pesan taksi, Pak," jawab Nara sambil menunjukkan layar ponselnya yang masih menyala, menayangkan sebuah aplikasi driver online.
"Oh. Ya sudah," jawab beliau kemudian menutup kaca mobil. Nara refleks mundur dan membiarkan mobil itu melaju begitu saja, meninggalkan sebuah tanya besar di kepala Nara.
"Tuh, Pak Bagas kenapa? Apa memang setelannya datar begitu ya? Terus kenapa dia bertanya hingga aku harus menghampirinya?" gerutu Nara kesal karena atasannya itu bertingkah tidak jelas.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Jadi gini ya, ini cerita real poligami sesuai judul, berbagi suami. Untuk kalian, harap bersabar karena pemeran utama itu bahagianya datang akhiran😅...
...Semua akan indah pada waktunya....
...Terus kapan?...
...ya tunggu aja😋...